Para pengeroyok Mahesa mulai kelelahan. Mereka tidak lagi bernafsu menyerang, hanya mencoba bertahan. Berkali-kali Ki Demang menarik napas panjang untuk menguatkan nyalinya.
Hal yang sama juga terjadi pada keempat pendekar yang mengeroyok Lintang. Mereka itu banyak mengenal pendekar hebat, seperti Pendekar Bongkok Klothok dan Mbah Broto Brantas, namun belum pernah melihat seorang pendekar hebat yang masih begitu muda. Tidak mengherankan apa bila mereka pun tanpa malu-malu mengeroyok pemuda berjuluk Pendekar Pedang Akhirat itu.
Sebuah ajian pamungkas yang sangat dirahasiakan, yang memiliki energi dasyat dan hanya dimiliki oleh segelintir orang di muka bumi ini, yakni jurus pedang akhirat, pasti akan membuat Lintang sanggup membabat habis musuh-musuhnya itu dengan mudah.
Tapi menyaksikan kematian Si Iblis Betina yang mengenaskan itu sempat membuat hatinya terharu. Bagaimana pun juga wanita jahat itu pernah mengasuhnya sebagai anak. Keraguan itu membuat Ki Kalong Wesi mendapat angin dan menyangka bahwa pemuda itu mulai merasa gentar terhadap serangan-serangannya, maka ia makin mempercepat gerakannya.
Sedangkan senjata golok di tangan Ki Banjul Brantas dan Pendekar Golok Maut menyambar-nyambar bergantian bagaikan dua ekor ular Sanca yang menyerang kepala. Golok-golok itu menyambar dengan dorongan tenaga yang bukan main besarnya hingga biarpun Lintang sangat lihai namun sekali saja terkena sabetan golok itu pada lehernya, tentu nyawanya akan terancam. Pendekar Cebol juga tidak kurang berbahaya. Sepasang telapak adalah senjata maut yang dapat digerakkan cepat sekali mengarah jalan-jalan darah yang paling berbahaya.
***
Di pagi buta tadi, Cak Japa mengantar istrinya belanja ke pasar. Alya, putri kecil mereka ikut bersama. Tiba-tiba kereta mereka berpapasan dengan rombongan pasukan berkuda yang dari ciri-ciri seragamnya mereka adalah pasukan Tumenggung Legowo.
"Hiaaa! Hiaaa!" teriak seorang pasukan paling depan sambil melecutkan cambuk. Membuat orang-orang segera berlarian minggir menepi.
Cak Japa turun dari dokar dan memperhatikan rombongan pasukan yang mungkin berjumlah sekitar seratus orang itu.
"Hei ada burung bagus!" seru Asih Larasati mengalihkan perhatian putrinya dari jalan.
"Ibu ini ngawur!" Alya berusaha mengintip lewat sisi tubuh ibunya yang menghalangi pandangannya.