Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (92): Hukum Rimba

20 Oktober 2024   05:43 Diperbarui: 20 Oktober 2024   07:08 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Keempat orang itu melihat ke arah bawah kakinya, dan terkejutlah mereka oleh karena ada goresan yang cukup dalam di tanah. Cak Japa melihat Lintang membuat guratan di atas tanah yang keras itu, guratan yang merupakan garis lingkaran mengelilinginya. Hebat pemuda itu, dengan jarak jauh ujung pedangnya menggurat dan rumput di atas tanah itu seperti dipaculi saja, sedalam sepuluh sentimeter lebih.

Mereka menjadi pucat dan bergidik oleh karena ternyata bahwa angin serangan pedang tadi telah membuat tanah di depan pijakan kaki mereka tergores begitu dalam, dan kalau saja pemuda itu menghendaki, maka untuk membunuh mereka pasti sama mudahnya dengan mencangkul tanah.

Ki Kalong Wesi hanya pernah mendengar saja cerita dari gurunya bahwa di jaman dahulu ada semacam ilmu Pedang Akhirat, yang sekarang hanya tinggal dongengan saja. Ia sendiri belum pernah melihat ada tokoh silat yang menggunakan ilmu silat itu dalam pertarungan. Akan tetapi sekarang dia melihat Lintang menggunakannya.

Demonstrasi yang diperlihatkan Lintang itu menunjukkan bahwa tenaga dalamnya luar biasa hebat, agaknya sengaja ia perlihatkan untuk menjatuhkan mental lawan.

Ki Demang melihat sekelilingnya, yang tampak masih berdiri ternyata murid-murid Padepokan Benteng Naga. Ia berharap bantuan pasukan dari Tumenggung Legowo segera hadir, akan tetapi ia tidak tahu bahwa Tumenggung Legowo dan pasukannya telah kocar-kacir dihajar Cak Japa di luar padepokan.

Dengan memendam rasa malu, Ki Demang memberi isyarat orang-orangnya untuk pergi dari tempat itu. sebagian besar mereka dalam keadaan terluka parah, sehingga memaksakan diri untuk melanjutkan pertempuran sama halnya dengan bunuh diri.

***

Selama kehidupan berlangsung, rupanya tiada hentinya terjadi peperangan di antara umat manusia. Sepanjang perjalanan sejarah, terbukti bahwa setan-setan pemuja perang senantiasa menghasut manusia agar melakukan peperangan. Betapa pun majunya peradaban manusia dari sisi lahiriah, di sisi batiniah manusia bahkan masih berjalan di tempat.

Peperangan, di mana pun terjadinya di muka bumi ini, dengan dikemas bungkus indah semacam perjuangan membela harga diri, perang suci membela agama, membela kerajaan dan lain-lain dalih, tapi tetap saja berarti saling menghancurkan dan saling membunuh, untuk melampiaskan dendam dan kebencian, beringas melampaui binatang buas dengan hukum rimbanya.

Untuk beberapa tahun lamanya keadaan damai menyelimuti bumi Jombang, tepatnya sejak Kerajaan Majapahit di bawah Dyah Ranawijaya ditaklukan oleh Kasultanan Demak. Di bawah pemerintahan Sultan Trenggana, kondisi perekonomian tumbuh dengan baik sehingga kehidupan rakyat secara perlahan mulai mengalami kemakmuran. Sebuah ironi, hukum rimba yang berujung kemakmuran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun