Oleh: Tri Handoyo
Setelah aman dari Si Iblis Betina, Arum mendengar suara pedang terjatuh. Ia melihat Lastri roboh di tangga. "Lastri!" Ia segera menghampiri murid wanita terbaiknya yang jelas tidak mampu lagi menyembunyikan nyeri akibat luka di lutut dan pundak kirinya.
"Aku tidak apa-apa, Mbak!" seru Lastri berusaha tersenyum, tapi yang tergambar di bibirnya adalah meringis sakit. Ia tadi memang merasa wajib untuk melindungi Guru Arum yang sedang hamil. Itu adalah sebuah amanat, maka ia memaksakan diri harus melakukan pembelaan meskipun dengan tangan kiri lumpuh dan kaki kanan terpincang-pincang, bahkan ia siap mati untuk itu.
"Terima kasih kamu sudah menolongku, Lastri!"
Lastri tidak bisa menjawab karena rupanya ia kembali pingsan.
Pada saat itu, Ki Kalong Wesi berdiri dengan wajah pucat. Matanya tajam menatap, bukan kepada Lintang yang hebat itu, melainkan ke atas tanah, di mana tubuh Iblis Betina terkapar tak bergerak. Sebelah tangan nenek jahat itu buntung dan sebelahnya lagi terbelah, dari telapak sampai setengah lengan. Kedua pupil mata Nenek Iblis itu melotot ke atas, mulutnya menganga lebar, karena berbarengan dengan jatuhnya tubuh itu nyawanya pun telah melayang untuk selamanya.
Begitu Ki Kalong Wesi menyadari bahwa Si Iblis Betina telah tewas, ia menjadi sangat murka. Ia menyerbu Lintang dengan segala kemampuan yang dimilikinya secara membabi buta. Pendekar Cebol, Ki Bajul Brantas dan Pendekar Golok Maut pun termotivasi untuk memperhebat daya serang mereka dari berbagai arah. Dengan garang golok-golok mereka bergerak sampai terlihat cahaya kilat menyambar-nyambar ketika tertimpa sinar matahari.
Sementara itu hati Ki Demang makin merasa was-was. Ia menunggu bantuan pasukan dari Tumenggung Legowo yang tak kunjung datang. Tidak sesuai rencana. Janjinya pasukan tumenggung yang lebih dulu datang menyerang padepokan, lalu Ki Demang dan orang-orangnya datang membantu.
Mahesa yang masih mampu mendesak lawan meskipun dikeroyok, menandakan bahwa pemuda itu memiliki kepandaian silat cukup tinggi.
'Kalau sampai muridnya saja seperti itu, alangkah hebat gurunya,' batin Ki Demang sambil mengira-ngira tingkat kepandaian lawannya itu.
Para pengeroyok Mahesa mulai kelelahan. Mereka tidak lagi bernafsu menyerang, hanya mencoba bertahan. Berkali-kali Ki Demang menarik napas panjang untuk menguatkan nyalinya.
Hal yang sama juga terjadi pada keempat pendekar yang mengeroyok Lintang. Mereka itu banyak mengenal pendekar hebat, seperti Pendekar Bongkok Klothok dan Mbah Broto Brantas, namun belum pernah melihat seorang pendekar hebat yang masih begitu muda. Tidak mengherankan apa bila mereka pun tanpa malu-malu mengeroyok pemuda berjuluk Pendekar Pedang Akhirat itu.
Sebuah ajian pamungkas yang sangat dirahasiakan, yang memiliki energi dasyat dan hanya dimiliki oleh segelintir orang di muka bumi ini, yakni jurus pedang akhirat, pasti akan membuat Lintang sanggup membabat habis musuh-musuhnya itu dengan mudah.
Tapi menyaksikan kematian Si Iblis Betina yang mengenaskan itu sempat membuat hatinya terharu. Bagaimana pun juga wanita jahat itu pernah mengasuhnya sebagai anak. Keraguan itu membuat Ki Kalong Wesi mendapat angin dan menyangka bahwa pemuda itu mulai merasa gentar terhadap serangan-serangannya, maka ia makin mempercepat gerakannya.
Sedangkan senjata golok di tangan Ki Banjul Brantas dan Pendekar Golok Maut menyambar-nyambar bergantian bagaikan dua ekor ular Sanca yang menyerang kepala. Golok-golok itu menyambar dengan dorongan tenaga yang bukan main besarnya hingga biarpun Lintang sangat lihai namun sekali saja terkena sabetan golok itu pada lehernya, tentu nyawanya akan terancam. Pendekar Cebol juga tidak kurang berbahaya. Sepasang telapak adalah senjata maut yang dapat digerakkan cepat sekali mengarah jalan-jalan darah yang paling berbahaya.
***
Di pagi buta tadi, Cak Japa mengantar istrinya belanja ke pasar. Alya, putri kecil mereka ikut bersama. Tiba-tiba kereta mereka berpapasan dengan rombongan pasukan berkuda yang dari ciri-ciri seragamnya mereka adalah pasukan Tumenggung Legowo.
"Hiaaa! Hiaaa!" teriak seorang pasukan paling depan sambil melecutkan cambuk. Membuat orang-orang segera berlarian minggir menepi.
Cak Japa turun dari dokar dan memperhatikan rombongan pasukan yang mungkin berjumlah sekitar seratus orang itu.
"Hei ada burung bagus!" seru Asih Larasati mengalihkan perhatian putrinya dari jalan.
"Ibu ini ngawur!" Alya berusaha mengintip lewat sisi tubuh ibunya yang menghalangi pandangannya.
"Huusss.., ngawur bagaimana?"
"Itu bukan burung, tapi ayam!" bantahnya, "Ibu membedakan burung sama ayam saja nggak bisa!"
"Oh iya!" Asih pura-pura khilaf, "Maaf!"
Saat itu, kuda yang ditungganggi seorang pasukan yang paling belakang tiba-tiba terjungkal. Prajurit penunggangnya tersungkur ke tanah bersama kudanya. Cak Japa tidak mempergunakan serangan mematikan, melainkan hanya melempar batu kerikil ke arah lutut kuda yang membuatnya terjungkal.
Dengan gerakan yang penuh kemarahan orang berkuda itu meloncat bangun dan menatap ke arah Cak Japa. "Bangsat..! Sudah pingin mampus ya!" teriaknya dan pedangnya berkelebat menyambar ke arah kepala orang yang berpenampilan layaknya kusir dokar itu.
Tapi ia tertegun karena selain pedangnya hanya membabat angin belaka, lelaki di depannya itu telah lenyap dari pandangan matanya. Selagi ia bingung, ia mendengar suara lirih di belakangnya.
"Rombongan kalian tadi mau ke mana?" tanya Cak Japa. Orang-orang di jalanan memang sudah ramai membicarakan bahwa pagi itu sedang terjadi perang antara Demak dan Majapahit.
Cepat orang itu membalik sambil menyabetkan pedang. Tapi kembali ia kehilangan lawannya yang ternyata dengan ilmu meringankan tubuh yang luar biasa telah lenyap dan sudah berada tepat di belakangnya lagi.
"Aku kan tanya baik-baik!" kata Cak Japa lagi.
Menyadari bahwa yang sedang dihadapinya adalah orang yang berilmu tinggi, prajurit itu menjawab dengan gemetaran, "Kami dapat perintah untuk menyerbu Benteng Nusa!"
Kemudian, dengan tangan kiri Cak Japa menyodok cepat leher prajurit itu sementara tangan kanannya menahan tubuh yang lemas tak berdaya, dan membaringkannya di tanah. Setelah semua itu, dengan sekali lompat ia kembali berdiri di samping dokar, tanpa mengeluarkan bunyi dan mukanya sedikit pun tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia telah mempergunakan banyak tenaga.
"Saya harus pergi ke Padepokan Benteng Nusa!" kata Cak Japa kepada istrinya. "Kalian pulanglah!"
***
Melihat keberingasan keempat orang lawannya, Lintang mengambil keputusan bulat untuk bertindak cepat menyingkirkan lawan-lawannya itu. Tiba-tiba ia berseru keras hingga keempat orang lawannya itu menjadi terkejut karena jantung mereka tergetar oleh gema suara yang hebat itu.
Pada saat itu, Ki Kalong Wesi sedang melayangkan pukulan dasyat ke dada Lintang, disusul Pendekar Golok Maut melayangkan sabetan ke kepala Lintang, dan golok Ki Bajul dengan gerakan yang kuat sekali dari arah belakang membabat leher, sedangkan sepasang tinju Pendekar Cebol mengancam ke arah punggung. Akan tetapi, karena kekagetan tadi membuat mereka agak tercengang hingga gerakan mereka menjadi lambat, Lintang lalu memperlihatkan kelihaiannya yang benar-benar hebat dan sukar untuk dipercaya oleh mereka yang menyaksikan. Lintang tidak mengelak dari serangan-serangan dari berbagai arah itu, bahkan ia seolah hanya pasrah.
Pada saat itu, cakaran ke arah dada telah mencapai sasarannya dan tepat mengenai ulu hati Lintang. Akan tetapi, alangkah terkejutnya Ki Kalong Wesi ketika ia merasa betapa pukulannya itu seakan-akan telah memukul karung kosong saja. Ia cepat menarik kembali dan dengan mata terbelalak ia melihat betapa kepalan tangannya telah gosong, tulang-tulangnya terasa ngilu. Ia mengeluarkan raungan seperti binatang buas. Tiba-tiba rasa pedih luar biasa menjalar cepat ke sekujur tubuh.
Senjata di tangan Pendekar Golok Maut dan Ki Bajul Brantas yang nyaris berbarengan datangnya dengan kekuatan luar biasa itu, yang sudah pasti tidak ada lagi kesempatan buat Lintang untuk mengelak, namun entah bagaimana Lintang menggerakan tangannya, karena tiba-tiba golok-golok di tangan Ki Bajul dan Pendekar Golok Maut terlepas.
Sementara itu, sepasang tinju Pendekar Cebol belum sempat mengenai sasaran tapi kedua tinjunya terasa membentur batu karang yang membuat jemarinya remuk. Tak tertahankan lagi terbungkuk-bungkuk dan akhirnya dia jatuh bergulingan. Hebat bukan main penderitaan itu, sekali pun dia adalah seorang pendekar yang amat kuat.
Lintang menghembuskan nafas pelan, ternyata ia telah dapat melumpuhkan empat serangan lawan tanpa mengubah kedudukan kakinya. Lintang tidak berhenti sampai di situ saja dan sekali pedangnya berkelebat ke arah empat orang lawannya, mereka merasa angin yang kuat menyambar, maka mereka terpaksa menggerakan tangan menangkis. Akan tetapi, dengan heran mereka melihat Lintang masih tetap berada di tempatnya, sedangkan mereka tidak merasa mendapat pukulan.
Selagi empat orang itu memandang heran, tiba-tiba Cak Japa yang sudah berdiri di pinggir merasa kagum melihat demonstrasi kepandaian pendekar muda itu. "Dengan mudah Pendekar Pedang Akhirat mengalahkan jagoan-jagoan Ki Demang! Ki Kalong Wesi, kamu dan kawan-kawanmu telah kalah, maka kalian silakan angkat kaki dari sini!"
Pendekar Golok Maut memandang dengan marah, "Kami memang telah kehilangan senjata, akan tetepi itu bukan berarti bahwa kami telah kalah, karena kami belum dirobohkan! Bagi kami, kehilangan nyawa lebih baik ketimbangan menyerah!"
Cak Japa kembali tertawa pelan. "Manusia dungu dan tidak tahu diri! Kalian telah mendapat ampunan dari ketua kami, akan tetapi masih belum mengakui kedunguan sendiri? Ki Kalong Wesi, Pendekar Golok Maut, Ki Bajul Brantas dan kamu juga Pendekar Cebol, lihatlah tanah di bawahmu!"
Keempat orang itu melihat ke arah bawah kakinya, dan terkejutlah mereka oleh karena ada goresan yang cukup dalam di tanah. Cak Japa melihat Lintang membuat guratan di atas tanah yang keras itu, guratan yang merupakan garis lingkaran mengelilinginya. Hebat pemuda itu, dengan jarak jauh ujung pedangnya menggurat dan rumput di atas tanah itu seperti dipaculi saja, sedalam sepuluh sentimeter lebih.
Mereka menjadi pucat dan bergidik oleh karena ternyata bahwa angin serangan pedang tadi telah membuat tanah di depan pijakan kaki mereka tergores begitu dalam, dan kalau saja pemuda itu menghendaki, maka untuk membunuh mereka pasti sama mudahnya dengan mencangkul tanah.
Ki Kalong Wesi hanya pernah mendengar saja cerita dari gurunya bahwa di jaman dahulu ada semacam ilmu Pedang Akhirat, yang sekarang hanya tinggal dongengan saja. Ia sendiri belum pernah melihat ada tokoh silat yang menggunakan ilmu silat itu dalam pertarungan. Akan tetapi sekarang dia melihat Lintang menggunakannya.
Demonstrasi yang diperlihatkan Lintang itu menunjukkan bahwa tenaga dalamnya luar biasa hebat, agaknya sengaja ia perlihatkan untuk menjatuhkan mental lawan.
Ki Demang melihat sekelilingnya, yang tampak masih berdiri ternyata murid-murid Padepokan Benteng Naga. Ia berharap bantuan pasukan dari Tumenggung Legowo segera hadir, akan tetapi ia tidak tahu bahwa Tumenggung Legowo dan pasukannya telah kocar-kacir dihajar Cak Japa di luar padepokan.
Dengan memendam rasa malu, Ki Demang memberi isyarat orang-orangnya untuk pergi dari tempat itu. sebagian besar mereka dalam keadaan terluka parah, sehingga memaksakan diri untuk melanjutkan pertempuran sama halnya dengan bunuh diri.
***
Selama kehidupan berlangsung, rupanya tiada hentinya terjadi peperangan di antara umat manusia. Sepanjang perjalanan sejarah, terbukti bahwa setan-setan pemuja perang senantiasa menghasut manusia agar melakukan peperangan. Betapa pun majunya peradaban manusia dari sisi lahiriah, di sisi batiniah manusia bahkan masih berjalan di tempat.
Peperangan, di mana pun terjadinya di muka bumi ini, dengan dikemas bungkus indah semacam perjuangan membela harga diri, perang suci membela agama, membela kerajaan dan lain-lain dalih, tapi tetap saja berarti saling menghancurkan dan saling membunuh, untuk melampiaskan dendam dan kebencian, beringas melampaui binatang buas dengan hukum rimbanya.
Untuk beberapa tahun lamanya keadaan damai menyelimuti bumi Jombang, tepatnya sejak Kerajaan Majapahit di bawah Dyah Ranawijaya ditaklukan oleh Kasultanan Demak. Di bawah pemerintahan Sultan Trenggana, kondisi perekonomian tumbuh dengan baik sehingga kehidupan rakyat secara perlahan mulai mengalami kemakmuran. Sebuah ironi, hukum rimba yang berujung kemakmuran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H