Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (67): Luka Tanda Cinta

15 September 2024   06:17 Diperbarui: 15 September 2024   06:36 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

Mereka lupa siapa yang pertama memberi julukan Pendekar Gembul, namun lelaki mirip Kebo Kicak itu sama sekali tidak mempersoalkannya. Ia sesungguhnya bernama Lintang Kejora, anak bungsu Raden Bentar, seorang bangsawan yang sangat berpengaruh dan kaya raya di Lumajang. Pada saat baru berumur dua tahun, ia menjadi korban penculikan.

Penculiknya adalah seorang pembantu yang disusupkan oleh Ki Lindu Ketunggeng, musuh besar Raden Bentar. Ki Lindu adalah seorang ahli ilmu hitam yang menaruh dendam kepada keluarga Raden Bentar, maka bayi Lintang menjadi media yang sempurna baginya untuk menghancurkan musuhnya itu secara perlahan-lahan.

Raden Bentar mengerahkan segala upaya untuk menemukan anaknya, bahkan menawarkan uang tebusan berapa pun yang diminta oleh si penculik, dan bersumpah membebaskan si penculik dari tuntutan hukuman asalkan mengembalikan anaknya dengan selamat. Di samping itu, Raden Bentar juga membayar pendekar-pendekar dan mengiming-imingi hadiah besar bagi mereka yang berhasil membawa pulang anaknya. Tidak sedikit pula paranormal yang telah dimintai bantuan. Akan tetapi semua upaya itu tidak membuahkan hasil.

Rumah pembantu si penculik ternyata rumah sewa dan sudah lama dikosongkan. Tidak ada seorang pun tetangga yang tahu ke mana pemiliknya pindah. Sepertinya penculikan itu memang sudah direncanakan dengan sangat matang.

Ki Lindu dan istrinya membawa bayi malang itu bersembunyi di sebuah bukit di pedalaman hutan Kabuh Jombang. Lokasi yang jarang dijamah manusia. Mereka sudah mempersiapkan sebuah rumah kayu di dekat sungai sebagai tempat tinggal.

Mereka membesarkan Lintang hanya sebagai ajang pelampiasan dendam kesumatnya, sekaligus sebagai media uji coba ilmu-ilmu hitamnya. Apabila anak itu sampai mati, mereka akan cukup puas, dan apabila ternyata masih bisa bertahan hidup, itu akan lebih meningkatkan semangat mereka untuk bereksperimen.

Pasangan suami istri yang gila itu memberi makan Lintang dengan berbagai macam daging binatang berbisa yang masih mentah, seperti ular, kelabang, kalajengking, tawon dan laba-laba. Tidak jarang mereka juga mempraktekan ilmu-ilmu hitam mereka kepada bocah malang itu.

Lintang adalah anak yang sungguh luar biasa, dan itu diakui sendiri oleh kedua suami istri itu. Seperti ada kekuatan gaib yang dimiliki anak itu secara alami, yang sejauh ini mampu membuatnya bertahan menghadapi kerasnya siksaan. Mereka kadang iri dan sekaligus mengaguminya. Mereka benci dan sekaligus membutuhkannya.

Di bagian belakang kepala anak ajaib itu terdapat tanda lahir berwarna merah berbentuk mirip bintang. Itulah sebabnya kenapa orang tuanya memberi nama Lintang, Lintang Kejora.

Tidak terasa lima tahun berlalu. Lintang sudah menginjak usia tujuh tahun. Selama itu ia hanya memakai celana pendek dari kulit celeng. Tanpa pernah memakai baju dan alas kaki. Tubuhnya tampak dipenuhi berbagai bekas luka. Setiap hari ia bekerja membantu pekerjaan rumah, dan setelah menginjak usia lima tahun ia mulai disuruh untuk berburuh binatang liar di hutan.

Lintang mengira Ki Lindu dan istrinya itu sebagai orang tuanya, dan perlakuan kasar mereka itu dianggap hal wajar. Suatu hari Ki Lindu menyuruh Lintang untuk minum ramuan yang katanya untuk memperkuat tulang dan otot. Cairan kental berwarna coklat kehitaman itu adalah campuran berbagai racun yang diambil dari berbagai tanaman dan bisa binatang.

"Baunya busuk sekali, Raja!" seru Lintang dengan mimik muka mau muntah. Ia memang memanggil orang tua palsunya itu dengan sebutan raja dan permaisuri.

"Jangan pedulikan baunya, yang penting itu khasiatnya!" kata si permaisuri membujuk.

"Betul!" imbuh Ki Lindu, "Kamu akan jadi orang yang paling kuat sedunia setelah meminum ramuan ini!"

Setelah menenggak dengan cepat sambil menjepit hidungnya dengan jari, Lintang merasa matanya berkunang-kunang, perutnya mual dan tubuhnya mulai panas. Tidak lama kemudian ia tergeletak tak sadarkan diri. Ki Lindu kemudian mengangkat tubuh kecil itu dan membuangnya ke tengah hutan. Ia yakin bahwa tubuh itu nanti akan menjadi santapan binatang buas.

Ki Lindu dan istrinya terpaksa harus meracuni Lintang karena khawatir jika semakin besar dan kuat, anak itu kelak bisa menjadi ancaman dan membahayakan mereka sendiri. Mereka benar-benar dibuat ketakutan dengan kekuatan gaib yang melindungi anak itu.

Keesokan harinya Lintang membuka mata. Ia masih belum diijinkan untuk kembali ke pangkuan Tuhan. Ia bangun dari tidurnya, seakan-akan baru bangun dari kematian. Tubuhnya kini menjadi kebal terhadap berbagai racun.

Ia berjalan mengikuti jejak langkah kaki kuda, hingga akhirnya sampai di pinggir hutan dan bertemu dengan tenda sekelompok pemburu. Mereka terkejut melihat seorang anak kecil sendirian telanjang di pinggir hutan.

Pemimpin pemburu itu rupanya adalah seorang kepala pasukan Majapahit. "Siapa namamu, Nak?" tanya kepala pasukan yang bernama Ki Bondan Tadah itu.

"Lintang Kejora!" Untungnya Ki Lindu tidak mengganti namanya, sehingga ketika ia menyebut namanya para pemburu itu terkejut.

Mereka tentu sudah pernah mendengar bahwa lima tahun yang lalu pernah ada sayembara yang menggemparkan tanah Jawa, yakni mencari anak korban penculikan yang bernama Lintang Kejora. Selama kurang lebih tiga tahun pencarian yang menghabiskan biaya besar itu terus dilakukan, akan tetapi sebelum ada kabar mengenai anak itu, semua anggota keluarga bangsawan itu satu persatu meninggal dunia secara aneh, hingga satu keluarga habis tak tersisa.

Mereka tidak tega menceritakan kejadian tragis yang menimpa keluarga bocah itu. Ketika para prajurit itu kemudian mendengar cerita yang selama ini dialami Lintang bersama kedua orang tua penculiknya itu, mereka menjadi sangat marah.

"Di mana tempat tinggal mereka?" tanya Ki Bondan.

"Di dalam hutan, di pinggir sungai!"

Tidak lama setelah itu, sekitar dua puluh prajurit berkuda menyerbu ke dalam hutan untuk mencari suami istri penculik biadab itu. Mereka menyusuri sungai dan akhirnya menemukan sebuah rumah kayu. Karena berada di tengah rimba, maka hukum rimbalah yang berlaku.

***

Lintang akhirnya dibawa pulang ke kotaraja di Trowulan. Ia tinggal bersama para prajurit, bekerja sebagai kacung di barak prajurit Majapahit. Ki Bondan memperlakukannya dengan baik, jauh lebih baik dibanding orang yang dikira sebagai orang tuanya.

Di tempat itu ia baru mengenal makanan-makanan yang menurutnya sangat lezat, sebab selama tinggal di tengah hutan ia diajari makan daging mentah tanpa bumbu apapun. Ia juga baru tahu bahwa makanan basi itu tidak boleh dimakan, harus dibuang. Padahal ia selama ini justru sering disodori makanan basi.

Ketika suatu hari Ki Bondan mengajaknya pulang, ia kemudian diambil anak angkat oleh istri Ki Bondan, Dewi Laksmi. Mereka adalah pasangan pengantin baru, sehingga Laksmi punya alasan ada teman di saat suaminya bertugas. Wanita muda yang cantik itu memperlakukan Lintang seperti anaknya sendiri, dan Lintang menganggap wanita itu sebagai ibu permaisuri yang sejati. Dari wanita yang penuh kasih sayang itu Lintang mengenal pendidikan moral dan tata krama.

Sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada ibu angkatnya, Lintang selalu siap membantu segala pekerjaan rumah tangga. Apalagi saat ibu Laksmi sedang mengandung anak pertamanya. Lintang tidak jarang menawarkan diri untuk membantu sebisanya. Soal seperti itu ia memang dididik secara keras oleh Ki Lindu, dan kenyang dengan berbagai hukuman ketika dianggap melakukan kesalahan. Sementara itu, bagaikan langit dan bumi, ibu Laksmi tidak pernah memberi hukuman, bahkan belum pernah sekali pun menghardiknya.

Pada saat Laksmi melahirkan, ia meninggal dunia. Lintang merasa sangat berduka, kehilangan sosok yang paling dicintainya di muka bumi. Tidak lama berselang, ayah angkatnya juga meninggal dalam sebuah peperangan akibat timbulnya pemberontakan. Sejak saat itu ia memutuskan untuk pergi mengembara.

Setelah bertahun-tahun hidup sebagai pengembara, suatu hari ia berada di pinggiran kota dan dihadang beberapa orang perampok. Tiba-tiba seorang ketua dari mereka berkata sambil membungkukkan badan, "Oh, maafkan kami Raden Kebo Kicak! Silakan lewat! Maafkan kami!"

Ia melihat para perampok manampakkan wajah ketakutan sambil membungkukan badan. Ia lalu melanjutkan perjalanan. Setelah agak jauh ia mendengar seseorang mengatakan kepada teman-temannya.

"Goblok kalian, dia itu pendekar besar!"

"Benarkah dia Kebo Kicak!"

"Iya benar! Untung dia tidak mencabut nyawa kalian!"

Setelah mengalami kejadian seperti itu beberapa kali di tempat yang berbeda, dikira sebagai seorang pendekar besar yang bernama Kebo Kicak, ia kemudian memutuskan untuk mencari tahu mengenai Kebo Kicak. Hampir semua orang pernah mendengar nama Kebo Kicak, tapi belum tentu mereka pernah melihat wajah pendekar itu. Lintang yang merasa penasaran, di siang hari itu, akhirnya terdampar di Padepokan Benteng Naga.

Ketika murid-murid perguruan itu mengerumuninya sambil berebut menyalami, ia mulai bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mereka semua memanggilnya guru, menggiringnya masuk sambil menanyakan kabarnya, sementara ia tidak mengenal satupun di antara mereka.

Pada saat itu ia melihat Arum keluar dari rumah, sosok yang sangat mirip Ibu Laksmi, wanita anggun dan keibuan yang sangat dipuja-pujanya selama ini. Maka ia kemudian menemukan akal untuk berpura-pura hilang ingatan, agar bisa tetap berada di situ.

Ketika Arum Naga mengancamnya dengan pedang, ia tidak peduli, bahkan rela seandainya harus mati di tangan Wanita pujaannya.

***

Setelah beberapa hari berlalu, Arum merasa bahwa lelaki asing itu adalah orang baik. "Gembul!" Begitu ia memanggil lelaki itu, "Pakailah baju ini!" katanya sambil meletakan beberapa helai baju milik suaminya di atas meja, dan langsung melangkah keluar meninggalkan kamar.

"Terima kasih!" jawab Lintang sambil memandang Arum keluar. Ia menempati gudang yang biasa digunakan untuk menyimpan berbagai jenis senjata, yang dirubah menjadi ruang tidur. Lintang melepas semua pakaiannya dan berdiri tertegun di depan cermin, sekilas terbersit rasa berdosa atas semua sandiwaranya itu.

Setelah waktu berselang cukup lama, Arum kembali memasuki kamar Lintang untuk melihat apa pakaian suaminya pas. Alangkah terkejut ia ketika di depan pintu yang terbuka, ia menyaksikan lelaki itu berdiri dalam keadaan telanjang bulat, disusul Lintang yang membalikan badan karena mendengar ada suara orang terkejut. Untuk beberapa saat mereka berdua terpaku.

"Kamu lupa menutup pintu!" kata Arum dengan cepat keluar dari kamar sambil menutup pintu. Darah dalam tubuhnya terasa berdesir aneh, dan jantungnya berpacu cepat. Ia benar-benar seperti melihat tubuh suaminya, bedanya di tubuh lelaki yang agak gemuk itu terdapat banyak bekas luka.

Lintang lalu keluar dari kamar setelah mengenakan pakaian Raden Tulus. Arum yang dari tadi mondar-mandir di depan kamar melihat dengan tercengang. Bayang-bayang tubuh telanjang lelaki itu masih melekat dalam benaknya. "Hm.., agak kekecilan!" komentarnya sambil berusaha membuyarkan bayangan tadi.

"Tidak apa-apa. Pakaian ini bagus. Saya suka sekali. Terima kasih!"

"Hm.., syukurlah!"

"Saya akan olah raga biar pakaian ini nanti pas dengan badan saya!"

"Ha..ha.., bagus!"

Kehadiran Lintang membuat Arum setidaknya bisa bernafas lega, karena beberapa lelaki yang mencoba mendekatinya setelah suaminya menghilang, kini mereka mundur secara teratur. Namun di sisi lain, ia tidak tahu bagaimana harus menghadapi tatapan orang-orang yang keheranan melihat perlakuannya terhadap suaminya yang dianggap janggal. Tidak seperti dulu.

Malam itu Arum berbincang-bincang dengan Lintang. Lebih tepatnya dia mencurahkan segala permasalahan hidup, seperti mengurus padepokan, memberikan perlindungan kepada masyarakat yang tertindas dan butuh bantuan, dan lain sebagainya. Sementara Lintang hanya sebagai pendengar yang baik, hanya melontarkan beberapa kalimat tanggapan yang sekiranya perlu disampaikannya.

Menurut Arum, mendengar beberapa kali tanggapan Lintang, ia menganggap lelaki itu cukup cerdas, hanya lupa tentang masa lalunya. "Gembul, kalau boleh tahu, kenapa di badanmu ada banyak bekas luka?"

Lintang tersenyum getir, "Kata orang tua palsuku, semua ini bukan luka namanya, melainkan tanda cinta!"

"Apa? Kenapa begitu?"

Lintang kemudian menceritakan masa lalunya, yang sempat membuat Arum tanpa sadar meneteskan air mata. Ia berkai-kali harus mengusap matanya dengan punggung tangan.

"Kasihan sekali kamu Gembul, menjadi korban tukang ngibul biadab! Oh iya, kamu bisa ingat masa lalumu, jadi kamu ingat siapa namamu?"

"Panggil saja saya gembul!"

"Ha..ha.., baiklah. Gembul, aku ngantuk, mau tidur dulu!" kata Arum sambil berjalan menuju kamarnya.

"Silakan Guru Putri!" jawab Lintang dan ia pun melangkah pergi ke kamarnya di belakang, dekat Gudang senjata.

Arum belum ingin tidur. Ia merasa gelisah malam itu. 'Kanda, dimanakah engkau!' batinnya dan ada perih yang menusuk dada. Ia kemudian berdiri dan keluar dari kamar sambil menjinjing selimut. Ia berjalan ragu-ragu menuju kamar Lintang.

"Gembul!" panggilnya sambil mengetuk pintu. Terdengar langkah kaki dan kemudian pintu terbuka. "Pakailah selimut ini!" katanya sambil mengulurkan tangan.

Lintang yang hanya mengenakan celana pendek menerima selimut dengan sikap salah tingkah. Ia jelas berusaha mengalihkan pandangan matanya dari Arum.

Arum yang entah tengah dirasuki setan mana, sengaja mengenakan gaun tidur yang tipis. Lekuk tubuhnya jelas tergambar. Ia sempat melirik sesuatu yang jantan menonjol dari celana Lintang. Untungnya ia segera menyadari ketololannya dan secepatnya meninggalkan lelaki yang masih tertegun itu.

Ketika Arum telah kembali ke kamarnya ia mendengar Lintang mengucapkan sesuatu. "Terima kasih banyak Guru Putri!"

"Sama-sama, Gembul!" jawabnya setengah berteriak. Satu hal yang masih melekat dalam benaknya, yaitu ujaran 'luka tanda cinta'.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun