Ketika baru berumur lima belas tahun, Lastri sudah dipinang oleh seorang pria setengah baya yang dikenal dengan sebutan Juragan Bejo. Sebetulnya secara tidak langsung Lastri 'dijual' oleh ayahnya untuk menebus hutangnya kepada juragan itu.
Lastri dengan terpaksa menerima nasib buruk itu meskipun hatinya hancur. Melihat orang tuanya yang ketakutan menghadapi Juragan Bejo dan para tukang pukulnya, ia rela mengorbankan dirinya, menjadi istri ke tiga juragan kaya itu.
Ketika tiba datangnya hari pernikahan, ayah Lastri mengambil keputusan untuk menyerahkan sawah ladangnya kepada Juragan Bejo, sebagai pelunasan hutang dan demi membatalkan pernikahan putrinya itu. Tentu saja Juragan Bejo sangat murka dan tidak terima atas peristiwa yang dianggapnya sebagai penghinaan. Terjadilah pertengkaran hebat yang mengakibatkan ayah Lastri dihajar hingga babak belur, dan akhirnya Lastri diseret paksa pulang ke rumah Juragan Bejo.
Ia memberontak, dengan memukul, mencakar, menendang, tapi apalah daya, seorang anak perempuan belia menghadapi orang-orang pria berbadan besar. Akhirnya ia diikat agar tidak bisa berontak.
Ketika sampai di rumah Ki Bejo, gadis belia itu langsung dikurung dalam kamar. Hanya berdua dengan Ki Bejo yang tambun dan jelek itu. Ikatannya dilepas dan tubuhnya dilempar ke atas ranjang.
"Aku sebetulnya juga tidak sudi punya istri liar seperti kamu!" bentak Juragan Bejo, "Aku hanya ingin menikmati tubuhmu, setelah itu kamu akan aku jual ke Pesanggrahan Seribu Kembang!" Pesanggrahan itu dikenal sebagai tempat pelacuran.
Meskipun sebagai seorang gadis, oleh ayahnya Lastri pernah dilatih ilmu silat. Mendengar penuturan Ki Bejo, ia semakin nekad. Pikirnya lebih baik mati daripada dijadikan pelacur. Sebelumnya ia memang tidak berdaya menghadapi tukang pukul-tukang pukul Ki Bejo. Kini hanya berhadapan satu lawan satu, Lastri penasaran sekali dan segera mengeluarkan ilmu yang diandalkannya, mengandalkan kegesitannya.
Ki Bejo yang berperut buncit itu cukup kewalahan dibuatnya. Lastri menggunakan benda apapun menjadi senjata yang ia pukulkan atau ia lemparkan ke arah lelaki kaya tapi jahat itu. Sambil menyerang ia mencari kesempatan, dan begitu dapat, ia membuka jendela dan melompat keluar.
Ternyata di luar jendela kamar itu adalah pekarangan yang terdapat kolam dan dikelilingi pagar yang cukup tinggi. Lastri terperanga menyadari tipisnya harapan untuk bisa kabur, tapi ia tidak mau menyerah.
"Hei, mau lari ke mana kamu?" Seorang tukang pukul mengejar dengan lompatan cepat sehingga ia dapat menyusul dan berdiri di belakang Lastri.
Saat itu matahari sudah tenggelam, sehingga suasana cukup remang-remang. Lastri menendang dengan cepat. Tendangannya tepat sekali mengenai kemaluan lelaki itu, akan tetapi lelaki kekar itu tidak kelihatan merasa kesakitan. 'Celaka,' keluh Lastri dalam hati.