"Huusss.., ngawur bagaimana?"
"Itu bukan burung, tapi ayam!" bantahnya, "Ibu membedakan burung sama ayam saja nggak bisa!"
"Oh iya!" Asih pura-pura khilaf, "Maaf!"
Saat itu, kuda yang ditungganggi seorang pasukan yang paling belakang tiba-tiba terjungkal. Prajurit penunggangnya tersungkur ke tanah bersama kudanya. Cak Japa tidak mempergunakan serangan mematikan, melainkan hanya melempar batu kerikil ke arah lutut kuda yang membuatnya terjungkal.
Dengan gerakan yang penuh kemarahan orang berkuda itu meloncat bangun dan menatap ke arah Cak Japa. "Bangsat..! Sudah pingin mampus ya!" teriaknya dan pedangnya berkelebat menyambar ke arah kepala orang yang berpenampilan layaknya kusir dokar itu.
Tapi ia tertegun karena selain pedangnya hanya membabat angin belaka, lelaki di depannya itu telah lenyap dari pandangan matanya. Selagi ia bingung, ia mendengar suara lirih di belakangnya.
"Rombongan kalian tadi mau ke mana?" tanya Cak Japa. Orang-orang di jalanan memang sudah ramai membicarakan bahwa pagi itu sedang terjadi perang antara Demak dan Majapahit.
Cepat orang itu membalik sambil menyabetkan pedang. Tapi kembali ia kehilangan lawannya yang ternyata dengan ilmu meringankan tubuh yang luar biasa telah lenyap dan sudah berada tepat di belakangnya lagi.
"Aku kan tanya baik-baik!" kata Cak Japa lagi.
Menyadari bahwa yang sedang dihadapinya adalah orang yang berilmu tinggi, prajurit itu menjawab dengan gemetaran, "Kami dapat perintah untuk menyerbu Benteng Nusa!"
Kemudian, dengan tangan kiri Cak Japa menyodok cepat leher prajurit itu sementara tangan kanannya menahan tubuh yang lemas tak berdaya, dan membaringkannya di tanah. Setelah semua itu, dengan sekali lompat ia kembali berdiri di samping dokar, tanpa mengeluarkan bunyi dan mukanya sedikit pun tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia telah mempergunakan banyak tenaga.