Ketika sedang bermeditasi di kamarnya, tiba-tiba terdengar suara ledakan yang cukup keras. Ia segera keluar dan di depan teras puri disambut oleh tiga orang murid yang sedang betugas jaga.
"Bunyi apa tadi?"
"Maaf, Kanjeng Wotwesi. Ada ledakan berasal dari bilik emas tempat persembahan. Kami sudah periksa tapi tidak ada bekas ledakan dan tidak ada kerusakan apa-apa!"
"Hm.., sudah datang!" Kanjeng Wotwesi segera memberikan perintah, "Kumpulkan Laskar Intijiwo! Ada kiriman santet!" Ia langsung tahu apa yang harus dilakukan. Sebelumnya ia sudah dapat peringatan dari Ratu Siluman Garangan bahwa akan datang sebuah serangan ilmu hitam.
Kanjeng Wotwesi segera duduk bersila di depan bilik emas, menabur bunga tujuh macam di sekeliling tungku yang mengepulkan asap berbau kemenyan. Ia mencoba menerawang siapa yang menyerangnya, tapi hanya melihat kabut yang menyelimuti seluruh ruang remang-remang, dan tidak bisa ditembus. Itu artinya ilmunya masih kalah tinggi dibanding si dukun santet.
Sepuluh murid pilihan mengenakan pakaian serba hitam. Sebagian melakukan ritual meniup suling cangkang dan sebagian lagi menari sambil menyanyikan syair mantra yang diulang-ulang. Arti mantra itu adalah mengundang kehadiran 'Ibu Ratu Siluman Garangan'.
Ratu Siluman Garangan diikuti beberapa pasukannya langsung hadir menghadang Siluman Kukuk Beluk Laut. Mereka saling beradu tatapan dengan sorot mata penuh ancaman.
Siluman Kukuk Beluk Laut lantang mengaku, "Aku melaksanakan perintah seorang guru santet!"
Ratu Siluman Garangan menjawab, "Orang yang kamu serang ini berada dalam perlindunganku! Aku minta kamu pergi secepatnya dari sini!"
"Aku harus mengambil nyawanya!"
"Berarti kita harus perang!" Ratu Siluman Garangan yang mengenakan jubah hitam menampakkan kuku-kukunya yang sangat runcing dan beracun. Ia menyatakan akan melindungi Kanjeng Wotwesi dengan segenap kemampuan yang dia miliki.