Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (109): Menyesal Telah Berbuat Baik

19 November 2024   04:34 Diperbarui: 19 November 2024   04:44 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Paman Gondo!" panggil keempat bersaudara hampir bersamaan. Mereka merasa gembira.

"Maaf, aku terlambat datang!" kata Ki Gondo dan langsung mengirim pukulan dan tendangan ke arah Iblis Muka Gedeg. Akan tetapi, lawan yang diserangnya dengan mudah meloncat ke belakang dan serangan beruntun itu pun mengenai tempat kosong.

"Terima kasih, Paman!" balas Ki Songkok. "Paman datang di saat yang tepat!"

"Demi membela kebenaran, aku siap mati bersama kalian!" Sebelum menyerang lagi, Ki Gondo sengaja menyampaikan beberapa kalimat untuk memotivasi para kemenakannya, disamping untuk menyerang mental lawan. "Gusti Allah pasti melindungi orang-orang benar!" lalu dengan cepat ia sudah meloncat ke depan.

Ki Gondo memiliki ajian Brojomusti, yang membuat tinjunya mampu menghancurkan batu karang. Terdengar suara keras ketika pukulan-pukulannya mengenai sasaran, namun tanpa menimbulkan luka berarti. Melihat itu, Ki Gondo maklum bahwa ilmu kebal musuhnya memang sangat hebat.

Dan kini, di bawah temaram cahaya bulan yang mulai muncul, Ki Gondo meloncat tinggi dan meluncur turun dengan tendangan dasyat. Iblis itu mengeluarkan suara dengusan dari hidungnya dan secepat kilat menangkap kaki yang melayang itu, memutar di udara dan kemudian membantingnya hingga tanah seperti terguncang. Diangkat lagi dan secepat kilat dibanting lagi. Setelah itu, tubuh yang bagaikan boneka jerami itu dilemparkan jauh. Tubuh Ki Gondo terguling-guling beberapa kali.

"Paman!"

"Aku tidak apa-apa!" Ki Gondo mencoba kedengaran kuat, tapi wajahnya lebih pucat daripada bulan di atas. Sambil terengah-engah, ia menyeret badan dengan susah payah, dan dalam kesengsaraan itu ia berusaha menghirup napas dalam-dalam. Sebelum akhirnya memuntahkan darah segar, dan roboh bersamaan hembusan nafas terakhir.

"Paman!"

Tidak ada jawaban.

Menak bersaudara sesaat saling berpandangan. Tenaga mereka sudah banyak terkuras. Napas mulai terputus-putus menunjukkan tanda-tanda lelah. Butir-butir keringat muncul di dahi, di sekitar anak rambut, menetes dan membasahi wajah. Senjata pun rasanya tidak berguna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun