Mohon tunggu...
Tri Megawangi Mahardika
Tri Megawangi Mahardika Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi Jurnalistik Universitas Padjadjaran.

love reading and writing!

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Kesejahteraan Driver Ojek Online sebagai Bagian dalam Gig Economy

12 Desember 2024   19:58 Diperbarui: 12 Desember 2024   20:11 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Gig Economy dan Layanan Ojek Online

Gig economy telah membawa revolusi besar dalam berbagai sektor, termasuk transportasi. Platform ojek online seperti Gojek dan Grab menjadi pilihan utama masyarakat untuk perjalanan cepat dan efisien. Layanan ini menawarkan berbagai kemudahan, seperti perjalanan antar kota, antar kabupaten, antar kecamatan, hingga layanan antarmoda. Dengan aplikasi, driver dan pelanggan dapat saling terhubung dalam hitungan menit. Namun, di balik efisiensi ini, terdapat berbagai tantangan dan perselisihan terkait kesejahteraan para driver, yang merupakan pilar utama dari ekosistem ojek online.

Konsep gig economy yang diadopsi oleh platform ojek online memberikan fleksibilitas bagi para pengemudi untuk mengatur jadwal kerja mereka sendiri. Meski demikian, fleksibilitas ini seringkali diiringi oleh ketidakpastian pendapatan dan jam kerja yang tidak menentu. Tantangan lain yang dihadapi para pengemudi adalah kurangnya perlindungan sosial yang memadai, seperti jaminan kesehatan dan pensiun. Dalam persaingan yang ketat untuk mendapatkan penumpang, banyak pengemudi yang bekerja melebihi batas waktu yang wajar demi menjamin penghasilan yang layak. Kondisi kerja yang demikian rentan terhadap risiko kecelakaan kerja dan masalah kesehatan lainnya. Oleh karena itu, di balik kesuksesan bisnis model ini, terdapat sisi lain yang perlu diperhatikan, yakni kesejahteraan para pengemudi yang menjadi tulang punggung operasional layanan ojek online.

Keresahan Driver: Tantangan Tarif dan Insentif

Isu kesejahteraan driver ojek online telah menjadi sorotan publik dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu permasalahan utama yang kerap disuarakan adalah ketidaksesuaian antara tarif dasar yang ditetapkan dengan biaya operasional yang harus ditanggung oleh para pengemudi. Demonstrasi dan aksi unjuk rasa seringkali digelar sebagai bentuk protes terhadap tarif yang dianggap terlalu rendah, terutama untuk jarak tempuh pendek.

Tarif dasar yang rendah ini dianggap tidak adil karena tidak memperhitungkan kenaikan harga bahan bakar, biaya perawatan kendaraan yang semakin mahal, serta inflasi yang terus meningkat. Kebijakan tarif hemat yang ditawarkan oleh platform ojek online memang menarik minat konsumen, namun di sisi lain, kebijakan ini justru membebani para pengemudi. Meskipun volume pesanan mungkin meningkat, pendapatan bersih yang diperoleh tidak sebanding dengan upaya dan risiko yang mereka hadapi.

Selain masalah tarif, sistem insentif yang diterapkan oleh platform juga menjadi sumber keluhan. Dahulu, insentif dianggap sebagai salah satu daya tarik utama bagi para pengemudi untuk bergabung dalam platform ojek online. Namun, seiring berjalannya waktu, sistem insentif ini semakin kompleks dan sulit dicapai. Perubahan algoritma dan persyaratan yang seringkali berubah-ubah membuat para pengemudi merasa tidak pasti dan kesulitan untuk memprediksi pendapatan mereka.

Ketidakadilan dalam Sistem dan Algoritma

Para pengemudi ojek online seringkali merasa menjadi korban ketidakadilan sistemik yang tertanam dalam algoritma aplikasi. Salah satu keluhan utama adalah ketidakmerataan dalam pembagian pesanan. Meskipun bekerja keras dan memiliki tingkat kepuasan pelanggan yang tinggi, banyak pengemudi merasa bahwa sistem seolah-olah "memilih-pilih" pengemudi mana yang akan mendapatkan pesanan. Hal ini menimbulkan rasa ketidakadilan dan demotivasi di kalangan pengemudi.

Sistem penilaian (rating) juga menjadi sumber masalah. Pengemudi yang menerima rating rendah, meski disebabkan oleh faktor di luar kendali mereka seperti kondisi cuaca buruk atau kemacetan, seringkali dikenai sanksi yang merugikan. Sanksi ini bisa berupa penurunan prioritas dalam menerima pesanan atau bahkan penonaktifan sementara akun. Sistem yang seharusnya menjadi alat evaluasi kinerja justru menjadi alat untuk menekan dan menghukum pengemudi.

Radius jangkauan pesanan yang terlalu luas juga menjadi beban tambahan bagi para pengemudi. Mereka seringkali diminta untuk mengambil pesanan yang jaraknya jauh dari lokasi mereka saat itu, tanpa jaminan mendapatkan pesanan lain di sekitar tujuan pengiriman. Hal ini tidak hanya menyita waktu dan bahan bakar, tetapi juga meningkatkan risiko kecelakaan.

Kurangnya transparansi dari pihak aplikator mengenai perubahan algoritma dan kebijakan baru semakin memperparah situasi. Pengemudi merasa tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan seringkali hanya menerima informasi secara sepihak. Hal ini menimbulkan rasa ketidakpercayaan dan memicu konflik antara pengemudi dan platform.

Kemitraan atau Hubungan Kerja?

Mekanisme bagi hasil yang diterapkan dalam industri ojek online seringkali menjadi titik perdebatan sengit. Pihak perusahaan mengklaim bahwa para pengemudi adalah mitra kerja yang mandiri, memiliki kebebasan untuk bekerja kapan saja dan di mana saja. Namun, dalam praktiknya, banyak pengemudi merasa lebih seperti pekerja terikat yang harus mengikuti aturan dan target yang ditetapkan oleh perusahaan.

Perusahaan seringkali menekankan bahwa pembagian hasil yang diterapkan, misalnya 60:40, merupakan bentuk kerja sama yang adil. Namun, banyak pengemudi berpendapat bahwa pembagian tersebut tidak mencerminkan kontribusi mereka yang sebenarnya. Mereka harus menanggung seluruh biaya operasional kendaraan, termasuk bahan bakar, perawatan, dan pajak, sementara perusahaan menikmati keuntungan dari data pengguna dan teknologi yang mereka miliki.

Salah satu masalah utama adalah ketidakseimbangan kekuasaan antara perusahaan dan pengemudi. Perusahaan memiliki kendali penuh atas platform aplikasi, algoritma pembagian pesanan, dan penetapan tarif. Pengemudi, di sisi lain, hanya memiliki sedikit ruang untuk bernegosiasi dan seringkali merasa dipaksa untuk menerima kondisi yang ada.

Ketidakseimbangan dalam Sistem Kemitraan

Konsep kemitraan yang seharusnya memberikan kebebasan dan kesetaraan bagi kedua belah pihak, dalam praktiknya justru menciptakan hierarki yang tidak seimbang. Pengemudi seringkali dipaksa bekerja dalam kondisi yang kurang menguntungkan, seperti harus beroperasi pada jam-jam sibuk atau dalam cuaca buruk, hanya untuk memenuhi target pendapatan yang ditetapkan oleh perusahaan.

Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah hubungan antara perusahaan dan pengemudi benar-benar bersifat kemitraan yang saling menguntungkan, atau lebih dekat dengan hubungan antara atasan dan bawahan? Ketidakpastian mengenai pembagian hasil dan kurangnya perlindungan sosial bagi para pengemudi semakin memperkuat anggapan bahwa mereka berada dalam posisi yang lemah dalam hubungan ini.

Ketidakseimbangan antara perusahaan dan driver tersebut mengakibatkan sejumlah isu yang serius. Sebagai mitra, driver ojek online seharusnya mendapat keistimewaan yang sama besar.

Belum lagi, sekalipun perusahaan memberikan kebebasan dalam setel ulang streaming, tidak ada jaminan bahwa driver tersebut benar-benar cukup "mampu" terhadap perusahaan tanpa mesti membangun waktu kerja tambahan. Beberapa driver merasa paksaan untuk bekerja di puncak jam dan cuaca buruk semata-mata untuk berkumpul uang yang cukup dan, bahkan kemudian, pembicaraan tersebut jauh tiada mencapai diskursus resi pembagian hasil mereka. Inilah yang mengakibatkan begitu banyak driver merasa terjebak dalam sebuah lingkungan di mana mereka dipaksa bekerja oleh sebuah perusahaan tanpa hak-hak sebagai gantinya (Pradana, 2024).

Masalah Hukum Ketenagakerjaan

Salah satu permasalahan krusial yang mendasari ketidakseimbangan antara perusahaan ojek online dengan para pengemudi adalah ketidakjelasan mengenai status hukum hubungan kerja mereka. Dalam kerangka hukum ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia, hubungan kerja umumnya dicirikan oleh adanya tiga unsur utama: adanya perintah kerja, pelaksanaan pekerjaan, dan pembayaran upah. Namun, dalam konteks kemitraan yang ditawarkan oleh perusahaan ojek online, seringkali terdapat celah dan ambiguitas dalam penerapan unsur-unsur tersebut.

Kontrak kemitraan yang umumnya ditawarkan oleh perusahaan ojek online seringkali dirancang untuk menghindari klasifikasi hubungan kerja sebagai hubungan kerja berdasarkan ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dengan demikian, perusahaan dapat menghindari kewajiban-kewajiban sebagai pemberi kerja, seperti membayar upah minimum, memberikan jaminan sosial, dan menyediakan lingkungan kerja yang aman.

Pengangguran jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, kurangnya tunjangan, semua bebankan pada pekerja. Pengusaha dapat berkilah bahwa mereka bukan pekerja berdasarkan kontrak kerja, sehingga tidak terikat pada kewajiban dasar tersebut. Namun, kontrak mitra ini tercerminkan dalam hubungan kerja nyata di mana pekerja tidak memiliki banyak kontrol atas kapan dan bagaimana mereka melakukan kerja mereka. Daripada membiarkan driver memikul beban mobilitas modern tanpa hak keamanan yang adil, masalah ketenagakerjaan ini sebaiknya diatas dengan memperkerjakan peraturan ketenagakerjaan dalam hubungan ini (Permana & Izzati, 2023).

Harapan untuk Regulasi yang Lebih Jelas

Untuk mengatasi ketimpangan ini, banyak pihak yang mendesak agar ada regulasi yang lebih jelas mengenai hubungan antara perusahaan ojek online dan driver mereka. Regulasi yang ada saat ini dianggap belum cukup mengatur sektor gig economy dengan baik, sehingga banyak hak-hak pekerja yang terabaikan. Salah satu langkah yang disarankan adalah untuk membuat undang-undang yang mengatur secara spesifik mengenai pekerja di sektor gig economy, yang dapat mencakup pekerja lepas dan kontrak jangka pendek. Dengan adanya regulasi ini, diharapkan perusahaan ojek online akan lebih bertanggung jawab dalam memberikan perlindungan kepada driver mereka, seperti asuransi kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, dan hak-hak ketenagakerjaan lainnya. Regulasi yang jelas juga dapat memperjelas status hubungan antara perusahaan dan driver, apakah itu hubungan kerja atau hubungan kemitraan, sehingga hak-hak driver dapat lebih terlindungi dengan baik. Selain itu, regulasi ini juga perlu mempertimbangkan fleksibilitas yang dibutuhkan oleh driver dalam menjalankan pekerjaannya, tanpa mengurangi perlindungan yang layak bagi mereka. Hal ini penting untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan perusahaan dan kesejahteraan para driver, yang pada akhirnya akan menciptakan sistem yang lebih berkelanjutan dan adil (Hanivan & Rakhmawan, 2023).

Regulasi yang Perlu Diperbaiki

Ketidakpastian status hukum dan ketidakseimbangan relasi antara perusahaan platform digital dengan para pengemudi telah memunculkan desakan akan adanya regulasi yang lebih jelas dan komprehensif. Regulasi yang ada saat ini, yang sebagian besar dirancang untuk hubungan kerja konvensional, terbukti tidak memadai dalam mengakomodasi dinamika unik dari sektor gig economy. Sistem kemitraan yang diterapkan oleh perusahaan ojek online di Indonesia saat ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan yang signifikan antara hak dan kewajiban perusahaan serta hak-hak para driver. Meski pengklaiman perusahaan bahwa mereka menerapkan sistem kemitraan, namun para driver bahwa mereka didampingi oleh perusahaan nampak terbatas, khususnya dalam hal kesejahteraan dan hak-hak ketenagakerjaan.

Maka, regulasi lebih lanjut dan adil perlu diterapkan terkait hubungan kerja di sektor gig economy. Salah satu langkah krusial yang perlu diambil adalah pembentukan undang-undang khusus yang secara komprehensif mengatur tentang pekerja platform digital. Undang-undang ini harus dirancang untuk mencakup berbagai aspek penting, mulai dari definisi yang jelas mengenai pekerja platform digital siapa saja yang termasuk dalam kategori ini hingga pengaturan hak dan kewajiban mereka dalam hubungan kerja dengan perusahaan platform. Selain itu, undang-undang tersebut juga perlu memuat mekanisme perlindungan yang memadai, termasuk perlindungan sosial, hak atas upah yang layak, jaminan keselamatan kerja, serta akses terhadap mekanisme penyelesaian sengketa.

Dengan adanya landasan hukum yang kuat, diharapkan tercipta kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat, termasuk perusahaan platform, pekerja seperti pengemudi online dan konsumen sebagai pengguna layanan. Kepastian ini akan mengurangi potensi konflik yang timbul dari hubungan kerja yang selama ini berada dalam wilayah abu-abu hukum. Saat ini, pemerintah Indonesia sedang melakukan kajian mendalam mengenai kebutuhan dan bentuk regulasi yang tepat untuk mengakomodasi perkembangan ekonomi digital ini. Hal ini diharapkan menjadi langkah awal dalam mewujudkan keadilan dan keseimbangan antara inovasi teknologi dengan perlindungan hak-hak pekerja di era digital.

TIM LIPUTAN

- Zytka Vondrea Yovela

- Tri Megawangi Mahardika

- Yasmina Athira Putri

- Salsabila Ramadhani

DAFTAR PUSTAKA

Fathurrahman, I. (2021). Melestarikan Pekerja Rentan di Balik Ekonomi Inovasi: Praktik Kerja Perusahaan Teknologi kepada Mitra Pengemudi Ojek Online di Indonesia. Menyoal Kerja Layak Dan Adil Dalam Ekonomi Gig Di Indonesia, 79.

Izza, S. R., Saharani, K. D., Ardiani, D., & Franssisca, M. L. (2024). Studi Literatur: Analisis Pengaruh Ragam Karakteristik Pekerja Ekonomi Gig terhadap Perekonomian Nasional. Journal of Regional Economics and Development, 1(3), 1-20.

Pradana, I. P. Y. B. (2024). Pekerja Ekonomi Gig: Pengalaman Kerja Pengemudi Ojek Online Maxim dan Grab di Wilayah Timur Indonesia. Jurnal Ilmu Administrasi Negara ASIAN (Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara), 12(1), 11-26.

Permana, M. Y., & Izzati, N. R. (2023). Measuring the gig economy in Indonesia: typology, characteristics, and distribution. Media Wahyudi, Measuring the Gig Economy in Indonesia: Typology, Characteristics, and Distribution (February 6, 2023).

Hanivan, H., & Rakhmawan, S. A. (2023). Gig Economy During Pandemic in East Java. East Java Economic Journal, 7(1), 69-89.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun