Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (69): Pencerahan

18 September 2024   03:39 Diperbarui: 18 September 2024   03:43 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

Mbah Rejo yang matanya rabun dan nyaris buta menyambut kedatangan Arum dan Lintang  dengan penuh suka cita. Raut mukanya yang penuh keriput dan mulutnya yang ompong membayangkan kedalaman batin seorang yang sudah banyak makan asam garam kehidupan.

"Selamat datang! Suatu kehormatan bagiku mendapat kunjungan dari pendekar besar seperti kalian!"

Mereka lalu berbincang-bincang di serambi muka rumah Mbah Rejo. Kakek tua itu dulunya adalah orang pertama yang menjadi karyawan Mpu Naga Neraka dalam pembuatan senjata pusaka.

"Ada seorang dari keluarga bangsawan Kediri yang datang untuk memperbaiki keris!" tutur Mbah Rejo mengawali cerita sejarah terciptanya pedang Pusaka Mpu Naga.

Keris luk tujuh belas yang sangat tua itu tanpa gagang dan ada beberapa bagian yang karatan dan geripis di sana-sini. Si pemesan minta agar keris itu diperbaiki dan diubah menjadi pedang. Setelah Mpu Naga menyelesaikan pesanan itu selama sekitar enam bulan, si pendekar pemilik keris itu tidak pernah muncul lagi. Mungkin saja ia sudah meninggal dunia.

Keris yang diperbaiki itu adalah salah satu karya cipta Mpu Gandring, yang konon terbuat dari bongkahan meteorit yang jatuh dari langit, logam yang memiliki energi yang sangat besar dan kuat.

Pada waktu yang hampir bersamaan Mpu Gandring menerima dua pesanan keris dari Ken Arok dan dari seorang ksatria Kediri. Ken Arok sudah tidak sabar ingin mengambil keris pesanannya, tapi ia selalu mendapat jawaban bahwa keris itu belum selesai.

"Kapan bisa saya ambil, Ki Gandring?" tanya Arok berusaha bersabar. "Saya sudah berkali-kali ke sini kok belum jadi-jadi!"

"Saya masih menyelesaikan keris pesanan seorang bangsawan kerajaan Kediri," jawab Mpu Gandring. Ia memang sengaja mengulur-ulur menyelesaikan keris pesanan itu karena firasatnya mengatakan ada kejahatan yang sedang direncanakan lelaki itu dengan keris pesanannya.

Jawaban Mpu Gandring yang menyebut seorang bangsawan itu tidak membuat pemuda itu merasa segan dan kemudian mengalah, malah sebaliknya membuat ia sangat tersinggung. Mpu itu dianggap tidak adil dan sudah menyepelekannya.

"Boleh saya lihat sebentar kerisnya, Ki. Bagian apanya yang kurang!"

Mpu Gandring kemudian dengan sangat terpaksa mengambil keris dan menunjukan bahwa keris itu masih dalam proses penyempurnaan.

Ken Arok meraih keris itu dan pura-pura mengamati, tapi tiba-tiba secepat kilat ia menusukannya ke ulu hati Mpu Gandring. Ketika ia mencabut, Mpu Gandring memegang keris itu kuat-kuat sambil berteriak mengucapkan kutukan.

Ken Arok menendang tubuh Mpu Gandring dan segera melarikan diri. Ia tadinya berniat mencuri keris pesanan bangsawan yang penggarapannya lebih diutamakan oleh Mpu Gandring itu, tapi karena panik ia lupa.

Kutukan Mpu Gandring bahwa keris itu kelak akan menuntut darah dan mendatangkan prahara terbukti. Setelah itu keris tersebut menewaskan prajurit Keboijo, Ken Arok sendiri, dan Anusapati. Setelah membunuh Anusapati dengan keris Mpu Gandring, Tohjaya naik tahta menjadi Raja Singhasari. Belum genap setahun menjabat, Tohjaya tewas dalam sebuah pemberontakan yang dipimpin oleh Ranggawuni yang menuntut balas atas kematian ayahnya, Anusapati. Ranggawuni akhirnya menjadi Raja Singhasari dan bergelar Wisnuwardhana.

Di masa kepemimpinan Wisnuwardhana inilah perebutan kekuasaan antar keluarga dinasti Rajasa berakhir. Wisnuwardhana kemudian memusnahkan kutukan keris Mpu Gandring dengan membuang keris pusaka tersebut ke kawah Gunung Kelud.

"Keris Mpu Gandring pesanan bangsawan yang juga belum selesai itulah yang kemudian diubah oleh Mpu Naga menjadi pedang!" Akhirnya Mbah Rejo mengakhiri ceritanya.

"Terima kasih Mbah, semoga Mbah selalu sehat dan panjang umur!" kata Arum sebelum berpamitan.

"Siapa yang butuh umur panjang," sahut kakek itu sambil tertawa, "Aku gembira melihat Ning Arum sudah bertemu kembali dengan Raden Kebo Kicak."

"Terima kasih, Mbah!"

"Ah.., andaikata Ning Arum tidak mengalami keguguran, saat ini aku pasti sudah bisa menggendong cucu Mpu Naga yang hebat! Aku sengaja menahan-nahan nyawa yang sudah tak kerasan di tubuh tua renta ini, demi melihat kebahagian Ning Arum. Ini kebahagian untuk mengantar perjalananku yang amat jauh!  "

"Terima kasih banyak, Mbah! Aku ingin Mbah Rejo nanti yang memberi nama anak saya!" Timbul perasaan perih tatkala Arum mengatakan itu. 'Anak dari mana?'

"Makanya cepatlah kalian memiliki anak ya! Jangan lama-lama!"

"Terima kasih, Mbah!" Hanya itu yang mampu diucapkan Arum berulang kali.

Arum sekarang tahu bahwa pedang pusaka Mpu Naga, yang gagangnya terbuat dari kayu Setigi dan berhiaskan batu kecubung itu, ternyata memiliki nilai historis yang sangat luar biasa. Tidak aneh jika pedang yang telah mematahkan celurit pusaka sekaligus membabat kepala pendekar Celurit Setan itu kini amat diincar oleh tokoh-tokoh dunia persilatan.

Demi menjaga keamanan, nama Perguruan Benteng Naga kemudian diubah menjadi Benteng Nusa. Pemuda yang dianggap Pendekar Kebo Kicak itu lebih dikenal dengan sebutan Pendekar Gembul. Sementara Arum Naga kemudian lebih suka memperkenalkan diri sebagai Putri Arum.

***

Lintang yang dianggap sebagai Kebo Kicak itu memang pada dasarnya adalah seorang pendiam. Akan tetapi masyarakat yang mendengar bahwa ia mengalami peristiwa hebat yang mengakibatkannya menderita hilang ingatan, membuat mereka merasa sangat prihatin. Bagi sebagian dari mereka ada yang menganggap bahwa itu adalah akibat karena kebanyakan ilmu. Sebagian lagi menganggap bahwa pendekar itu sengaja berbuat demikian demi menyembunyikan ilmunya, sebagai sikap seorang yang sangat rendah hati. Padi yang berisi akan merunduk.

Dengan mengamati gerak-geriknya yang tenang dan tidak tergesa-gesa, dapat diketahui bahwa Lintang adalah orang yang memiliki ketenangan lahir batin. Sepintas lalu dia tampak seperti seorang lelaki biasa yang sederhana, sama sekali tidak kelihatan seperti seorang pendekar besar.

Ketika dulu ibu angkatnya, Dewi Laksmi, meninggal dunia, Lintang secara halus diusir oleh Ki Bondan. Ia dianggap menjadi penyebab kesialan keluarga Ki Bondan. Tanpa tahu tujuan ke mana akan pergi, ia lalu berdiam diri di samping kuburan ibu angkatnya.

Seseorang kemudian melaporkan keadaan itu kepada Ki Bondan, sehingga kepala prajurit itu kemudian merasa iba hatinya. Sebelumnya, ia secara sembunyi-sembunyi mengamati dari jauh bocah kecil yang seperti orang sedang bersemedi itu.

"Lintang!" Ki Bondan menghampiri anak yang bertapa di samping pusara istrinya. "Maafkan ayah, Lintang. Ayo kita pulang!" ajaknya sambil menggandeng tangan lemah itu. Ia kagum kepada bocah kecil yang mengajarkan akan sebuah kesetiaan yang tulus.

Sebagai seorang kepala prajurit berpangkat bekel, Ki Bondan jelas seperti ditampar oleh sikap anak hutan itu. Ia belum pernah menyaksikan peristiwa yang menggambarkan sebuah kesetian yang demikian dramatis. Oleh karena itu, ia kemudian mencintai Lintang melebihi cintanya kepada diri sendiri. Ia tanpa ragu lagi mencurahkan segala ilmu yang dikuasainya kepada anak angkatnya itu.

Ketika suatu saat terjadi pemberontakan terhadap Majapahit, dan Ki Bondan gugur di medan perang, Lintang memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya, di tengah hutan Kabuh Jombang. Namun hutan itu sudah jauh berubah. Ia tidak menemukan sebuah gubuk yang dulu menjadi tempat tinggalnya.

Lintang termenung dan berlinangan air mata. la tidak ingat sama sekali siapa orang tuanya. Seingatnya, dia telah menjadi budak suami istri gila yang dari penuturan orang-orang, sesungguhnya adalah para penculik. Baginya, lembaran hidup ini dimulai dari lantai tanah di mana ia terlelap tidur setiap malam hari.

Ketika Arum mengajaknya berbincang-bincang tentang situasi kerajaan atau keadaan yang terjadi di masyarakat, ia seringkali menggelengkan kepala, wajahnya berubah karena merasa malu. "Aku... aku seperti baru saja menginjakkan kaki dunia yang penuh hiruk-pikuk ini, maaf, aku tidak tahu apa-apa, Guru Putri!"

"Hei Gembul, panggil saja aku Arum, jangan guru putri!"

"Baik Guru Putri!"

Dalam tidur, Lintang sering merasa seperti melayang-layang dari tempat yang sangat tinggi, penuh bintang bertebaran di sekelilingnya. Ia jatuh terus ke bawah, makin lama semakin cepat. Mula-mula melewati ruangan yang penuh awan putih, lalu ruangan merah seperti darah, kadang hitam kelam, kemudian setelah melalui beberapa ruangan yang beraneka warna ia tidak melihat apa pun lagi. Hanya perasaannya yang menyatakan bahwa ia masih terus melayang-layang terjun ke bawah.

Telinganya mendengar suara yang sangat mengerikan, mengiang-ngiang dan mendengung-dengung, kadang-kadang rendah, lalu disusul suara jerit kesakitan yang memilukan dan suara ketawa terbahak-bahak yang bergema di sekelilingnya.

"Gembul..!" panggil Arum, "Hei, kamu melamun? Kamu dengar aku?"

"Dengar Guru Putri!"

"Huu..! Itu artinya kamu gak dengar omongaku!"

Lintang hanya tersenyum. Ia mendapat banyak pencerahan tentang situasi politik dan sejarah serta tentang kondisi masyarakat dari Arum. Ia senang memperoleh pelajaran yang sangat berharga itu. Khususnya cerita mengenai kehidupan pendekar-pendekar besar. Ia sangat mengagumi wanita cerdas di hadapannya, Pendekar Jelita, yang menurutnya pantas menjadi salah satu pendekar besar di Nusantara.

"Kok tersenyum?"

"Terima kasih banyak Guru Putri!" ucapnya sambil tersungging senyuman bahagia di bibirnya.

"Hm.., kamu pergi tidur saja sana!"

"Terima kasih, Guru Putri!"

"Untuk apa?"

"Untuk pencerahannya!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun