Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (83): Pertemuan Dua Hati

8 Oktober 2024   07:20 Diperbarui: 8 Oktober 2024   07:30 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

Mahesa Wijaya adalah salah seorang guru yang menduduki posisi tertinggi kedua di Padepokan Benteng Nusa. Tingkat kepandaiannya memang masih jauh di bawah Guru Arum Naga. Siang itu ia tengah menuturkan sebuah pengalamannya di hadapan murid-murid padepokan, bahwa pencak silat telah mengantarkannya menjajaki dunia kompetisi dan telah meraih beragam kejuaraan antar perguruan silat.

"Harus percaya diri bahwa kita punya potensi besar, galihlah dan jadikan hobi karena hasilnya pasti akan dipetik di masa yang akan datang!" tegasnya, "Bagi saya, meraih juara dan menerima hadiah itu adalah prestasi tertinggi. Apalagi di kejuaraan yang diselenggarakan oleh kerajaan!"

Di balik kisah perjuangannya itu, Mahesa dulu pernah melalui masa kanak-kanak yang kurang menyenangkan. Awalnya, ia sering kali pulang bermain sambil menangis karena selalu menjadi korban penganiayaan anak-anak kampung sebelah.

Akhirnya bapaknya memasukannya ke perguruan silat, tentu agar anaknya itu lebih bisa mandiri. Saat itu ia masih berumur sembilan tahun. Hal tersebutlah yang menjadi faktor utama dirinya memperdalam seni beladiri dengan sepenuh hati.

Di hadapan belasan murid yang dipersiapkan untuk bertanding di kejuaraan silat tahun itu, Mahesa berpesan, "Sebagai seorang atlit, kita jangan semata-mata mengejar hadiah, melainkan niatkan untuk memberikan yang terbaik bagi orang tua kita, guru kita, padepokan dan masyarakat, karena ikrar itulah yang tertanam dalam dada setiap pendekar, apapun kondisinya!"

Mahesa mencontohkan keluarganya. Kedua orang tuanya tidak banyak menuntut. Meskipun mereka hanya petani kecil dengan pekerjaan yang penghasilannya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, tapi mereka mendukung perjuangannya untuk mempersembahkan pengabdian terbaiknya kepada masyarakat luas, tidak menjadi atlit untuk kepentingan pribadi.

"Tapi, tentu bukan hal mudah meraih predikat juara di ajang tersebut," sambung Ayu Lastri, "Harus bersaing dengan para pesilat lain yang jelas tangguh. Itulah kenapa kita harus berlatih keras agar bisa tampil bagus. Oleh karena itu, wajib menjalani pemusatan latihan selama enam bulan penuh!"

Lastri sebagai pelatih kedua di bawah Mahesa, mengatakan khususnya kepada murid-murid Perempuan, bahwa melalui kemampuan bela diri, seorang perempuan akan membuktikan bahwa mereka itu bisa tangguh dan mandiri. Ia mencontohkan sosok Guru Putri Arum. Dengan ilmu bela diri antara perempuan dan laki laki kini bisa setara dan sejajar.

Hampir sama seperti Mahesa, Lastri pun pernah mengalami peristiwa yang akhirnya membuat ia bertekad ingin menjadi seorang ahli bela diri.

Ketika baru berumur lima belas tahun, Lastri sudah dipinang oleh seorang pria setengah baya yang dikenal dengan sebutan Juragan Bejo. Sebetulnya secara tidak langsung Lastri 'dijual' oleh ayahnya untuk menebus hutangnya kepada juragan itu.

Lastri dengan terpaksa menerima nasib buruk itu meskipun hatinya hancur. Melihat orang tuanya yang ketakutan menghadapi Juragan Bejo dan para tukang pukulnya, ia rela mengorbankan dirinya, menjadi istri ke tiga juragan kaya itu.

Ketika tiba datangnya hari pernikahan, ayah Lastri mengambil keputusan untuk menyerahkan sawah ladangnya kepada Juragan Bejo, sebagai pelunasan hutang dan demi membatalkan pernikahan putrinya itu. Tentu saja Juragan Bejo sangat murka dan tidak terima atas peristiwa yang dianggapnya sebagai penghinaan. Terjadilah pertengkaran hebat yang mengakibatkan ayah Lastri dihajar hingga babak belur, dan akhirnya Lastri diseret paksa pulang ke rumah Juragan Bejo.

