Mohon tunggu...
Tri Indah Sakinah
Tri Indah Sakinah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi S1 Ilmu Hukum

Criminal law enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Overcrowding Lapas: Perlunya Rekonstruksi Kebijakan Hukum pada Pengguna Narkotika

24 Juli 2022   20:10 Diperbarui: 4 Maret 2024   08:55 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tantangan dalam sistem peradilan di indonesia saat ini adalah menghadapi overcrowding  Lapas di Indonesia. Overcrowding  dapat didefinisikan sebagaimana jumlah penghuni yang ada melebihi kapasitas atau daya tampung yang ada.  Salah satu penyebab terjadinya overcrowding lapas biasanya disebabkan karena mendominasinya pengunaan pidana pokok penjara sebagai solusi untuk memidanakan seseorang tanpa alternative non penjara, serta aturan negara yang memuat politik hukum yang memuat ketentuan pidana beroerientasi pada pidana penjara.

Banyak pandangan ataupun stigma masyarakat sampai saat ini yang menganggap bahwa penjatuhan pidana penjara terhadap pelaku kejahatan dilakukan untuk memperbaiki diri pelaku dan melindungi kepentingan masyarakat ditambah dengan keputusan hakim yang dalam kenyataannya menjatuhkan pidana pada pelaku kejahatan karena perintah undang-undang dan menjatuhkan pidana penjara tinggi. 

Dengan keyakinan semakin tinggi pidana yang dijatuhkan, maka semakin besar efek jera yang diberikan kepada pelaku. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa hakim belum menyadari sepenuhnya bahwa penjatuhan pidana penjara adalah upaya terakhir (ultimum remedium) apabila upaya lain tidak berhasil dilakukan. (ICJR, 2018)

Berdasarkan Sistem data Base (SDP) dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan total penghuni lapas per 24 Juli dengan jumlah penghuni 277.611 orang dan kapasitas tersedia hanya untuk 132.107 Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) dengan jenis tindak pidana narkotika yang lebih mendominasi Setelah terbitnya UU No 9 Tahun 1976 tentang Narkotika, pemerintah memberikan ancaman pidana kepada pengguna narkotika.  Ancaman pidana yang diberikan kepada pengguna narkotika terus bertambah sampai dikeluarkannya UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 

Hasil penelitian yang dilakukan tahun 2016 oleh ICJR, Rumah Cemara dan Yayasan Orbit, di PN Surabaya,  dakwaan tertinggi yang dijatuhkan bagi pengguna dan pencandu narkotika adalah pasal berlabel "bandar", dari penelitian tersebut ditemukan bahwa 61% dakwaan yang diajukan jaksa adalah pasal 111 atau 112 UU Narkotika karena memiliki, menyimpan dan atau menguasai narkotika  dengan ancaman pidana yang sangat tinggi yaitu minimal 4 tahun dan maksimal 12 tahun.

Pasal 111 UU Narkotika No 35 tahun 2009 berbunyi, "Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara Ibid, paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)." 

Perbedaannya dengan Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika adalah pada bentuk narkotikanya, yaitu berbentuk tanaman atau bukan tanaman. Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika berbunyi

"Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)."

Sangat disayangkan sebagian penegak hukum tidak membedakan antara bandar dan pencandu atau pengguna narkotika. Penggunaan pasal 111 atau 112 UU Narkotika ini karena lebih mudah dibuktikan dengan ancaman pidana yang tinggi daripada pasal 127 UU Narkotika ,  pasal 127  tersebut berbunyi  

(1)    Setiap Penyalah Guna:

 a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;

b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun;  dan

c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

(2)    Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.

 (3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Meninjau fakta di lapangan yang ada, seringkali dakwaan yang diajukan jaksa  menggunakan pasal 111 dan 112 untuk menuntut pengguna,pecandu, dan penyalahgunaan narkotika.  Dr.H. syarifudin seorang ketua MA periode 2020-2025 meyatakan bahwa beberapa penegak hukum masih menggunakan pasal 111 atau 112 UU narkotika daripada pasal 127 UU Narkotika karena apabila seseorang memenuhi unsur penyalahgunaan narkotika pada Pasal 127 UU Narkotika, maka otomatis ia telah memenuhi unsur memiliki atau menguasai narkotika pada Pasal 111 atau  112 UU Narkotika. Padahal, antara pasal 111 maupun 112 memiliki ancaman pidana yang sangat berbeda dengan pasal 127. 

Dalam banyak kasus, Jaksa memaksakan  Pasal 111 dan Pasal 112 kepada pengguna,penyalahgunaan, pecandu narkotika dibandingkan dengan Pasal 127. Penggunaan Pasal 111 atau Pasal 112 tidak lain karena pasal ini lebih mudah untuk dibuktikan dengan ancaman pidana yang lebih tinggi.  Pasal ini lebih mudah dibuktikan karena secara praktik, seseorang yang dikenai Pasal 127 karena perbuatan menggunakan narkotika untuk diri sendiri, cenderung terlebih dahulu melanggar ketentuan Pasal 111 atau Pasal 112 yaitu memiliki, menyimpan, dan menguasai.

Perlunya Dekriminalisasi Pengguna Narkotika

Dekriminalisasi adalah proses penghapusan atau pengurangan sanksi pidana terhadap suatu perbuatan yang sebelumnya dianggap sebagai tindak pidana menjadi perbuatan yang tidak diancam dengan pidana.  Menurut Badan Narkotika Nasional, dekriminalisasi berarti hanya sanksi non criminal, yang dikenakan atau tidak ada sanksi pidana.  Hal utama yang harus dipahami bahwa bahwa konsep dekriminalisasi bukan merupakan legalisasi. Legalisasi menjadikan suatu perbuatan yang sebelumnya ilegal menjadi legal dan sah secara hukum, sedangkan pada dekriminalisasi merupakan penghapusan atau pengurangan sanksi pidana terhadap suatu perbuatan yang sebelumnya dianggap sebagai tindak pidana.   Perlunya trobosan kebijakan dekriminalisasi pengguna narkotika tidak terlepas dari alasan bahwa kebijakan kriminalisasi yang bahkan menerapkan kebijakan punitif tidak menjawab persoalan yangsesungguhnya dihadapi oleh negara dalam masalah narkotika yaitu kesehatan masyarakat.  Seharusnya pendekatan terhadap penanganan pengguna narkotika bukan dengan pendekatan pemidanaan tetapi bergeser kepada pendekatan kesehatan masyarakat. 

Mengulas kembali terkait dekriminalisasi pengguna narkotika, Mengutip dari (Institute for Criminal Justice Reform)  ICJR, dekriminalisasi pengguna narkotika dapat digolongkan ke dalam tiga jenis, yaitu dekriminalisasi disertai sanksi administratif atau perdata, dekriminalisasi disertai diversi selektif, dan dekriminalisasi tanpa sanksi.

  1. Dekriminalisasi disertai sanksi administratif atau perdata, menggunakan perspektif bahwa penggunaan dan penguasaan narkotika seharusnya tidak termasuk sebagai tindak pidana Namun bukan berarti perbuatan tersebut dapat diabaikan begitu saja. Penggunaan sanksi administratif atau perdata memungkinkan negara tetap menghukum perbuatan dengan sanksi administratif atau perdata contohnya terjadi di sebagian wilayah Australia, Republik Ceko, dan Jamaika.
  2. Dekriminalisasi disertai diversi selektif, yaitu penerapannya sebagai alternatif kebijakan ini menyediakan dua jalur bagi dua jenis pengguna narkotika yang berbeda. Pengguna narkotika dengan risiko rendah tetap akan menerima sanksi tetapi hanya berupa sanksi non-pidana, misalnya sanksi administratif. Sementara itu, pengguna narkotika berisiko tinggi juga tidak akan menerima sanksi pidana, tetapi akan mendapatkan asesmen dan rujukan ke layanan kesehatan. Berbagai studi membuktikan bahwa dekriminalisasi dengan diversi selektif ini berhasil menurunkan angka penggunaan narkotika yang rutin maupun yang bermasalah. Sebagai contoh, pasca penerapan model dekriminalisasi ini di Maryland dan Connecticut, terjadi penurunan angka pengguna rutin narkotika ke angka 8.1% dan 8.9%. penerapan ini juga dilakukan di negara Portugal dan beberapa negara bagian Amerika Serikat, di antaranya Maryland dan Nebraska.
  3. Dekriminalisasi tanpa sanksi, Model dekriminalisasi ini sangat sederhana untuk dilaksanakan karena hanya perlu menghapus ketentuan pidana terhadap tindakan penggunaan dan penguasaan narkotika. Hanya saja, penerapan kebijakan ini membutuhkan investasi yang serius oleh negara di layanan kesehatan dan pengurangan dampak buruk. Contoh negara yang menggunakan model dekriminalisasi ini adalah Jerman.


Penutup

Permasalahan utama yang dihadapi sistem peradilan pidana saat ini adalah menghadapi overcrowding Lapas atau Rutan di Indonesia. Tindak pidana narkotika sebagai penyumbang terbesar dalam permasalahan ini, sebagian penegak hukum masih berupaya menggunakan pendekatan  retributive justice dalam menangani perkara tindak pidana narkotika terutama kepada penyalahguna narkotika. Ditambah dengan UU Narkotika No 35 tahun 2009 berkontribusi terhadap banyaknya tindak pidana narkotika yang dikenakan sanksi pidana penjara sehingga berimplikasi terhadap overcrowding Lapas dan  perlu direvisi. selain itu, Seharusnya kebijakan terkait penyalahgunaan narkotika lebih menggunakan pendekatan kesehatan, bukan dengan pendekatan pemindanaan yang keras.

Mengutip pendapat Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JKRN) terkait dekriminaliasi yang JRKN kenalkan adalah mengatur rentang ambang batas, untuk menentukan kepemilikan kepentingan pribadi.  Dalam rentang tersebut, pengguna Narkotika menjadi subjek penilaian panel asesmen, yang berada di layanan kesehatan hingga ke tingkat puskesmas, kemudian dinilai oleh tenaga kesehatan dan konselor adiksi untuk menentukan intervensi yang tepat, tanpa adanya anggota tim dari aparat penegak hukum. 

Sebagai tambahan penulis setuju dengan pendapat ICJR bahwa penggunaan narkotika harusnya didekriminalisasi dan tidak semua membutuhkan rehabilitasi, karena memindahkan pengguna narkotika dari Lapas ke rehabilitasi akan menimbulkan masalah baru lagi yaitu overcrowding di lapas akan berpindah ke rehabilitasi.  Dengan demikian, narkotika adalah tantangan utama dalam sistem peradilan pidana. Apabila ingin mereformasi sistem peradilan pidana maka mulailah dengan kebijakan narkotika. Hal ini karena hampir sebagian besar kasus yang ditangani oleh penegak hukum adalah paling besar terkait narkotika.

Referensi:

Supriyadi, dkk. (2017) Memperkuat Revisi Undang-Undang Narkotika Indonesia Usulan Masyarakat Sipil. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).

Novian, R. dkk.  (2018). Strategi menangani overcrowding di Indonesia. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).

Ricky, G.  dkk. (2021) Mendorong Kebijakan Non-Pemidanaan bagi Penggunaan Narkotika: Perbaikan Tata Kelola Narkotika Indonesia. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).          

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun