Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (97): Pendekar Sejati

27 Oktober 2024   05:12 Diperbarui: 27 Oktober 2024   09:43 801
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Raden Ghandi hanya mundur selangkah dan merasa tengkuknya nyeri. Diam-diam ia mengeluh. Memang tadinya ia sengaja hendak mengukur kondisi tubuhnya. Tenaganya sebagian sudah pulih, tetapi ternyata pengerahan energi yang besar itu membuat luka dalam itu kambuh kembali.

Di pihak lain, Gandung heran setengah mati. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa Raden Ghandi masih mempunyai tenaga sehebat itu. Ia lebih berharap bahwa putra Lintang itu yang terluka, karena akibat yang ditimbulkannya pasti akan jauh lebih dasyat. Putra kesayangan Sang Guru Besar dikalahkan oleh putra seorang guru biasa, itu adalah suatu peristiwa yang akan membawa dampak besar.

Tak tega melihat muka Manggala karena tadi terlihat pucat, lebih pucat dari muka mayat, Ghandi berlari pulang. Ia memberitahukan kepada ibunya dan meminta maaf.

Arum segera datang dan mencoba membantu mengobati Manggala. Ia kaget setelah melihat ada lebam biru kehitaman di dada bocah itu, lebam tinju tangan ukuran orang dewasa. "Kenapa ada lebam tangan orang dewasa?"

Dua orang murid yang dimintai keterangan tidak ada yang tahu. Semua murid yang berada di lokasi hanya menyaksikan bahwa Manggala pingsan setelah kena tendangan kaki Raden Ghandi.

Lastri tidak mungkin melampiaskan kemarahannya kepada putra gurunya, apalagi kepada gurunya. Ia hanya pasrah dengan memendam kemarahan itu sekuat tenaga. "Maaf, Mbak, saya akan membawa Gala pulang ke kampung halaman saja!" katanya tanpa memandang ke arah Arum sedikitpun. "Biar dia menjalani perawatan di desa!" Ia langsung membereskan barang-barangnya yang akan dibawa.

Lintang dan Mahesa yang sedang berada di pendopo kademangan segera diberitahu, sehingga mereka pun secepatnya pulang.

Setelah menyaksikan kondisi putranya yang masih pingsan, Mahesa pun tidak mampu menahan kemarahannya. "Kenapa bisa sampai begini? Siapa yang tadi membawa ke sini?"

Dua orang murid maju dengan wajah penuh ketakutan, "Kami yang tadi membawanya, Guru!"

Mahesa menatap wajah mereka satu per satu. "Jelaskan kepada saya, kenapa ada lebam tinju ukuran tangan orang dewasa di dada Gala?"

Mereka berdua hanya diam seribu bahasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun