Setiap telapak tangan anak buah Ki Petir yang jatuh ke lantai setelah tertebas pedang, seolah berubah menjadi cakar iblis yang hendak mencekik dan mencengkeram lehernya.
"Bunuh saja aku!" jerit Ki Petir berusaha berontak. "Bunuh aku. Aku lebih baik mati!"
Tidak seorang pun yang mempedulikannya. Setelah ia mendapat giliran dipotong kedua lengannya, ia meraung-raung menangis, lalu menggosok-gosok kedua matanya dengan bahu yang ujungnya sudah terbalut kain. Kesombongannya telah hancur lebur. Ia bukan menangis karena sakit, tapi karena ilmu Ajian Tapak Petirnya, yang telah ia tekuni selama puluhan tahun, akan ikut musnah.
"Bangunan yang pondasinya buruk pasti bakal ambruk!" celetuk Mbah Kawi ketua Perguruan Sedulur Kejawen.
Saat itu sudah menjelang petang, sehingga sabung untuk menentukan wakil ketua terpaksa akan dilanjutkan besok. Beberapa pendekar menyempatkan hadir ke acara pemakaman jenazah Pendekar Tinju Seribu yang tewas dengan tangan masih terkepal.
***
Sebelum Arum Naga membuka acara hari itu, tiba-tiba sosok serba hitam berkelebat dan berdiri tidak jauh di depan meja panitia dengan menggenggam sebilah keris.
"Ada maksud apa tuan pendekar datang ke sini?" tanya Arum. Ia maklum bahwa melihat dari cara munculnya, orang itu pasti memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup baik. 'Jangan bilang kamu mau minta benda-benda pusaka!' batinnya menduga. "Andaikan tuan pendekar datang lebih cepat sehari, tuan bisa ikut menyaksikan kami memotong tangan Pendekar Tapak Petir dan keempat anak buahnya. Itu karena mereka sudah berani menimbulkan kekacauan di sini!"
"Ha..ha..ha..!" Pendatang baru itu tertawa terbahak-bahak, "Ada apanya Si Tapak Petir itu?"
Semua sudah mulai khawatir mendengar ucapan orang asing itu. Semua peristiwa yang melelahkan dan mengerikan hari kemarin sepertinya akan kembali dimulai. Setiap orang meraba gagang senjatanya.
Arum berdiri memberi hormat dan berkata, "Sudi kiranya tuan pendekar memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud tujuan anda datang ke mari?"