Jawaban Mpu Gandring yang menyebut seorang bangsawan itu tidak membuat pemuda itu merasa segan dan kemudian mengalah, malah sebaliknya membuat ia sangat tersinggung. Mpu itu dianggap tidak adil dan sudah menyepelekannya.
"Boleh saya lihat sebentar kerisnya, Ki. Bagian apanya yang kurang!"
Mpu Gandring kemudian dengan sangat terpaksa mengambil keris dan menunjukan bahwa keris itu masih dalam proses penyempurnaan.
Ken Arok meraih keris itu dan pura-pura mengamati, tapi tiba-tiba secepat kilat ia menusukannya ke ulu hati Mpu Gandring. Ketika ia mencabut, Mpu Gandring memegang keris itu kuat-kuat sambil berteriak mengucapkan kutukan.
Ken Arok menendang tubuh Mpu Gandring dan segera melarikan diri. Ia tadinya berniat mencuri keris pesanan bangsawan yang penggarapannya lebih diutamakan oleh Mpu Gandring itu, tapi karena panik ia lupa.
Kutukan Mpu Gandring bahwa keris itu kelak akan menuntut darah dan mendatangkan prahara terbukti. Setelah itu keris tersebut menewaskan prajurit Keboijo, Ken Arok sendiri, dan Anusapati. Setelah membunuh Anusapati dengan keris Mpu Gandring, Tohjaya naik tahta menjadi Raja Singhasari. Belum genap setahun menjabat, Tohjaya tewas dalam sebuah pemberontakan yang dipimpin oleh Ranggawuni yang menuntut balas atas kematian ayahnya, Anusapati. Ranggawuni akhirnya menjadi Raja Singhasari dan bergelar Wisnuwardhana.
Di masa kepemimpinan Wisnuwardhana inilah perebutan kekuasaan antar keluarga dinasti Rajasa berakhir. Wisnuwardhana kemudian memusnahkan kutukan keris Mpu Gandring dengan membuang keris pusaka tersebut ke kawah Gunung Kelud.
"Keris Mpu Gandring pesanan bangsawan yang juga belum selesai itulah yang kemudian diubah oleh Mpu Naga menjadi pedang!" Akhirnya Mbah Rejo mengakhiri ceritanya.
"Terima kasih Mbah, semoga Mbah selalu sehat dan panjang umur!" kata Arum sebelum berpamitan.
"Siapa yang butuh umur panjang," sahut kakek itu sambil tertawa, "Aku gembira melihat Ning Arum sudah bertemu kembali dengan Raden Kebo Kicak."
"Terima kasih, Mbah!"