Arya Dewandaru semakin yakin bahwa orang di depannya itu memang penjahat yang selama ini dicarinya, yaitu Pendekar Tapak Petir.
***
Kini Arya Dewandaru menatap Den Ghandi dengan sorot mata penuh kegeraman. "Dengar baik-baik ya, Nak! Orang tua itu adalah penjahat besar!"
"Dia salah orang!" Joko Petir menyahut cepat, "Saya Surono, bukan Joko Petir.
"Nah, paman salah orang!" seru Ghandi tegas. "Paman yang jahat dan sudah melakukan kesalahan besar!"
"Hei bocah cilik, dengar..."
"Jangan panggil aku bocah cilik. Apa paman sudah tua bangka?"
Dewan menarik nafas panjang. "Baiklah, saya menghormati orang tuamu. Saya mau pergi, tapi saya mau mengambil pedang saya!"
Joko Petir lega mendengar itu. Ia tidak menyangkah nyawanya telah diselamatkan oleh seorang bocah kecil, anak dari orang yang telah membuat kedua tangannya buntung.
"Bocah keparat!" gerutu Arya Dewandaru lirih. Tentu saja wajahnya tadi berubah merah saking marahnya. Terlepas pedang di tangannya dengan sekali dorong oleh seorang anak kecil merupakan penghinaan yang tiada tara bagi komandan pasukan rahasia yang terlatih itu. Benar-benar tidak masuk di akal.
Itulah yang membuat ia kemudian ragu-ragu untuk menyerang, karena apabila sampai bertarung, kalau menang tidak akan berarti apa-apa, namun jika kalah harga dirinya akan hancur lebur terseret masuk ke dalam lumpur.