"Maaf, Kanjeng, saya khawatir pengaruh-pengaruh buruk akan membuatnya semakin terjerumus dalam kesesatan!"
"Apakah aku yang kamu maksud sebagai pengaruh buruk itu?" potong Kanjeng dengan nada tinggi dan mata terbelalak, "Dan membela kehormatan keluarga kau sebut kesesatan?"
"Maaf atas kebodohan saya, tapi bukan Kanjeng yang saya maksud!"
"Kau pikir aku bodoh apa? Ingat, Mbok, kamu itu bukan siapa-siapa. Hanya seorang pembantu. Dia bukan darah dagingmu. Dia adalah cucuku. Akulah kakeknya, yang berhak mengatur kehidupannya!"
"Sudah Eyang, jangan diteruskan!" potong Klebat membela Mbok. "Aku yakin mbok bermaksud baik. Aku yang salah!"
Kanjeng mengalah. Ia tidak suka dengan perempuan tua yang lancang dan dianggap bisa jadi penghalang besar dalam meraih impiannya. Penghalang yang justru berada dalam rumah sendiri. Ia langsung merancang rencana untuk menyingkirkan pembantu tidak tahu diri itu.
***
Setelah beberapa hari diam-diam menyalin Kitab Pusaka Sakti Mandraguna, Ki Dewan menyerahkan kitab itu kepada Kanjeng Wotwesi. Tentu ia mendapat imbalan yang sangat besar atas prestasinya itu.
Kanjeng tampak senang, tapi hanya membaca sampul sekilas dan langsung menyimpannya dalam lemari khusus. Bagi dia bukan isi kitab itu yang penting, tapi karena kitab itu merupakan salah satu pusaka yang menjadi rebutan para pendekar kelas atas. Ia bahkan sedikit pun tidak tertarik membuka-buka halamannya, atau bisa jadi ia berpikir bahwa dirinya sudah sakti tanpa harus belajar dari kitab itu.
Seperti yang diduga oleh Ki Dewan. Itulah kenapa dia menyalinnya. Ia memang sangat cerdik dan berniat mempelajari sendiri isi kitab itu di setiap saat ada kesempatan.
Kanjeng Wotwesi menangkap sesuatu yang mencurigakan dari pancaran wajah Ki Dewan. Ia bertanya dengan nada bercanda, "Kamu tidak menyobek beberapa halamannya kan?"