Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar sang Pendekar (79), Tempat Terangker Adalah Tempat Teraman

2 Oktober 2024   04:14 Diperbarui: 2 Oktober 2024   04:48 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

Ki Demang berkata kepada Ki Panji, "Tak perlu melaporkan hal ini. Aku sudah tahu. Ketahuilah bahwa Si Iblis Betina juga menyaksikan pertempuran tadi, dan saya mendengar semuanya darinya!"

Panji terkejut, karena ia tadi juga berada di lokasi keributan yang merupakan wilayahnya itu. Akan tetapi ia tidak melihat kehadiran Si Iblis Betina. Terpaksa ia memalingkan muka memandang dan ia terkejut sekali melihat sinar mata nenek itu penuh selidik menatapnya. Ia tidak tahan menatap sorot mata itu lebih lama lagi dan kembali menunduk.

Kalau melihat mata Si Iblis Betina itu, orang akan bergidik. Mata itu membayangkan nafsu amarah dan bayang-bayang maut terpancar di sana. Si Iblis Betina tersenyum, aneh kalau tersenyum karena nenek setua itu giginya masih berjajar utuh. Cuma gigi-gigi itu berwarna kecoklatan.

"Guk Seger menderita luka dalam yang serius!" kata Ki Demang, "Sekarang kita fokus dulu untuk mencarikannya obat!"

Si Iblis Betina berkata dengan suara serak, "Luka-lukanya mengakibatkan demam tinggi. Lekas kau carikan akar pohon Sambung Nyowo dan tulang landak hitam, serta kemudian campur dengan darah ular kobra!"

Orang-orang yang berada di ruangan itu tampak keheranan mendengarnya.

"Kalau akar Sambung Nyowo masih mudah, tapi kalau landak hitam dan kobra, tidak gampang carinya?" sahut Ki Panji.

"Coba siapa saja pergilah ke Mbah Myang Mimbe, dia biasanya menyimpan barang seperti itu!"

"Ha.., bukankah Mbah Myang sudah mati? Sudah lama sekali!"

"Sudah lama? Aku sebulan yang lalu baru bertemu di rumahnya!"

***

Memang, Ki Tejo, dibantu Ki Entong Pendekar Kapak Emas dan Ki Marijan Pendekar Lebah Hitam, tampaknya sudah memperhitungkan masak-masak bahwa mereka akan mampu menandingi para pimpinan Perguruan Macan Abang. Akan tetapi, mereka benar-benar salah perhitungan. Salah besar.

Anak buah Ki Demang memang kebanyakan para mantan perampok yang kejam dan yang sudah biasa menghadapi dunia kekerasan. Modal mereka hanya keberanian, soal ilmu kanuragan mereka tidak ada apa-apanya dibanding tiga pendekar dari kubu Ikatan Pendekar Jawa itu. Akan tetapi tanpa diduga, mereka ternyata harus berhadapan dengan banyak pendekar dari kubu Ki Demang, apa lagi ditambah pendekar yang memiliki kesaktian ilmu hitam seperti Si Iblis Betina dan Ki Kalong Wesi.

Para pemimpin perguruan di kubu Ki Tejo benar-benar tidak dapat berkutik, apalagi murid-murid mereka. Dalam pertempuran yang singkat saja sudah banyak korban bergelimpangan dari pihaknya.

Berawal dari hanya soal mangga, kemudian terjadi perkelahian antar murid dua perguruan, dan akhirnya menyeret pertempuran antar dua kubu yang melibatkan banyak pendekar. Kubu Ikatan Pendekar Jawa melawan kubu Persaudaraan Pendekar Pribumi.

Ki Birawa, Ki Bajul Brantas, Pendekar Golok Maut, tampak semangat membela Macan Abang. Mereka sebetulnya merasa sedikit prihatin karena harus melawan orang-orang yang sebelumnya merupakan kawan-kawan mereka sendiri. Sementara Ki Kalong Wesi dan Si Iblis Betina belum turun tangan.

Ki Tejo sedang berhadapan melawan Kedua Pendekar Jeliteng Macan Kumbang. Ki Entong menghadapi Ki Birawa. Ki Marijan dikeroyok Ki Banjul Brantas dan Pendekar Golok Maut.

"Mundur kalian!" teriak Iblis Betina yang tiba-tiba terbang menyerang Ki Tejo. Dua senjata bertemu dan saling tempel, tak dapat dilepaskan lagi. Seorang kakek, Ki Tejo Pendekar Kera Putih kini mengadu tenaga dalam melawan Si nenek Iblis Betina. Sebentar saja Ki Tejo merasa betapa telapak tangannya tergetar dan makin lama makin dingin. Tenaga dalam yang dia miliki terasa makin lemah dan hampir buyar. Keadaannya sangat berbahaya karena sebagai ahli silat, kakek itu sadar bahwa setelah tenaganya habis, dia akan menderita luka dalam yang hebat, luka yang mungkin bisa merenggut nyawanya. Akan tetapi dia nekat mengerahkan seluruh tenaganya.

Saat itu, Cak Japa muncul untuk melerai pertempuran. Cak Japa kemudian berdiri di belakang Ki Tejo dan tampak mencoba menghentikan dengan menepuk punggung kakek yang terdesak itu.

Meski hanya merupakan sekali tepukan, akan tetapi sebenarnya Cak Japa sudah mengerahkan hawa tenaga murni dari tubuhnya. Tenaga yang dahsyat ini tersalur melalui punggung Ki Tejo, terus melaju ke arah kedua lengannya dan menjalar ke tongkatnya. Akibatnya hebat sekali. Dua pasang tongkat yang saling tempel itu langsung terlepas seperti direnggutkan tenaga yang tak tampak.

Si Iblis Betina tak dapat mempertahankan diri dan terdorong mundur ke belakang. Tadi dia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya dan secara mendadak tenaganya memantul balik. Ada pun Ki Tejo hanya terdorong mundur selangkah.

Pendekar Golok Maut dan Ki Bajul Brantas nyaris menghabisi Ki Marijan, akan tetapi Cak Japa melakukan gerakan mendahului mereka. Cak Japa meloncat ke tengah, kedua tangannya bergerak dan kakinya bergeser dengan langkah-langkah aneh. Tubuhnya mendadak menyelinap di antara sambaran dua golok, dan tahu-tahu kedua tangannya sudah memasuki ruang kosong di celah-celah kilatan golok dan mendorong ke arah kedua pundak lawan.

Terdengar Ki Bajul Brantas dan Pendekar Golok Maut menjerit kesakitan dan sepasang golok terlepas dan di saat lain kedua golok itu sudah berpindah ke tangan Cak Japa.

Sementara itu, Ki Kalong Wesi menyerang menggunakan suara dengan nada yang nyaring dan tinggi, sangat tidak enak didengar, sehingga banyak murid-murid dari berbagai perguruan merasakan seluruh tubuh mereka menggigil, tidak kuat mendengar suara-suara itu lebih lama lagi. Mereka merasa betapa suara itu memasuki telinga dan terus menusuk ke dalam jantung, seakan-akan menyerang semua isi dada dan hendak memecahkannya. Suara itu kemudian diimbangi oleh Cak Japa.

Sementara bagi para pendekar, sebagai seorang ahli-ahli silat tinggi, mereka kaget sekali dan cepat-cepat duduk bersila mengerahkan tenaga dalam untuk menahan pengaruh kekuatan dasyat dari suara itu. Hebatnya, suara itu berlangsung terus dan makin lama makin pucatlah muka beberapa orang dan bahkan sudah ada yang memuntahkan darah.

Bagi pendekar-pendekar silat yang tingkat ilmunya sudah tinggi, melakukan serangan tanpa menggerakkan anggota tubuh bukanlah hal yang aneh. Suara pun dapat dipergunakan sebagai senjata, malah lebih ampuh dari pada tajamnya pedang. Bagi mereka yang tenaga dalamnya kuat sekali, maka di dalam suaranya dapat diisi gelombang energi yang cukup dasyat untuk merobohkan musuh. Getaran energi itu bisa menyerap tenaga, bisa menggetarkan organ-organ tubuh dan menghancurkan urat-urat syaraf.

Tiba-tiba suara-suara itu berhenti, dari mulut Ki Kalong Wesi dan Cak Japa menyembur darah segar. Mereka berdua terbatuk-batuk beberapa kali dan tahulah para pendekar bahwa kedua pendekar itu telah menderita luka dalam yang hebat. Ki Kalong Wesi memang belum benar-benar sembuh lukanya ketika dulu bertarung tenaga batin melawan Lintang.

Terbelalak mata Ki Kalong Wesi yang sipit merah itu. dadanya terasa sesak dan sakit seolah-olah telah dihantam palu besar. Ia merasa heran karena ternyata ada orang lain selain pemuda Lintang yang memiliki kemampuan setara dengannya.

"Mohon dengan hormat hentikan pertempuran ini!" teriak Cak Japa dari tengah halaman Padepokan Macan Abang, "Tidak bisakah persoalan sepele ini kita selesaikan dengan musyawarah?"

"Mereka yang datang menyerang! Kami hanya membela diri!" sahut Ki Demang.

"Mereka yang lebih dulu menyerang kami, Pak Kyai!" bantah Ki Tejo, "Kami datang untuk menuntut keadilan dan pertanggungjawaban! Murid-murid kami banyak yang terluka dan padepokan kami rusak berat!"

Cak Japa memberi tanda agar Ki Tejo diam dulu. Ki Tejo yang merasa tadi cukup terdesak dan nyaris mati, dengan senang hati menerima arahan Cak Japa.

"Murid-murid kami awalnya cuma minta mangga secara baik-baik!" Ki Demang memberi penjelasan kepada Cak Japa, "Hanya mangga yang tak berharga!"

Penasehat Ikatan Pendekar Jawa itu sudah mendapat informasi dari Ki Tejo bahwa Perguruan Macan Abang telah menyerang padepokannya. Hari itu Ki Tejo meminta bantuan Ki Entong dan Ki Marijan beserta murid-murid mereka untuk menuntut balas.

"Tidak memberi mangga tidak masalah, tapi murid Kera Putih bilang bahwa murid-murid kami itu seperti binatang yang tidak mengerti aturan!" sambung Ki Demang, "Murid-murid kami dibilang dididik oleh guru-guru yang bermental binatang, bahkan dibilang lebih rendah dibanding anjing. Inilah yang memancing kemarahan murid-murid kami! Siapa orangnya yang tidak akan marah kalau dikatakan seperti itu?"

"Itu tidak benar!" potong Ki Tejo cepat, "Dia memutarbalikan fakta!"

Kembali Cak Japa meminta Ki Tejo agar menahan diri dulu. "Maaf Ki Demang!" kata Cak Japa, "Saya bisa memaklumi kemarahan murid-murid anda seandainya memang benar dibilang seperti itu, masalahnya apa berita itu sudah pasti benar? Nah, alangkah baiknya sebelum kita-kita yang tua ini turun tangan, kita periksa dulu kebenaran berita itu! Bukannya langsung main serang?"

"Pada saat salah seorang dari kami, Guk Seger, mencoba melerai," seru Ki Demang, "Ketua Kera Putih justru menghajarnya dan sampai sekarang dia masih dalam kondisi tidak sadar karena mengalami luka dalam yang sangat berat! Kalau seperti itu bagaimana mungkin kami bisa mencari kebenaran dengan cara bicara baik-baik? Cak Japa harus adil melihat persoalan ini, jangan karena dari kubu anda kemudian anda membelanya mati-matian!"

"Saya bukan orang yang seperti itu Ki Demang! Saya akan selalu berpihak kepada kebenaran, oleh karena itu saya pasti akan mendengarkan dari kedua bela pihak, dan tidak gegabah untuk mengambil kesimpulan! Nah, apa yang baru saja saya dengar dari anda itu bertolak belakang dengan penjelasan yang saya dengar dari kubu Ki Tejo!"

"Kalau begitu sekarang terserah Cak Japa, mau percaya yang mana? Yang jelas kami tidak mungkin menyerbu tanpa alasan! Masalah alasan itu mau diterima apa tidak, terserah!"

"Inilah yang membuat saya kecewa Ki Demang!" Wajah Cak Japa tampak sangat prihatin, "Kepercayaan itu bukan disesuaikan dengan selera, jadi gak bisa dibilang terserah, kebenaran kok terserah. Kebenaran berita itu harus diteliti, diperiksa dan diusut dari awal timbulnya persoalan itu. Ki Demang tadi bilang harus adil melihat persoalan ini, jangan karena dari kubu kita kemudian kita bela mati-matian, nah apa Ki Demang sudah adil, sudah mendengarkan penjelasan dari kubu Ki Tejo?"

Ki Demang terbungkam mendengar serangan balik dari Cak Japa yang menggunakan kata-kata yang tadi keluar dari mulutnya sendiri.

Setelah suasana hening beberapa saat, Cak Japa kemudian mengajak semua pihak intropeksi dan memerintahkan pihak Ki Tejo untuk membubarkan diri.

***

Kaki bukit sebelah utara Kedung Lintah itu sangat indah pemandangannya. Penuh pepohonan rindang dan rumput menghijau segar. Di situ mengalir sebuah sungai kecil yang airnya amat jernih, penuh batu-batu hitam yang beraneka macam bentuknya. Kalau di pandang dari lereng, tampak betapa indah dan suburnya tanah kaki gunung itu, menyejukan hati.

Arum dan lintang menaiki lereng dengan cepat sekali. Akan tetapi, setelah tiba di puncak bukit, mereka merasa bulu tengkuk berdiri. Keadaannya amat menyeramkan.

Daun-daun pohon bergoyang-goyang tertiup angin. Kembang-kembang merah memenuhi ranting. Rumput-rumput hijau yang tidak pernah terinjak kaki nampak menyemak liar. Suara gemercik air seperti dendang lagu yang tak kunjung berakhir. Tempat itu diselimuti kabut. Begitu sunyi, melengang melebihi sunyinya kuburan. Kesunyian yang begitu mencekam.

Di bawah pohon gayam terdapat kerangka manusia. Tengkorak manusia yang bersandar pada pohon itu masih utuh dan sepasang lubang bekas mata itu seolah-olah tengah memandang ke arah mereka. Tangan kiri kerangka itu mencengkeram sebatang kapak yang gagangnya tampak mulai lapuk.

"Kanda!" seru Arum lirih dan tangannya berpegangan pada lengan Lintang. Mereka berjalan menuju gua. Tempat terkutuk itu, di mana hawa maut mengancam semua yang hidup, menimbulkan rasa ngeri di hati Arum. Segera dia berusaha menguasai dirinya dan melangkah merapat di sisi Lintang yang tetap melangkah dengan tenang.

Mereka memasuki gua, dan Arum kembali merasa bulu kuduknya meremang karena melihat di dalam gua itu ada sebuah peti mati. Tempat membakar dupa yang amat kuno terletak di ujung peti dan sisa-sisa abu tampak menggunduk di sekitarnya. Ketika Lintang mendekati, tampak jelas bahwa sudah lama sekali tidak ada orang yang menyentuh tempat itu, buktinya di atas permukaannya terdapat banyak sarang laba-laba. Di tengah-tengah peti tampak sebuah kitab kuno yang terselimuti debu tebal. Di sampulnya terdapat sebaris tulisan berhuruf Jawa yang berbunyi 'Serat Sekti Mandraguna'.

"Ini kitab yang kita cari!" seru Arum girang, "Syukurlah, ternyata di sini aman!"

"Memang, untuk menyimpan harta karun, tempat terangker adalah justru tempat teraman!" timpal Lintang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun