Oleh: Tri Handoyo
Memang benar, bahwa tidak ada kehidupan tanpa pergerakan. Tapi bukan berarti setiap pergerakan itu pasti menghidupkan. Karena ada yang justru mendatangkan kematian, maka mengontrol dan mengendalikan gerakan merupakan strategi dan seni kehidupan. Sebuah kemenangan kadang bisa terlihat sejak di awal pertempuran, sehingga orang bijak tak akan menempuh pertempuran jika suatu kemenangan mustahil diraih.
Mundur tidak selalu berarti kekalahan, maka seorang panglima yang menjadikan strategi sebagai senjata utama, akan menjadi pemimpin pasukan perang yang tak terkalahkan.
Sesungguhnya siapa yang menguasai medan, dialah yang akan meraih kemenangan. Akan tetapi, medan pertempuran yang paling tinggi kedudukannya adalah medan pikiran. Jadi barangsiapa bisa menggiring musuh ke medan pikiran kita, maka kemenangan sudah lima puluh persen berada di dalam genggaman, bahkan bisa pula meraih kemenangan tanpa harus melalui pertempuran fisik.
Kearifan terbesar adalah mengenali tujuan hidup. Keahlian terhebat adalah kecermatan dalam bertindak. Strategi terunggul adalah ketangkasan dan kesigapan. Kekuatan terdasyat adalah kekuatan pikiran. Maka dengan senjata kekuatan pikiran, seribu pertempuran berarti seribu kemenangan.
Demikianlah kesimpulan yang dipetik Lintang dari nasehat para pendekar papan atas yang disebut Mahaguru Nusantara itu.
"Anggota baru bisa bergabung ketika usia mereka di atas seratus tahun!" tutur Mbah Kucing, "Lintang, kamu adalah orang pertama yang memenuhi syarat untuk bisa bergabung di saat kamu baru berumur dua puluh tiga tahun. Sepuluh tahun lagi, kamu mungkin akan menggantikan aku untuk menduduki posisi ketua, sebagai panglima!"
Para mahaguru sepuh itu menarik nafas berulang-ulang dan diam-diam mereka meramalkan bahwa kelak di dunia persilatan akan muncul seorang tokoh besar yang sangat luar biasa, yaitu Lintang Kejora, seorang yang memiliki tanda lahir berbentuk mirip bintang di belakang kepalanya.
Ucapan terakhir Mbah Kucing sebelum mereka berpisah, "Barangsiapa yang berhasil menguasai isi kitab pusaka itu, maka dia akan menjadi pendekar yang tak terkalahkan di muka bumi."
Lintang dan Arum kemudian membulatkan tekad untuk kembali naik ke Bukit Kedung Lintah, memasuki kawah candradimuka, demi mempelajari seluruh isi kitab pusaka di sana.
Mereka berdua tidak begitu khawatir dengan keadaan padepokan karena sudah diserahkan kepada dua orang murid terbaik, yaitu Mahesa Wijaya dan Ayu Lastri. Untuk urusan pembangunan puri sudah diserahkan kepada seorang arsitek yang cukup handal, yang sudah sering menjadi langganan para bangsawan.
Lintang dan Arum membersihkan ruangan di dalam gua, mengubur tulang belulang yang berserakan yang mereka temui di mana-mana. Arum kadang masih merasa ngeri melihat situasi di sekitar puncak bukit itu, tapi sepanjang ada Lintang Si Pendekar Pedang Akhirat di sisinya, tidak ada lagi yang perlu ia khawatirkan.
Setiap saat Arum dengan setia dan telaten membacakan isi kitab pusaka itu buat suaminya. Dukungannya kepada suaminya sungguh luar biasa. Kendati tidak jarang ketika bangun tidur, ia mendapati suaminya belajar sendiri membaca, meskipun harus dengan mengeja.
Suatu pagi Arum melihat Lintang menulis dengan telunjuknya yang dialiri tenaga dalam di dinding gua, sehingga dinding batu itu seperti di pahat. Pelan-pelan dengan penasaran Arum menghampiri dan membaca tulisan berhuruf Jawa di sana.
Kunikmati
setiap detik keajaiban yang kau berikan
yang buat hidupku kaya makna
setiap tutur katamuÂ
laksana lantunan mantraÂ
yang merasuk kedalam sukma
menjadi pencerah jiwa
Â
Kau embun penyejuk
yang menitik dari surga
tuk sirami hati yang dahaga
Duhai permata hati
penyuluh kalbu
Ijinkan aku mencintaimu
hingga sisa nafasku
"Aku sangat mencintaimu!" bisik Lintang tanpa menengok ke arah Arum yang sudah berdiri tepat di sampingnya.
Arum lalu menyandarkan kepala di pundak suaminya, "Cinta yang tak akan pernah berakhir?"
"Tak akan pernah berakhir!"
***
Ki Kebo Dedet Kalong Wesi terbelalak dan nampak mengerikan sekali. Matanya mendadak hanya kelihatan merah saja bagaikan mata iblis. Pasukan Laskar Rimba sampai bergidik ngeri menyaksikan mata dan muka yang bukan seperti manusia itu.
"Ini kesempatan emas untuk membasmi sisa-sisa tikus Majapahit!" Setelah berkata demikian, Ki Kalong menggerakkan dua kakinya dan melesatlah sinar hitam menerjang dengan hebat. Memporak-porandakan barisan terdepan lawan.
Sementara itu, tongkat keemasan Si Iblis Betina terus menyambar-nyambar dengan pukulan dahsyat memburu Ki Unggul Weling. Ketua Laskar Rimba itu menggunakan goloknya berusaha menangkis, akan tetapi baru dua kali tangkisan saja goloknya sudah terlepas dari tangan dan terlempar entah ke mana. Demikian hebatnya tenaga pukulan Si Iblis Betina sampai-sampai Ki Unggul tidak mampu menangkisnya.
Mulailah pengejaran yang mengerikan. Ki Unggul lari ke sana ke mari dikejar kematian. Tongkat Si Iblis Betina terus mengejar tanpa ampun. Ki Unggul menjadi pucat sekali, keringat dingin bercucuran deras. Dia menjatuhkan diri, bergulingan, tapi ke mana pun lari selalu dikejar oleh tongkat maut.
"Hik..hik.., mau lari ke mana kau, tikus bangsat! Mampus kau! Hik..hik..!" Suara tawa Si Iblis Betina itu terdengar mengerikan.
Akibatnya, Ki Unggul yang terus menghindar itu menjadi sangat kelelahan. Gerakannya melambat sehingga dengan cerdiknya ia lantas meloncat ke atas pohon dan berlindung di antara dahan dan ranting-ranting.
"Tikus alas, turun kamu pengecut?" Iblis Betina memaki sambil tongkatnya diacung-acungkan ke arah Ki Unggul yang sembunyi di atas pohon. Namun, ia dengan cepat terbang menyusul, dan tidak berselang lama pohon itu menjadi rusak dan nyaris gundul karena dahan dan rantingnya patah dihajar tongkat.
Setelah mendapat laporan bahwa para jagoannya terluka karena dikeroyok Laskar Rimba, Ki Demang segera memerintahkan untuk membasmi gerombolan yang ditudingnya para perampok itu.
"Kami dikeroyok ratusan anggota Laskar Rimba, Ki!" lapor Ki Paimo kepada Ki Demang. "Untungnya, setelah melakukan perlawanan sengit, akhirnya kami bisa meloloskan diri!"
Atas laporan tersebut, maka Ki Demang mengerahkan seratus orang ditambah Ki Kalong Wesi dan Si Iblis Betina untuk menuntut balas dendam. "Jangan sampai mereka berpikir bisa berbuat seenaknya di wilayah kekuasaanku! Siapa yang bisa membawa kepala Ki Unggul akan aku ganti dengan lima ekor sapi!"
Ki Demang tidak segan-segan mengeluarkan biaya besar untuk membayar Ki Kalong Wesi dan Si Iblis Betina serta dibantu murid-murid pilihan Perguruan Macan Abang.
Ki Lurah Panji, dan Ki Paimo Pendekar Jeliteng yang sebelah lengannya putus, ikut dalam penyerbuan itu sebagai penunjuk jalan. Ki Paidi masih dalam proses penyembuhan akibat telah banyak kehilangan darah karena luka-luka yang dideritanya.
Hari itulah pembalasan dendam ditunaikan. "Ki Unggul itu bagianku!" pinta Si Iblis Betina kepada Ki Kalong Wesi.
Ki Unggul dan anak buahnya yang sangat menguasai medan pertempuran menyambut gempuran mendadak itu dengan penuh percaya diri. Mereka memang sudah berhasil melumpuhkan banyak musuh, namun musuh terberat mereka adalah dua pendekar sakti yang kepandaiannya memang jauh di atas Ki Unggul. Markas Laskar Rimba pun berhasil diobrak-abrik hanya dalam kurun waktu kurang dari satu jam.
Sepasang cakar Si Pendekar Kalong Wesi yang kuat mencengkeram bagian dada Ki Sabrang. Terdengar suara kulit dan daging dirobek diiringi ketawa melengking tinggi dari mulut Ki Kalong Wesi. Ki Sabrang mengeluarkan pekik kesakitan dan kemudian roboh dalam kondisi menyongsong sakratul maut. Tubuhnya yang diam tak bergerak itu dalam keadaan mengerikan sekali. Pakaiannya robek-robek, penuh darah yang bercucuran dari dada dan mukanya yang terkena kuku-kuku tajam.
Suasana hening, tidak ada lagi terdengar suara senjata beradu dan jerit atau teriakan kesakitan. Ki Unggul sempat menyaksikan bahwa semua anak buahnya telah bergelimpangan. Ia pun akhirnya nekad untuk menyusul mereka semua.
Kini Si Iblis Betina dan Ki Kalong Wesi justru mengeroyok lelaki yang pantang menyerah itu. Tongkat dan cakar-cakar maut tak terelakan lagi. Ki Unggul Weling roboh bersimbah darah. Mata sebelah kirinya hancur ditembus ujung tongkat, daging pipi kirinya hingga mulutnya robek lebar terkena cakar, tulang punggungnya remuk digempur tongkat, dan lutut kanannya nyaris putus. Kini jari-jari tangannya kaku mencengkeram saking menahan sakit yang luar biasa.
Pada saat itu Ki Unggul masih belum tewas, karena masih terdengar rintihan perlahan dari kerongkongannya. Akan tetapi kalau ada orang yang menyaksikan keadaannya, tentu tak akan mengharapkan dia dapat bertahan hidup.
Si Iblis Betina kemudian memenggal kepala Ki Unggul dan menentengnya sambil berteriak galak, "Bunuh semua! Jangan biarkan ada satu orang pun Laskar Rimba yang masih bisa bernafas!"
Suasana hutan kembali sunyi. Artinya pertempuran telah usai. Petualangan Laskar Rimba pun selesai. Tak ada cerita yang tak berakhir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H