Ia memberontak, dengan memukul, mencakar, menendang, tapi apalah daya, seorang anak perempuan belia menghadapi orang-orang pria berbadan besar. Akhirnya ia diikat agar tidak bisa berontak.

Ketika sampai di rumah Ki Bejo, gadis belia itu langsung dikurung dalam kamar. Hanya berdua dengan Ki Bejo yang tambun dan jelek itu. Ikatannya dilepas dan tubuhnya dilempar ke atas ranjang.

"Aku sebetulnya juga tidak sudi punya istri liar seperti kamu!" bentak Juragan Bejo, "Aku hanya ingin menikmati tubuhmu, setelah itu kamu akan aku jual ke Pesanggrahan Seribu Kembang!" Pesanggrahan itu dikenal sebagai tempat pelacuran.

Meskipun sebagai seorang gadis, oleh ayahnya Lastri pernah dilatih ilmu silat. Mendengar penuturan Ki Bejo, ia semakin nekad. Pikirnya lebih baik mati daripada dijadikan pelacur. Sebelumnya ia memang tidak berdaya menghadapi tukang pukul-tukang pukul Ki Bejo. Kini hanya berhadapan satu lawan satu, Lastri penasaran sekali dan segera mengeluarkan ilmu yang diandalkannya, mengandalkan kegesitannya.

Ki Bejo yang berperut buncit itu cukup kewalahan dibuatnya. Lastri menggunakan benda apapun menjadi senjata yang ia pukulkan atau ia lemparkan ke arah lelaki kaya tapi jahat itu. Sambil menyerang ia mencari kesempatan, dan begitu dapat, ia membuka jendela dan melompat keluar.

Ternyata di luar jendela kamar itu adalah pekarangan yang terdapat kolam dan dikelilingi pagar yang cukup tinggi. Lastri terperanga menyadari tipisnya harapan untuk bisa kabur, tapi ia tidak mau menyerah.

"Hei, mau lari ke mana kamu?" Seorang tukang pukul mengejar dengan lompatan cepat sehingga ia dapat menyusul dan berdiri di belakang Lastri.

Saat itu matahari sudah tenggelam, sehingga suasana cukup remang-remang. Lastri menendang dengan cepat. Tendangannya tepat sekali mengenai kemaluan lelaki itu, akan tetapi lelaki kekar itu tidak kelihatan merasa kesakitan. 'Celaka,' keluh Lastri dalam hati.

Segera lelaki itu menggunakan kedua tangan untuk meringkus Lastri, dan mereka kemudian terguling jatuh ke dalam kolam.

Ki Bejo sudah muncul di tempat itu dan diikuti beberapa orang tukang pukulnya. Lastri yang tidak bisa berenang diangkat setelah dibiarkan beberapa saat tenggelam. Gadis itu lemas tak dapat menggerakkan kaki tangannya lagi. Ia hanya dapat memandang dengan mata bersinar marah. Rupanya ia telah meminum beberapa teguk air kolam. Kini ia mengatur nafas, terengah-engah, juga tubuhnya sakit di bagian sana-sini.

Juragan Bejo membantu Lastri untuk bangkit berdiri, lalu mengangkat tangan hendak menampar. Akan tetapi, setelah melihat pakaian Lastri yang basah dan melekat mencetak lekuk tubuhnya, membuat lelaki tambun itu mengurungkan niatnya. Sebetulnya harus diakui bahwa baru kali itulah Ki Bejo betul-betul jatuh hati kepada gadis belia yang ayu dan tangguh itu. Sekali lagi ia memandang wajah Lastri yang menggugah gairahnya.

"Gadis liar, tak tahu diuntung!" gerutunya sambil mengusapi lengannya yang terluka oleh kuku-kuku Lastri ketika bergumul tadi. Ki Bejo kemudian menyuruh orang-orangnya untuk bubar.

Begitu para tukang pukul pergi, dengan kemarahan meluap-luap Lastri meloncat dan langsung kedua kakinya mengirim tendangan berantai. Ki Bejo kaget sekali dan dengan gugup ia mengelak ke sana ke mari karena tendangan-tendangan itu betul-betul mengarah ke bagian-bagian tubuh yang berbahaya. Akhirnya ia dapat menyambar kaki Lastri dan sekali dorong tubuh kecil itu terpelanting ke lantai.

Lagi-lagi Ki Bejo memaki, "Dasar tak tahu diri, ayo berdiri!"

"Tidak sudi! Bunuh saja aku!" balas Lastri ketus.

"Dasar keras kepala! Kau harus disiksa dulu sebelum aku bunuh. Rasakan kau nanti!"

Mendadak, sebelum Lastri sempat menduga apa yang sedang terjadi, seorang pemuda menubruk dan dengan sekali pukulan merobohkan Ki Bejo. Pemuda itu lalu mengangkat tubuh Lastri, dipanggul di atas pundaknya. Lastri meronta-ronta, akan tetapi karena kedua kakinya dipeluk kuat oleh pemuda yang besar sekali tenaganya itu, ia tak berhasil melepaskan diri. Dengan cepat pemuda itu melompati pagar dan lari seperti angin.

Lastri merasa sangat kaget ketika tahu-tahu ia dibawa lari oleh seorang pemuda yang tidak ia lihat mukanya karena keadaan gelap. Ia tidak tahu apakah orang itu baik ataukah jahat, akan tetapi dalam pondongan orang itu ia sama sekali tidak dapat bergerak.

Mahesa berlari cepat-cepat karena ia tidak ingin Juragan Bejo bersama para tukang pukulnya mengejarnya. Andai kata ia tidak sedang menolong orang, tentu saja ia tidak takut menghadapi mereka semua. Akan tetapi dengan adanya gadis yang ditolongnya itu, tentu tidak leluasa untuk bergerak. Mahesa masih terus berlari melewati hutan.

Ketika sore itu Lastri dipaksa ikut oleh orang-orang Juragan Bejo, Mahesa kebetulan berpapasan dengan rombongan mereka. Ia merasa penasaran melihat seorang gadis diikat dan mulutnya disumpal lalu didudukan di dalam dokar. Biar pun hanya sekelebatan saja melihat semua kejadian itu, akan tetapi dia telah dapat menduga dengan tepat sekali, bahwa gadis itu perlu pertolongan. Ia diam-diam mengikuti dari jauh, dan menunggu petang untuk beraksi menolong gadis itu.

Mahesa membawa Lastri ke padepokan dan menceritakan peristiwa itu kepada Mpu Naga. Sejak saat itu Lastri mengutarakan bahwa ia ingin bekerja kepada Mpu Naga sebagai pembantu rumah tangga. Ia tidak mau pulang ke rumahnya lagi.

Lima tahun berlalu dengan cepat. Gadis yang bernama Ayu Lastri itu kini menjadi seorang ahli silat yang kepandaiannya hampir menyamai Mahesa. Ia belajar keras demi untuk bisa melampiaskan dendamnya kepada iblis berwujud manusia, yakni Juragan Bejo.

***

Ayu Lastri memandang wajah seorang pemuda yang gagah dan tampan di hadapannya. Hatinya berdebar penuh kegembiraan, terutama sekali kalau mengingat nasibnya ketika dulu diselamatkan oleh dewa penolongnya itu.

Mahesa Wijaya melangkah maju dan kedua orang itu saling berpegangan tangan, tak kuasa mengeluarkan suara. Sunyi senyap pada saat itu, sunyi yang membahagiakan hati masing-masing yang merasa seakan-akan baru saja mendapatkan kembali semangat hidup. Sampai lama mereka berpegangan tanpa mengeluarkan suara.

"Lastri.., cintakah kamu kepadaku?"

"Hm..!" Lastri menundukan wajah sambil mengangguk malu.

"Dan bersediakah kamu berada disisiku selamanya?" tanya Mahesa lagi, "Menjadi pendamping hidupku?"

"Masih perlukah kamu tanyakan itu, Cak Mahes?"

Hening sejenak dan keduanya terbenam dalam lautan madu, mabuk oleh kemesraan asmara yang bergelora dalam hati masing-masing. "Begitu guru pulang, aku akan minta ijin untuk melamarmu!"

Lastri menjawab dengan cara mempererat genggaman tangannya.

Siapa yang tidak ikut merasa bahagia menyaksikan kebahagiaan sepasang orang muda seperti mereka? Siapa yang tidak turut merasa senang melihat orang lain bahagia? Hanya hati yang dikuasai sifat iblis yang iri dengki menyaksikan orang lain bahagia. Untung, di dunia ini masih banyak orang yang akan merasa bahagia melihat sepasang orang muda itu berbahagia. Orang yang baik akan berbahagia menyaksikan pertemuan dua hati menjadi satu, diikat dan dikekalkan oleh cinta kasih nan suci.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun