"Lintang!" Ki Bondan menghampiri anak yang bertapa di samping pusara istrinya. "Maafkan ayah, Lintang. Ayo kita pulang!" ajaknya sambil menggandeng tangan lemah itu. Ia kagum kepada bocah kecil yang mengajarkan akan sebuah kesetiaan yang tulus.
Sebagai seorang kepala prajurit berpangkat bekel, Ki Bondan jelas seperti ditampar oleh sikap anak hutan itu. Ia belum pernah menyaksikan peristiwa yang menggambarkan sebuah kesetian yang demikian dramatis. Oleh karena itu, ia kemudian mencintai Lintang melebihi cintanya kepada diri sendiri. Ia tanpa ragu lagi mencurahkan segala ilmu yang dikuasainya kepada anak angkatnya itu.
Ketika suatu saat terjadi pemberontakan terhadap Majapahit, dan Ki Bondan gugur di medan perang, Lintang memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya, di tengah hutan Kabuh Jombang. Namun hutan itu sudah jauh berubah. Ia tidak menemukan sebuah gubuk yang dulu menjadi tempat tinggalnya.
Lintang termenung dan berlinangan air mata. la tidak ingat sama sekali siapa orang tuanya. Seingatnya, dia telah menjadi budak suami istri gila yang dari penuturan orang-orang, sesungguhnya adalah para penculik. Baginya, lembaran hidup ini dimulai dari lantai tanah di mana ia terlelap tidur setiap malam hari.
Ketika Arum mengajaknya berbincang-bincang tentang situasi kerajaan atau keadaan yang terjadi di masyarakat, ia seringkali menggelengkan kepala, wajahnya berubah karena merasa malu. "Aku... aku seperti baru saja menginjakkan kaki dunia yang penuh hiruk-pikuk ini, maaf, aku tidak tahu apa-apa, Guru Putri!"
"Hei Gembul, panggil saja aku Arum, jangan guru putri!"
"Baik Guru Putri!"
Dalam tidur, Lintang sering merasa seperti melayang-layang dari tempat yang sangat tinggi, penuh bintang bertebaran di sekelilingnya. Ia jatuh terus ke bawah, makin lama semakin cepat. Mula-mula melewati ruangan yang penuh awan putih, lalu ruangan merah seperti darah, kadang hitam kelam, kemudian setelah melalui beberapa ruangan yang beraneka warna ia tidak melihat apa pun lagi. Hanya perasaannya yang menyatakan bahwa ia masih terus melayang-layang terjun ke bawah.
Telinganya mendengar suara yang sangat mengerikan, mengiang-ngiang dan mendengung-dengung, kadang-kadang rendah, lalu disusul suara jerit kesakitan yang memilukan dan suara ketawa terbahak-bahak yang bergema di sekelilingnya.
"Gembul..!" panggil Arum, "Hei, kamu melamun? Kamu dengar aku?"
"Dengar Guru Putri!"