Oleh: Tri Handoyo
Atas bantuan Gandung Si Raja Belut, Lintang yang membawa sepuluh murid terbaiknya, berhasil menemukan bukit yang dijadikan sarang 'Wong Langit'.
"Kalian jaga di sini! Jika ada yang turun, itu bagian kalian!" Setelah berkata demikian, lelaki yang dijuluki Pendekar Pedang Akhirat itu lalu berlari menaiki jalan berbatu. Tampaknya ia tidak menggunakan keseimbangan tubuh dan tanpa memperhatikan bebatuan yang dipanjatnya. Padahal tebing itu berlumut dan licin sekali. Di samping karena terdapat mata air di atas yang selalu mengalir melewatinya, juga tidak sedikit bebatuan yang ujungnya runcing atau pipih seperti pisau. Akan tetapi, sungguh mengagumkan, Lintang dapat berlari menaikinya seolah-olah jalan itu datar saja.
Di pintu gerbang sarang perampok, Lintang langsung disambut bentakan menyeramkan oleh salah seorang penjaga. "Hei bangsat! Siapa kau berani lancang menginjakan kaki di sini?" Tubuhnya tinggi besar dan kedua lengan tangannya penuh bulu hitam. Ia memegang sebuah golok besar tapi bentuknya persegi, dan berkilauan saking tajamnya.
Beberapa temannya yang mendengar suara bentakan itu segera bangkit dari tempat duduk dan siap dengan senjata mereka masing-masing.
"Siapa yang menyingkir dari sini akan selamat!" kata Lintang tetap tenang.
"Kau yang harus menyingkir setan keparat!" jawab si penjaga galak dan langsung mengayunkan golok membacok kepala.
Entah bagaimana Lintang sudah secepat kilat mencengkeram batang leher si penjaga itu dan sekali cengkeram, jalan darah yang menuju ke otak itu tersumbat dan dalam sekejap mata dia tergeletak lemas. Sepertinya tak bergerak lagi.
Teman-temannya melotot menyaksikan itu. Lalu tanpa dikomando, sambil mengeluarkan teriakan-teriakan nyaring mereka semua langsung menggempur. Mereka rata-rata memiliki tenaga yang cukup besar, sehingga dengan itu mereka dapat menutupi kekurangannya dalam hal ilmu silat.
Hebat pertempuran itu. Bagaikan hujan bermacam-macam senjata menerjang bergantian dari semua penjuru arah. Para pengeroyok kaget tiada habisnya karena lelaki muda itu seakan-akan memiliki puluhan pasang mata pada semua bagian tubuhnya. Ia belum mengeluarkan pedangnya, tapi pukulan dan tendangan yang sangat kuat membuat setiap benturan pasti membuat senjata pengeroyok terpental lepas.
Hanya dalam waktu singkat mereka semua roboh. Dengan tulang tangan atau kaki yang patah, cukup membuat nyali mereka menciut untuk kembali melawan. Bahkan mereka berusaha menyingkir dari arena pertempuran, walau pun harus dengan merangkak. Ada juga yang berusaha menuruni tebing batu. Lintang membiarkan saja, karena mereka akan diselesaikan oleh murid-muridnya di bawah.
"Hebat... luar biasa..!" Ki Bajul Brantas memuji sambil menyeringai.
"Ilmu ibliskah yang kau gunakan itu?" tanya Pendekar Golok Maut.
Pendekar Cebol yang berdiri di samping Ki Kalong Wesi mulai berkeringat dingin. Baru sekali itu selama hidupnya ia melihat pertarungan yang sangat hebat dan cepat.
"Hm.., bukankah kamu tadi menggunakan ilmu ajian Waringin Sungsang?" tanya Ki Kalong Wesi, "Hebat! Dari mana kamu dapat ilmu itu?"
"Anda seorang pendekar yang cerdas!" balas Lintang memuji.
"Tapi ilmu itu bagiku sama saja dengan ilmu seorang bocah!" Sesudah berkata demikian dia berseru dengan menggunakan ajian 'Gelap Ngampar'.
Biasanya, ilmu tenaga gertakan yang sudah mencapai tingkat tinggi itu akan membuat jantung lawan tergetar sehingga bisa mengacaukan konsentrasi dan pergerakan jurus silatnya. Akan tetapi, ternyata ajian itu tidak berpengaruh terhadap Lintang. Tiga kali gempuran kilat Ki Kalong Wesi mengenai tempat kosong.
Pendekar Golok Maut segera ikut menerjang dengan jurus-jurus mautnya. Lintang maklum bahwa meski pun kelihatannya serangan itu seperti biasa saja, akan tetapi hebatnya bukan main. Ketika Lintang mengelak sambil melompat, tanah di belakangnya yang terkena angin sambaran golok itu berhamburan ke atas dan pohon di belakangnya bergoyang-goyang. Serangan yang mengandung tenaga dalam yang sanggup mengirim nyawa seseorang berjumpa malaikat maut.
Ki Bajul Berantas kini turut menggempur dengan mengandalkan kegesitannya. Pendekar Cebol pun tidak tinggal diam. Ia ikut mengeroyok meskipun jarang sekali memperoleh peluang untuk melancarkan serangan. Malahan ia yang selalu terancam.
"Biarlah aku minggir dulu dan memberi kesempatan kepada kalian!" seru Ki Kalong Wesi, "Kalian boleh memberi pelajaran kepada dia, tapi jangan dibunuh, biarkan aku yang akan menghabisinya!" Sikapnya yang sangat sombong itu sengaja untuk melemahkan mental lawan.
Pada saat semakin terdesak, Lintang akhirnya menghunus pedangnya yang tergantung di pinggang. Hebat sekali ilmu pedang warisan Pedang Akhirat itu, karena ke arah mana pun golok lawan bergerak, pada akhirnya selalu terbentur oleh pedang yang bahkan otomatis dapat pula membalas, sabetan dengan sabetan, tusukan dengan tusukan.
Ki Bajul Brantas dibuat tercengang, tapi masih berusaha menjatuhkan diri ke belakang, namun ujung pedang Lintang masih sempat merobek baju di dada dan terus meluncur hingga ke dagu, merobek pula kulit sehingga darah bercucuran membasahi tubuh.
Tiba-tiba Ki Kalong Wesi secepat kilat melayangkan serangan pedang dari belakang, bersamaan dengan Pendekar Golok Maut yang sambil begulingan di tanah lalu menyabetkan goloknya ke arah perut. Namun mereka salah kalau mengira bahwa serangan itu akan berhasil melukai Lintang.
Pedang di tangan Lintang bergerak cepat. Ki Kalong Wesi kaget setengah mati karena begitu senjata bertemu, pedang Lintang terus menyelinap melalui bawah lengannya, menusuk ke arah ketiak secara aneh dan sama sekali tidak disangka-sangka. Ki Kalong terpaksa menjatuhkan tubuhnya menghindar. Lintang yang sudah sangat marah itu melesat dalam pengejarannya sehingga ujung pedangnya sempat membuat pakaian manusia licik itu robek lebar.
Saat itu kesempatan emas bagi Pendekar Golok Maut untuk menyerang Lintang yang pedangnya sedang mengejar Ki Kalong. Tapi secepat kilat tubuh Lintang berputar seiring pedangnya yang membabat putus tangan Pendekar Golok Maut. Lelaki itu kini berdiri tegak, memandang dengan mata berkunang-kunang ke arah lengan kanannya yang sudah buntung. Darahnya mengucur membasahi tanah. Tangan kanannya yang putus itu masih menggenggam golok dengan sangat erat. Dengan tangan kiri ia kemudian mengambil golok di atas tanah.
Ki Kalong Wesi tampak merapal sebuah mantra. Maka begitu merasakan ada getaran aneh keluar dari mulut Ki Kalong disertai pandang mata yang tajam melumpuhkan semangat, dengan cepat Lintang mengerahkan tenaga batinnya untuk menolak pengaruh sihir itu sambil membaca ajian dekat jarinya yang mengenakan cincin Pirus pemberian Mbah Kucing. Ajian Sapu Jagad.
Ki Kalong Wesi memutar kedua tangan dengan aneh di sisi pinggang dan kemudian mendorong maju. Segumpal hawa dingin menyambar ke arah Lintang. Tentu saja Lintang yang sudah mengenal kehebatan tenaga dalam kakek itu, menyambut dengan menggerakan tangan dan mendorong ke depan pula.
Mereka berdiri dengan jarak sekitar lima meter. Oleh karena mereka saling mengulurkan tangannya, maka telapak tangan mereka hanya terpisah tiga meter. Namun demikian, meskipun tangan mereka tidak saling bersentuhan, tetapi hawa energi yang dasyat yang keluar dari telapak tangan itu bertemu di udara. Mereka berdiri tak bergerak, dan hanya dua menit Ki Kalong mampu bertahan. Mukanya tiba-tiba menjadi pucat dan tubuhnya terpelanting ke belakang.
Tubuh Lintang terdorong oleh tenaga yang sangat besar sehingga kuda-kudanya sudah tidak di tempatnya lagi, sudah bergeser sejauh satu meter lebih, membuat garis pada tanah yang dalamnya sampai mata kaki.
Meski pun Ki Kalong masih bisa berdiri, namun tetap saja hawa pukulan Lintang yang mengandung hawa sakti itu telah membuat dadanya serasa membeku. Cepat-cepat ia duduk bersila mengatur napas memulihkan tenaga agar jangan sampai isi dadanya berhenti lantaran darahnya menggumpal.
Semua orang sudah terluka, tentu saja kecuali Lintang. Karena mereka pun maklum bahwa ketua Ikatan Pendekar Jawa itu tentu tidak akan mungkin mengampuni, maka semua kepandaian harus mereka kerahkan. Dengan nekat, setelah saling berpandangan, mengirim isyarat, secara bersamaan mereka menggempur maju.
Lintang ingin segera mengakhiri semuanya dengan menggunakan jurus pamungkas Pedang Akhirat. Ia menyabetkan pedang sambil memutar badan seperti gasing. Keempat tubuh yang menerjang dan masih dalam jarak sekitar dua meter itu tiba-tiba putus setengah badan. Isi perut mereka berhamburan ketika potongan-potongan tubuh itu jatuh berserakan ke tanah.
Ki Kalong Wesi dengan tubuh terpotong sebatas perut masih berusaha merangkak. Matanya yang mengerikan menatap tajam ke arah Lintang. Potongan tubuh bagian kaki berkelojotan, menjejak-jejak seolah berusaha bangkit, tapi itu tidak berlangsung lama.
Lintang memanggil murid-muridnya untuk naik ke atas. Mereka kemudian mengubur mayat-mayat 'Wong Langit'. Dikubur dalam satu liang lahat. Setelah itu mereka memeriksa ke dalam gubug-gubug, yang membuat mereka sangat terperanjat saat mengetahui bahwa ternyata menyimpan banyak peti-peti kayu. Semua peti berisi perhiasan dari emas dan perak serta batu-batu permata.
Di Jombang kota, hari itu dihebohkan oleh beberapa aksi Ki Demang Japa dan aparat kademangan melakukan penangkapan terhadap Ki Wiryo dan anak buahnya. Dewandaru dan Ustadz Jangkar yang akan melarikan diri dengan membawa banyak emas sumbangan Masjid juga berhasil dilumpuhkan. Sementara murid-murid fanatik Ustadz Jangkar yang menuduh Ki Demang Japa melakukan kriminalisasi terhadap ulama, yang akan melakukan perlawanan berkedok jihad, akhirnya juga dilumpuhkan.
Ki Wiryo ditangkap di rumahnya tanpa ada perlawanan yang berarti. Akan tetapi, karena orang tua sebatang kara itu telah mengalami gangguan jiwa, akhirnya ia dilepas lagi agar dirawat oleh para  pembantunya.
Di masa tuanya, lelaki mantan demang itu lebih banyak diam. Di samping tubuhnya mulai didera berbagai penyakit, kewarasan akalnya juga memprihatinkan. Hanya sekali waktu mulutnya yang jika berbicara miring separuh itu menggumam pendek. Jika disimak, bunyinya, "Tidak mungkin..! Tidak mungkin..!" Hanya Ki Wiryo dan Tuhan yang tahu apa maksudnya. Itu membuat masyarakat akhirnya menyebut Juragan Wiryo dengan julukan 'Juragan tidak mungkin'.
Sekali lagi, masyarakat mendapat pelajaran berharga mengenai filosofi Jawa kuno yang mengatakan 'Ngunduh Wohing Pakarti', yang memiliki arti memetik buah dari apa yang telah diperbuat. Juga 'Becik ketitik ala ketara', yang artinya kebajikan dan kejahatan itu pada saatnya nanti pasti akan terungkap.
Hari itu banyak orang yang tidak tahu bahwa komplotan penjahat yang paling berbahaya di Jombang telah ditumpas habis. Masyarakat luas, khususnya orang-orang kaya, tidak tahu bahwa untuk malam-malam yang akan datang, mereka bisa menikmati tidur dengan nyenyak. Mereka juga tidak pernah tahu bahwa semua itu berkat Lintang Kejora, Si Pendekar Pedang Akhirat, si pembasmi kejahatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H