"Iya, Mbok! Tapi salahkah jika aku harus melindungi diriku!"
Ia ingat janji itu, bahkan masih segar dalam ingatannya, tapi ketika sedang dalam pertarungan, dia tidak ingat apa-apa lagi. Hanya satu yang ada dalam pikirannya, yaitu menghabisi musuh secepat mungkin. Meskipun setelah itu penyesalan selalu menggumuli perasaannya. Ia sendiri tidak mengerti mengapa timbul kemarahan yang tak terkendali dan baru akan merasa puas setelah melepaskan pukulan-pukulan maut untuk membunuh setiap musuhnya.
"Melindungi diri tidak berarti harus membunuh bukan?"
"Iya Mbok!" Tubuh gagah yang telah mengguncang dunia persilatan itu pun seperti tidak bertulang seketika. Matanya meredup dan menatap lantai.
"Iya apa, Le?"
"Tidak harus membunuh!"
"Jangan marahi dia!" sahut Kanjeng Wotwesi yang tanpa disadari oleh mereka berdua telah muncul di ruangan itu.
Mbok Cipluk memberanikan diri berkata, "Maaf Kanjeng, saya mohon dengan hormat agar Kanjeng tidak melibatkan Klebat dengan perkelahian-perkelahian yang membuat dia harus membunuh orang!"
"Aku melibatkan Klebat?"
Mbok Cipluk menunduk dengan tubuh gemetar.
"Dia berhak menuntut balas atas kematian ibunya tahu!"