"Tidurlah, subuh masih lama!" kata Lintang.
Arum mengangkat lengan Lintang sambil merapatkan tubuhnya dan menyelinap di bawah lengan itu, lalu berkata, "Aku sudah tidak ngantuk. Lintang, kenapa kamu lama sekali waktu di Lumajang?"
"Sayang, setelah dilantik sebagai ketua Perguruan Pedang Akhirat, aku wajib mewarisi jurus-jurus pedang ciptaan leluhurku. Paling cepat butuh waktu tiga bulan untuk menguasai semua itu! Di samping mengurus harta warisan orang tuaku!" kata Lintang sambil membelai rambut istrinya, "Kamu tahu, aku tersiksa sekali di sana, karena di kepalaku hanya dipenuhi bayang-bayang wajah bidadari kayangan, yang telah menyandera total segumpal hatiku!"
"Iih.., ternyata kamu pandai merayu juga!"
"Sapu tangan yang kamu berikan dulu, aku beri pigura dan aku gantung di dinding kamar. Itulah satu-satunya pengobat rinduku!"
"Terima kasih!" Arum tersenyum bahagia mendengarnya.
"Bersamamu, aku merasa menjadi orang yang paling beruntung di dunia!"
Arum mencium pipi Lintang, seolah-olah sebagai hadiah atas kata-katanya itu, lalu berkata, "Untungnya kamu segera datang, kalau tidak, mungkin kamu hanya akan menemui kuburanku! Ya, mungkin aku sudah mati!"
"Apa? Kenapa?" tanya Lintang kaget mendengar itu. Ia menatap wajah Arum dan mencoba mencari kejelasan di sana. Ia mempererat pelukannya seolah ingin mengatakan 'jangan pernah tinggalkan aku'.
"Ada orang jahat yang sudah dua kali datang meneror kami! Dia hebat, dan.., aku nyaris bentrok bertaruh nyawa di kandang musuh!"
"Hm.., katakan, siapa orangnya? Kalau cuma orang-orang macam Si Iblis Betina saja kamu anggap hebat..."