Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (88): Robohnya Benteng Moral

15 Oktober 2024   07:09 Diperbarui: 15 Oktober 2024   15:18 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Tri Handoyo

Perlahan matahari tenggelam, seiring semburat jingga yang perlahan merangkak meninggalkan langit ufuk barat. Lastri dan Mahesa dengan menjinjing bungkusan pakaian mereka masing-masing, sudah siap melangkahkan kaki meninggalkan padepokan, hanya tinggal berpamitan kepada Guru Lintang.

"Assalamualaikum, Guru!" ujar Mahesa dan Lastri. Mereka berdua melihat Lintang sedang membaca sebuah kitab di joglo taman.

Lintang berlagak sedikit kaget, tapi kemudian tersenyum ceria. "Waalaikum salam..! Ayo kalian duduk sini, ada yang ingin aku bicarakan?"

Mahesa dan Lastri duduk bersila menghadap Lintang. Mereka berdua cukup bingung, karena di kesempatan itu sikap Lintang begitu sangat bersahabat. Padahal sebelumnya, ketika Guru Arum akan menjatuhkan hukuman, jangankan mencegah, bahkan Lintang seolah-olah sengaja pergi menghindar.

"Kadang aku itu membayangkan seandainya bisa bertemu dengan guru-guru yang telah tiada!" kata Lintang memulai percakapan. "Mpu Naga Neraka, Pendekar Kebokicak, Paman Kelabang Karang..! Mereka pendekar-pendekar yang tangguh dan tegar!"

Mendengar nama-nama itu disebut rasanya jantung Mahesa dan Lastri berdebar hebat. Semua yang disebut itu tokoh-tokoh yang dulu sangat mereka hormati dan kagumi.

"Nah, aku ingin mendengar langsung kisah beliau-beliau dari kalian?"

Sepasang kekasih itu sesaat saling berpandangan. tadinya bingung bagaimana cara berpamitan kepada Lintang, pendekar besar yang sangat murah hati itu, tapi kini bingung dan susah payah harus memaksa mulut mereka bercerita. Sambil bercerita, wajah mereka menunduk, tak sanggup menerima tatapan gurunya.

"Terima kasih!" ucap Lintang gembira, "Hm.., masih banyak warisan mereka yang harus kita pelajari! Jadi saya harap kalian tetap di sini ya!"

"Maaf, kami merasa tidak mampu menjalankan tugas kami dengan baik, Guru!"

"Ya, namanya saja masih tahap belajar!" ujar Lintang dengan nada datar dan mimik wajah ramah. "Untuk menjadi pendekar besar, tidak cukup keras dalam hal fisik saja, tapi juga mental. Harus dengan kesabaran dan ketelatenan!"

Angin mengiringi suara serangga yang segera menyambut kehadiran malam, yang kali ini terdengar bagaikan nyanyian bidadari surga.

"Sebenarnya kalian punya bakat dan semangat yang luar biasa. Nah, Guru Arum itu sedang menggembleng mental kalian! Dia bilang kalian berdua adalah murid kebangaan Benteng Nusa!"

Mahesa dan Lastri mulai berani mengangkat wajah. Mereka seperti kembali dihidupkan. Kini hati mereka berjanji akan menerima segala gemblengan dengan lapang dada.

Ya, berkat Lintang yang dengan lemah lembut membujuk istrinya, akhirnya Arum memaafkan kedua murid terbaik Benteng Nusa itu. Arum sebetulnya juga menyadari bahwa tindakan kedua muridnya membunuh anak buah Ki Demang itu tidak sepenuhnya salah.

***

Lintang Kejora adalah tokoh termuda pewaris tunggal Ilmu Silat Pedang Akhirat. Ada pun istrinya, Arum Naga, adalah puteri tunggal Mpu Naga Neraka pendiri Perguruan Benteng Naga. Dengan demikian, sepasang suami isteri pendekar itu mempunyai cita-cita besar untuk mengembangkan ilmu kepandaian mereka dan menyebar luaskannya kepada masyarakat.

Cita-cita mulia itu membuat mereka mengambil keputuskan untuk memperluas dan memperbesar padepokan, kemudian menerima dan menyeleksi anak-anak berbakat terutama dari anak-anak telantar, untuk dijadikan murid mereka. Itulah sumbangsih mereka sebagai modal investasi dalam upaya pembasmian kejahatan di muka bumi.

Perguruan Benteng Nusa merupakan salah satu perguruan silat terbesar yang ada di Jawa. Bahkan dapat dikatakan bahwa perguruan itu adalah yang paling makmur, mempunyai tanah yang luas, gedung pertemuan yang besar, dan puri megah dengan perabotan-perabotan rumah yang lengkap, serta mengelola wadah yang disebut Tim Tujuh, yang khusus menyalurkan bantuan kepada kaum fakir miskin agar harkat dan martabat mereka terangkat menjadi lebih baik.

Padepokan itu juga memiliki posisi politik semakin kuat karena banyak para pejabat pemerintahan dan para bangsawan yang berusaha menjalin hubungan baik dengan mereka. Baik dari Kesultanan Demak maupun dari Kerajaan Daha.

Hari itu ada perhelatan besar, yakni tasyakuran dan peresmian Puri Naga Nusantara, di samping sekaligus acara ulang tahun Ikatan Pendekar Jawa di tahun pertamanya.

Menjelang dimulainya acara tersebut, keadaan di sekitar padepokan menjadi ramai sekali. Para murid padepokan sudah siap menyambut dan mengarahkan tempat bagi para tamu. Yang lebih membahagiakan, di antara penerima tamu itu tampak Mahesa Wijaya dan Ayu Lastri.

Banyak pemimpin perguruan silat bersama murid-murid mereka datang dengan seragam pakaian yang beraneka ragam. Ki Tejo dari Perguruan Kera Putih dan sepuluh orang muridnya mengenakan seragam serba putih. Ki Marijan dari Perguruan Lebah Hitam dan sepuluh orang muridnya memakai seragam merah matang dengan kombinasi hitam. Ki Entong dari Perguruan Kapak Emas dan sepuluh orang muridnya memakai seragam kuning dan kombinasi warna emas. Perkumpulan Kebatinan Sejati dan Sedulur Kejawen memakai pakaian batik. Para anggota Benteng Nusa dengan seragam hijau khasnya.

Beberapa tokoh penting seperti Cak Japa dan Mbah Broto Brantas juga hadir. Beberapa tamu undangan dari kubu Persatuan Pendekar Pribumi juga ada yang bersedia datang, antara lain, Kang Wahid dan Roro Ajeng dari Perguruan Jari Suci, sementara itu, tidak ada seorang pun perwakilan dari Perguruan Macan Abang, termasuk Ki Demang Wiryo yang juga beralasan tidak bisa hadir.

Pagi hari itu, para tamu sudah berkumpul di pekarangan yang amat luas di tengah padepokan. Ada pun para tamu duduk berkelompok-kelompok, menghadap tuan rumah. Uniknya, pertemuan ini sama sekali tidak dilengkapi kursi, bangku atau pun meja, melainkan duduk bersila di atas tikar.

Tuan rumah sekaligus ketua organisasi, Arum berdiri mengangkat tangannya, memberi isyarat agar semua orang jangan berisik. Setelah mengucapkan rasa terima kasih kepada semua yang hadir, menyampaikan niat hajatan dan agenda-agenda pertemuan hari itu, lalu mengatakan hal yang cukup mengejutkan, "Nah, setelah berjalan satu tahun, saya berniat untuk mengundurkan diri sebagai ketua, sekarang saatnya kita adakan pemilihan ketua Ikatan Pendekar Jawa yang baru!"

Terdengar suara kasak kusuk di tengah hadirin, bertanya-tanya apa yang tengah terjadi sehingga ketua mereka itu mengundurkan diri.

"Saya sadar, dengan munculnya fitnah tentang keturunan Mongol, dan kemudian keberatan dari sebagian orang karena dipimpin oleh seorang wanita, maka organisasi kita menjadi pecah. Sekarang, marilah kita memilih seorang ketua baru yang tepat, yang kiranya akan dapat memimpin saudara-saudara sekalian dengan lebih baik!"

Tetapi ada satu alasan penting yang tidak bisa ia sampaikan di depan umum, ia sedang dalam kondisi hamil. Meskipun sebetulnya itu bukan alasan yang bisa diterima, tapi ia ingin fokus pada kehamilannya, karena ia pernah mengalami keguguran.

"Bagaimana kalau langsung kita tunjuk Ki Lintang sebagai penggantinya?" usul seorang tokoh.

"Saya tidak setuju..!" sahut sorang tokoh lain dengan suaranya yang berat. "Bukankah dulu pemilihan dilakukan melalui pertandingan silat? Kenapa sekarang tidak?"

"Sepakat..!" Terdengar suara parau memberikan dukungan.

Mereka yang usul itu adalah para murid yang menjagokan guru mereka masing-masing untuk menjadi ketua. Ada pula yang mengusulkan Cak Japa, tapi dia menolaknya dengan tegas.

Cak Japa mengingatkan, "Ingat sewaktu dulu pertemuan kita didatangi oleh enam kawanan perampok yang dipimpin Pendekar Tapak Petir, siapa waktu itu yang bisa melumpuhkan mereka? Hanya Pendekar Gembul. Jadi saya pribadi tidak meragukan akan kehebatan ilmu silat beliau, yang sekarang tampak lebih gagah dan tidak gembul!"

Terdengar suara tawa dari para tamu, dan mereka sepakat bahwa Lintang sama sekali tidak kelihatan gemuk seperti dulu.

"Oleh karena itu," sambung Cak Japa, "Saya setuju Pendekar Pedang Akhirat Lintang Kejora yang menjadi ketua perkumpulan kita!"

Keadaan yang tadinya berisik bukan main sekarang kembali tenang. Tampaknya tidak ada seorang pun yang tidak sepakat dengan apa yang telah disampaikan Cak Japa. Sesungguhnya memang tidak ada pendekar di tempat itu yang berani menghadapi Lintang andaikata diadakan adu silat.

***

Padepokan Benteng Nusa, hari itu menerima kedatangan tamu agung, Ki Demang Wiryo bersama keuarga besarnya, yang selama ini menjadi musuh bebuyutan. Rombongan itu ditemui oleh Arum dan Lintang di ruang tamu puri.

Ki Demang, orang tua pemuda bernama Warsito Kertosastro, menyampaikan bahwa niat kedatangan mereka adalah untuk melamar Ayu Lastri. Warsito adalah anak bungsu Ki Demang yang diserahi untuk mengelola Pesanggrahan Seribu Kembang. Rupanya Warsito jatuh hati kepada Ayu Lastri saat ia melihat gadis itu mengamuk di pesanggrahan.

Pastinya Lastri deg-degan ketika diberitahu oleh gurunya, Arum. Antara penasaran dan takut siapa orang yang melamarnya, bagaimana kok dia tahu-tahu melamar, dan masih banyak lagi pertanyaan lalu-lalang di benaknya.

Warsito adalah pemuda yang tampan, gagah dan berpendidikan tinggi, tapi sebelum melihat bagaimana orangnya, Lastri sudah pasti tidak akan menolak jika itu atas perintah gurunya.

Siapa orangnya yang tidak senang dilamar oleh pemuda bangsawan, tampan, pintar dan tentunya kaya raya, yang selama ini jadi pujaan hati banyak gadis. Akan tetapi, Ayu Lastri sudah terlanjur menyerahkan hatinya hanya kepada Mahesa Wijaya. Namun ia juga tidak mungkin bisa menolak permintaan gurunya.

Usia Lastri sebetulnya hanya terpaut bulan dengan Arum. Ia lebih muda, sehingga biasa memanggil 'mbak' kepada Arum. Hanya jika di depan orang lain, ia menghormati Arum dengan memanggilnya Guru Putri. Saat mendiang Mpu Naga masih hidup, Lastri diperlakukan seperti anak sendiri, meskipun kedudukannya sebagai pembantu rumah tangga. Ia dibelikan pakaian yang sama untuknya dan untuk Arum. Oleh karena itu, Lastri merasa telah banyak berhutang budi kepada keluarga Mpu Naga.

Setelah ditentukan hari dan tanggal pernikahan, keluarga besar padepokan mempersiapkan segala yang diperlukan dalam acara tersebut. Inilah jalan untuk mempersatukan antar keluarga besar Padepokan Benteng Nusantara dan Padepokan Macan Abang, sekaligus menyudahi semua pertikaian yang pernah terjadi. Ibu Lastri dan saudara-saudaranya di desa juga diberitahu mengenai acara yang akan dilaksanakan bulan depan itu.

"Rencana menikah di awal bulan depan seolah sudah dirancang sangat apik oleh Allah!" kata Arum kepada Lastri,  "Tiba-tiba saja datanglah seorang pemuda yang nyuruh orang tuanya melamar kamu Lastri! Mereka bukan orang sembarangan!"

Lastri hanya berusaha tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepada Arum.

"Semoga dengan terjalinnya ikatan perkawinan ini nantinya bisa mempersatukan kita semua, khususnya antara Benteng Nusa dan Macan Abang! Kelak kamu akan dikenang sebagai orang yang paling penting dalam peristiwa terjadinya perdamaian ini, Lastri!"

***

"Aku... aku tidak tahu, Cak Mahes!" keluh Lastri kepada kekasihnya, "Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan! Hanya terus terang saja, aku tidak bisa menolak permintaan Guru Arum! Tapi aku juga tidak menolak jika Cak Mahes mengajakku kabur dari sini!"

Mahesa merasa terharu. Kekasihnya itu benar-benar seseorang yang berhati polos, dan terhadap dirinya ia tidak mau menyembunyikan rahasia sama sekali. Hal itu membuat rasa sayangnya semakin dalam. "Aku ingin melihat kamu bahagia, adikku sayang!"

"Tapi.., aku tidak akan pernah bahagia tanpamu! Tidak akan pernah!" Lastri kemudian memohon, "Bawalah aku pergi! Ke mana saja!"

Mereka berdua lalu memutuskan untuk pergi dari padepokan. Seandainya bukan Lastri sendiri yang meminta, Mahesa pasti tidak akan mau melakukan itu. Sore itu mereka pergi menuju ke kotaraja di Trowulan.

Mereka berdua seolah lupa akan masalah yang sedang mereka hadapi. Apalagi Lastri yang periang dan lincah itu, sangat gembira dan berjalan cepat ke sana ke mari mendekati setiap pemandangan yang asing baginya. Setiap ada bangunan indah dan besar ia berdiri terkagum-kagum di depannya, dan perhatiannya tak pernah terlepas dari benda-benda yang diperdagangkan di sepanjang jalan dalam toko-toko.

Mahesa menggandeng tangan Lastri untuk masuk ke dalam warung, karena mencium bau masakan yang gurih dan sedap keluar dari warung itu. Wangi sedap dari masakan daging, bawang dan bumbu-bumbu lain menusuk hidungnya, kuali besar berisi masakan yang mengebul panas-panas tampak begitu menggoda.

Setelah puas berkeliling melihat-lihat kota, malam pun hadir. Mereka akhirnya memasuki sebuah penginapan dan memesan kamar. Malangnya hanya ada tersisa satu kamar. Ruang kamar itu dicat warna biru lembut, sedangkan rangka jendela, pintu, dan dinding dicat putih susu.

"Sudahkah kamu mencoba tempat tidurnya?" tanya Mahesa sambil menggosok badannya dengan handuk. Ia baru selesai mandi.

"Belum," sahut Lastri sambil menggelengkan kepala, "Aku membereskannya tadi, tapi belum sempat berbaring di sana!"

Mereka saling berpandangan lama, kemudian keduanya memalingkan muka masing-masing dengan kaku. "Aku menyesal atas kejadian tadi," Mahesa berkata setelah membisu sesaat. Hanya setelah Lastri menaikan mata untuk memandangnya, dia melanjutkan lagi, "Kuharap kamu mengerti, karena aku begitu terpesona sehingga telah berani kurang ajar menciummu!"

"Lupakan itu!" Lastri tertarik oleh gerakan matanya bila ia tersenyum. Ia memperhatikan rambutnya, bentuk bibir dan dagunya yang menonjolkan kejantanan.

Sementara mata Mahesa menyimak dengan seksama lidah Lastri yang gelisah, beberapa kali membasahi bibirnya, gaya tangannya yang bergerak khas, dan betapa bulu matanya yang lentik menarik sekali ketika ia memejamkan matanya tanpa sadar. Sangat mempesona.

"Cak Mahes, aku rasa tidak baik bagi kita berduaan seperti ini. Aku..."

Kalimat itu mengagetkannya bagaikan halilintar, menyadarkannya dari kenikmatan memperhatikan wajah ayu itu. "Apa kamu khawatir aku akan bersikap kurang ajar seperti tadi?"

"Bukan begitu..." Lastri bergumam putus asa.

Pandangan Mahesa menyorot menjelajahi dada yang menonjol dan Lastri memergokinya. Tangan Mahesa lalu meraba lembut lengan gadis itu. Jantungnya berdebar tak beraturan sehingga mempengaruhi desah nafasnya.

Cahaya redup tidak mampu menyembunyikan sinar mata Mahesa yang memancarkan gairah. Jari-jemarinya mendekap kedua bahu, kuat namun lembut. Ia menarik tubuh Lastri ke dalam pelukannya, "Harum sekali rambutmu!" Ia bergumam di samping telinganya. "Kamu tahu, setiap jengkal tubuhmu adalah wanita sejati. Pinggul dan pantatmu indah!" tangannya meluncur, mengelus-elus dan meremas. Wajahnya menunduk untuk menciumi pipinya.

"Cak Mahes.., jangan..." gumam Lastri lirih.

Akan tetapi mulut Mahesa telah menutup mulut gadis itu dengan ciuman. Ia belum pernah merasakan lembutnya bibir yang semakin merangsang gairahnya. Mulutnya menekan lebih kuat dan bermain dengan berani.

Desah napas mereka menyatu bagaikan suatu irama. Sekarang tangan Lastri melingkar di leher Mahesa dan melayani ciuman itu. Ini bukan lagi sekedar ciuman, tapi suatu aksi asmara yang membara.

Mulut Mahesa meluncur menyusuri leher dan naik ke telinga. Menggigit lembut daun telinganya. Dengan keluhan lembut ia menyebut namanya, "Lastri kekasihku!" Dia mendengar desahan yang tidak jelas seolah sebagai tanda diperkenankannya. "Ya Tuhan, kamu lebih indah dari yang pernah aku bayangkan!"

Lastri menghembuskan nafas sambil mendesah, "Cak Mahes!" nafasnya terasa hangat merayapi wajah Mahesa.

Mereka telah terbakar oleh birahi yang memuncak. Mata Lastri terbelalak dan bibirnya gemetar ketika Mahesa menggendong tubuhnya dan membaringkan di atas ranjang.

Keadaan mental yang sedih, kecewa, putus asa, marah, telah merobohkan benteng moral yang selama ini mereka genggam dengan kuat. Kini mereka masa bodoh dengan semua itu. Masa bodoh soal moral.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun