Ki Kalong Wesi memberi tanda kepada orang-orangnya dan melarang mereka mendekati Mahesa. Dalam hati ia mengagumi daya tahan murid Lintang Kejora yang sangat luar biasa itu. "Biarkan dia! Jangan lukai tubuhnya! Dia sudah terluka parah!" Itu adalah bentuk penghormatan yang bisa ia lakukan terhadap seorang ksatria sejati.
Mahesa masih berdiri tegak dengan kedua kaki dipentang. Tiba-tiba dia memegang ulu hatinya dan muntah-muntah. Gumpalan darah beberapa kali menyembur keluar dari mulutnya. Ia benar-benar kehabisan tenaga, lalu jatuh dan bertumpuh dengan kedua lutut. Dia berusaha menghapus darah di bibirnya dengan ujung lengan baju, lalu bergumam perlahan, "Lastri.., Manggala.., tunggulah aku!" Tubuhnya roboh, dan nyawanya telah melayang pergi.
Hujan mulai redah. Angin yang tadi berhembus dan bermain-main di antara dedaunan sekarang berhenti. Bunga-bunga kamboja berguguran. Sunyi senyap, seakan-akan seluruh alam semesta ikut menyatakan bela sungkawa atas kematian sepasang suami istri yang hidupnya dulu pernah menggemparkan dunia persilatan. Mahesa Wijaya, ksatria sejati itu telah pergi untuk selamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H