Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (71), Keburukan Bakal Ambruk

22 September 2024   06:02 Diperbarui: 22 September 2024   09:51 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

"Hei siapa kalian berani kurang ajar di sini?" teriak Ki Birawa sambil menudingkan toya beratnya ke arah orang yang tampaknya pimpinan para tamu tak diundang itu.

Sosok asing tinggi besar dan berwajah pucat itu menyapu sekelilingnya dengan pandangan mata dingin dan sayu. Sikapnya menunjukan seolah-olah ia memandang remeh semua pendekar yang ada di situ. "Siapa di antara kalian yang benama Kebo Kicak?" Ia bertanya dengan nada dingin dan tidak sudi memperkenalkan diri terlebih dahulu.

"Manusia sombong, kau mau cari mampus!" seru Pendekar Tinju Seribu yang kidal itu seraya meloncat sambil melayangkan tinju mautnya.

Lelaki bermata sayu menahan tinju itu dengan tapak tangan kirinya. Dua tangan beradu dan Pendekar Tinju Seribu terlempar ke belakang sampai dua meter lebih, sementara Si Mata Sayu tidak mundur sejengkalpun. Ternyata tenaga raksasa dari Tinju Seribu masih kalah jauh.

Terdengar beberapa orang yang mengenalinya bergumam, "Dia Si Pendekar Tapak Petir!"

Pendekar Tinju Seribu memaksakan diri untuk kembali menyerang. Berkat tingginya tenaga dalam yang beradu tadi, mengakibatkan ia terluka di organ bagian dalam. Tiba-tiba ia merasa dadanya sesak dan pandangannya gelap. Sambil memejamkan mata, ia terus mengamuk, melakukan serangan semata-mata mengandalkan naluri saja. Si Pendekar yang berjuluk Tapak Petir memukul dada Pendekar Tinju Seribu yang langsung membuatnya roboh dengan tinju masih terkepal.

Melihat hal itu, semua orang tertegun dan untuk beberapa saat keadaan menjadi seperti kuburan. Sunyi mencekam.

"Ada apa Ki sanak mencari Kebo Kicak?" tanya Arum, bangkit dari tempat duduknya sementara tangan kanannya menenteng pedang pusaka Mpu Naga.

"Kau siapa?"

"Aku istrinya Kebo Kicak!"

"Hm.., saya minta Kitab Sakti Mandraguna dan Pedang Pusaka Naga Nusantara!" jawab Tapak Petir ringan, "Serahkan pusaka itu dan saya akan membiarkan kalian semua selamat!"

"Bangsat, siapa sudi mendengar ocehanmu!" kata Ki Birawa dengan sepasang mata berapi, ada pun toyanya siap terayun mengirim pukulan maut.

Ki Joko Petir dengan cepat menangkis dengan tangannya. Pertemuan tangan dan toya yang digerakkan dengan tenaga raksasa ini menimbulkan suara keras hingga orang-orang yang berada di dekat situ merasakan getaran yang hebat. Ki Birawa terpental mundur dan sebelum kembali dalam posisi siap, Ki Petir sudah secepat kilat mendahului memberi pukulan.

Di saat bersamaan Arum melompat dan sarung pedang pusakanya menghadang tangan Ki Petir. "Nanti dulu. Biar pun ilmumu hebat, akan tetapi di pihak kami masih ada pendekar-pendekar yang juga hebat. Tapi karena kamu mau berurusan dengan Kebo Kicak, maka biarlah aku menyediakan nyawaku untuk mewakilinya. Kalau aku sudah tidak ada, boleh kamu berbuat sesuka hatimu!"

"Bagus, mampuslah kau gadis ingusan!" seru Ki Petir.

Melihat itu, naik darahlah para pendekar dan secara bersamaan mereka menyerang empat anak buah Ki petir. Mereka yang merupakan tokoh-tokoh penting perguruan jelas tidak terima atas hinaan itu.

"Tahan semuanya!" teriak Cak Japa dengan diiringi tenaga dalam sehingga suaranya menggelegar seperti halilintar.

Namun beberapa pendekar dengan ilmu silat mereka yang tinggi masih terus melakukan perlawanan yang gigih, sekalipun mereka harus terluka dan mandi darah. Empat anak buah Pendekar Tapak Petir itu ternyata memiliki ilmu yang lumayan tinggi juga. Masih sedikit di atas rata-rata para pendekar.

Ki Petir dan empat orang anak buahnya itu dikenal sebagai pengembara. Mereka sudah melalang buana ke mana-mana dan nama mereka cukup ditakuti, apalagi setelah kawanan perampok elit itu, beberapa tahun yang lalu, berani mengobrak-abrik salah satu istana raja Kediri.

"Tahan semua!" kembali Cak Japa berseru lantang.

Semua akhirnya berhenti, tinggal Arum dan Pendekar Tapak Petir yang masih terus bertempur. Tapak Petir rupanya tidak mau memberi ampun kepada Arum, sehingga ia terus mendesak. Tiba-tiba Lintang Kejora, pemuda yang dianggap Kebo Kicak yang sedang hilang ingatan, melompat dan berdiri di depan Arum.

Sejak tadi Lintang menunggu saat yang tepat untuk turun tangan. la melihat bahwa Arum bukan seorang yang lemah. Ia khawatir akan dituduh memandang rendah wanita itu kalau dia turun tangan. Apa lagi, dia sedang berusaha menyembunyikan jati dirinya. la dengan tenang menonton pertempuran itu, akan tetapi selalu siap menolong apa bila Arum sampai terancam bahaya.

Sejak kecil, ketika hidup di dalam hutan, Lintang sudah digembleng latihan-latihan semedi dan pernapasan yang diajarkan oleh Ki Lindu. Latihan-latihan yang diberikan oleh ayah palsunya itu sebenarnya diajarkan secara terbalik, dengan maksud sengaja untuk merusak organ tubuh Lintang. Akan tetapi justru latihan-latihan itu menghasilkan tenaga dalam yang aneh namun luar biasa.

Dalam penyamarannya, dengan pandang matanya yang tajam, Lintang mengamati betapa gerakan-gerakan silat dalam sabung para pendekar tadi itu sebetulnya lemah dan sungguh pun ilmu silat mereka indah dipandang, akan tetapi ia anggap tidak ada gunanya dalam pertarungan hidup mati yang sesungguhnya.

Ki Petir menyerbu Lintang, tapi orang muda itu sama sekali tidak tampak akan menangkis atau mengelak. Ketika jarak tangan Ki Petir tinggal sejengkal, tiba-tiba tubuhnya terpelanting dan berguling-guling. Semua mata terbelalak menyaksikan itu. Serentak empat orang anak buah Tapak Petir ikut menerjang dengan pukulan-pukulan tangan kosong. Lintang hanya menatap saja tanpa menangkis. Sekali lagi, terjadi hal yang sangat aneh. Ke empat orang itu terpental, bergulingan dan merintih kesakitan sambil memegangi dada mereka. Seolah-olah mereka tercekik, terengah-engah, layaknya ikan dilemparkan ke daratan.

Semua yang menyaksikan kejadian itu benar-benar dibuat takjub. Mereka belum pernah melihat hal semacam itu, dan mereka pikir itu ilmu sihir yang mengerikan. Tapi di sisi lain mereka juga senang karena itu artinya, menurut pandangan mereka, Pendekar Kebo Kicak sudah kembali pulih.

"Hidup Pendekar Gembul!" Terlontar teriakan dari beberapa pendekar.

"Luar biasa! Ilmu apa itu tadi?" gumam seseorang keheranan.

Imbuh yang lain, "Apa jampi-jampi Pendekar Gembul hingga bisa punya ilmu seperti itu?"

Hal itu pun tidak luput dari pengamatan Cak Japa yang sempat membuat ia terkejut. "Hm, benarkah dia itu Kebo Kicak?" Dia sendiri belum pernah dengar ada ilmu semacam itu dari gurunya Mbah Kucing.

Kawanan perampok elit di bawah pimpinan Ki Petir itu akhirnya menyerah. Mereka disidang oleh Dewan Pendekar, dan atas usulan Cak Japa yang akhirnya menjatuhkan vonis hukuman potong kedua pergelangan tangan. Itu dimaksudkan agar kemampuan mereka untuk berbuat jahat berkurang. Andaikan tidak ada Cak Japa, bukan mustahil para pendekar akan menghukum lima orang perusuh itu jadi perkedel.

Ada lima orang pendekar yang masing-masing mendapat tugas memotong pergelangan tangan perampok elit itu. Khusus untuk Ki Petir, ia dihukum dengan dipotong sebatas siku.

Setiap telapak tangan anak buah Ki Petir yang jatuh ke lantai setelah tertebas pedang, seolah berubah menjadi cakar iblis yang hendak mencekik dan mencengkeram lehernya.

"Bunuh saja aku!" jerit Ki Petir berusaha berontak. "Bunuh aku. Aku lebih baik mati!"

Tidak seorang pun yang mempedulikannya. Setelah ia mendapat giliran dipotong kedua lengannya, ia meraung-raung menangis, lalu menggosok-gosok kedua matanya dengan bahu yang ujungnya sudah terbalut kain. Kesombongannya telah hancur lebur. Ia bukan menangis karena sakit, tapi karena ilmu Ajian Tapak Petirnya, yang telah ia tekuni selama puluhan tahun, akan ikut musnah.

"Bangunan yang pondasinya buruk pasti bakal ambruk!" celetuk Mbah Kawi ketua Perguruan Sedulur Kejawen.

Saat itu sudah menjelang petang, sehingga sabung untuk menentukan wakil ketua terpaksa akan dilanjutkan besok. Beberapa pendekar menyempatkan hadir ke acara pemakaman jenazah Pendekar Tinju Seribu yang tewas dengan tangan masih terkepal.

***

Sebelum Arum Naga membuka acara hari itu, tiba-tiba sosok serba hitam berkelebat dan berdiri tidak jauh di depan meja panitia dengan menggenggam sebilah keris.

"Ada maksud apa tuan pendekar datang ke sini?" tanya Arum. Ia maklum bahwa melihat dari cara munculnya, orang itu pasti memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup baik. 'Jangan bilang kamu mau minta benda-benda pusaka!' batinnya menduga. "Andaikan tuan pendekar datang lebih cepat sehari, tuan bisa ikut menyaksikan kami memotong tangan Pendekar Tapak Petir dan keempat anak buahnya. Itu karena mereka sudah berani menimbulkan kekacauan di sini!"

"Ha..ha..ha..!" Pendatang baru itu tertawa terbahak-bahak, "Ada apanya Si Tapak Petir itu?"

Semua sudah mulai khawatir mendengar ucapan orang asing itu. Semua peristiwa yang melelahkan dan mengerikan hari kemarin sepertinya akan kembali dimulai. Setiap orang meraba gagang senjatanya.

Arum berdiri memberi hormat dan berkata, "Sudi kiranya tuan pendekar memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud tujuan anda datang ke mari?"

"Orang menyebutku Pendekar Dewa Keris!" jawabnya lantang sambil cengar-cengir. "Tujuan kedatanganku ke sini adalah untuk mendapatkan pedang pusaka di tangan Guru Putri Arum Naga!"

Semua yang hadir saling pandang dan berbisik-bisik. Sepertinya belum ada seorang pun yang pernah mendengar nama Pendekar Dewa Keris. Tapi mereka semua bersikap menunggu dan meningkatkan kewaspadaan.

"Baiklah!" Pendekar Jelita berkata setelah menarik nafas panjang. Ia mengeluarkan pedang dari sarungnya. "Rebutlah jika anda mampu!"

"Ah, maksudku.., aku mau membeli pedang pusaka itu, Guru Putri Arum! Bukan mau merampas!" kata orang asing itu masih dengan senyum cengar-cengirnya. "Aku berani menukar dengan sepuluh ekor kuda!"

"Apa?" seru Ki Birawa, "Aku yang berani menukar dengan dua puluh ekor kuda saja gak dikasihkan!"

Mbah Kawi dari Perguruan Sedulur Kejawen ikut nimbrung, "Saya malah berani menukar dengan empat puluh kuda terbaik saya!"

Orang yang mengaku Pendekar Dewa Keris itu kemudian berpamitan. 'Sialan, pendekar-pendekar ini rupanya orang-orang kaya juga!' batinnya menggerutu sambil berjalan keluar. "Maaf, permisi! He..he..!"

Arum kemudian melanjutkan jalannya acara. "Yang lolos seleksi berikutnya untuk menduduki posisi wakil ketua adalah Pendekar Jeliteng, Ki Birawa dan Roro Ajeng. Sebetulnya Ki Marijan lolos karena lawannya di babak pertama, Pendekar Tinju Seribu, telah meninggal dunia, tapi Ki Marijan dari Perguruan Kera Putih mengundurkan diri!"

Karena calonnya tinggal tiga, maka kemudian dilakukan pemungutan suara, dan pemenang urutan pertama dan kedua yang akan bertanding. Pendekar Jeliteng berusaha mencari dukungan dari para peserta agar memilihnya, dengan menggunakan pengaruh imbalan uang. Tapi yang terpilih dari hasil pemungutan suara adalah Roro Ajeng yang akan berhadapan dengan Ki Birawa.

Kekecewaan itu membuat pihak Macan Abang menyatakan keluar dari organisasi Ikatan Pendekar Jawa. Padahal tadinya Ki Demang berharap bisa memanfaatkan organisasi itu sebagai kendaraan politiknya untuk meraih kedudukan yang lebih tinggi.

Pertandingan pun segera berlangsung. Bunga api muncrat berhamburan ketika pedang di tangan Ajeng bertemu dengan toya Ki Birawa. Rupanya keduanya adalah ahli-ahli silat yang memiliki kekuatan seperti singa. Nyaring bunyi adu senjata, dan keduanya merasa betapa telapak tangan mereka bergetar hebat.

Pada suatu ketika lawannya sudah terdesak hebat, Ajeng secara nekat tanpa mempedulikan datangnya sodokan toya, membacok pundak Ki Birawa sekuat tenaga. Ia memutar tubuhnya di udara untuk menambah bobot bacokan.

Andaikata Ajeng melanjutkan bacokannya yang pasti akan membabat putus pundak lawan, namun tanpa dapat dicegah lagi toya musuh juga pasti akan menusuk ulu hatinya. Sementara itu, Ki Birawa tentu saja tidak mau menukarkan pundaknya dengan sebuah pukulan, sehingga dia membatalkan sodokan dan mengayunkan toya sekuat tenaga untuk menangkis.

Dua senjata itu beradu keras, bunga api berhamburan dan ternyata toya kuningan di tangan Ki Birawa patah jadi dua. Sambil melotot marah, Ki Birawa melanjutkan pertarungan dengan mempergunakan patahan toya secara membabi buta. Justru dengan kedua tongkat itu Ki Birawa bisa memberikan gempuran lumayan hebat. Terdengar suara nyaring beruntun ketika kedua senjata beradu.

Setelah berlangsung cukup lama, Ajeng melihat lawannya mundur, berhenti menyerang untuk mengatur nafas. Ia pun memanfaatkan waktu untuk memulihkan tenaga. Sepasang mata indah yang menatap tajam, hidung kecil mancung, sepasang pipi merona merah, serta rambut yang tergerai kacau di kanan kiri wajah yang putih bersih itu begitu meningkatkan pesonanya. Kecantikannya itulah sebetulnya senjata yang jauh lebih berbahaya ketimbang pedangnya. Tanpa disadari, lelaki yang menjadi lawannya seringkali terpesona oleh kecantikan itu dan lantas membuat semangat juangnya menurun dan tenaganya mengendur. Pesona itu laksana obat bius yang menjadi senjata rahasia.

Akhirnya, sebelum Pendekar Bidadari menerjang maju, Ki Birawa membuang toyanya yang patah dan dengan nafas kembang kempis ia terpaksa mengakui kekalahannya. Ia sangat malu, marah dan kelelahan, kalau dipaksakan, tidak mustahil ia akan menderita luka.

"Keburukan bakal ambruk!" terlontar teriakan menyindir. Setelah itu, dua belas orang yang tadinya ikut menyaksikan di depan pintu kini melangkah memasuki ruangan. "Kami menghaturkan salam hormat kepada semua pendekar!" kata si pemimpin rombongan yang ternyata Ki Unggul Weling, "Khususnya kepada tuan rumah, Pendekar Kebo Kicak dan Pendekar Jelita. Kami mohon maaf karena terlambat!"

"Salam hormat! Terima kasih atas kehadirannya Paman Unggul!" jawab Arum mewakili semua yang hadir, "Maaf, utusan kami kesulitan mencari alamat perkumpulan Laskar Rimba!"

"Ha..ha..ha..! Harap maklum Ning Arum, kami memang tinggal di hutan, jadi tidak pernah pakai alamat! Terima kasih, kami merasa terhormat atas undangannya!"

"Saudara sekalian! Paman ini adalah Ki Unggul Weling, ketua Perkumpulan Laskar Rimba!" Arum memperkenalkan.

Laskar Rimba adalah perkumpulan bekas prajurit Majapahit. Ki Unggul menghimpun prajurit-prajurit yang berpencaran pasca pemberontakan Dyah Ranawijaya, dan jumlah mereka terus bertambah banyak, menjadi kekuatan yang selalu siap untuk berpihak kepada para pewaris sah Brawijaya V, seperti Ki Ageng dari Pengging, Raden Bondhan Kejawen dari Tarub, Raden Bathara Katong dari Ponorogo, Raden Lembu Peteng dari Madura, dan termasuk Raden Fatah dari Demak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun