Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (66): Pendekar Gembul

14 September 2024   05:49 Diperbarui: 14 September 2024   06:32 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Tri Handoyo

Adipati Arya Jatmika yang berkedudukan di Kotaraja menerima laporan dari Ki Demang Wiryo mengenai adanya gerombolan pemberontak. Gerombolan yang dimaksud, yang merupakan sisa-sisa pendukung Majapahit itu memang selalu menimbulkan keonaran, yakni suka menghadang pejabat-pejabat kaya yang melintasi wilayah mereka. Di samping itu Ki Demang juga menuduh bahwa gerombolan itu bekerja sama dengan padepokan Benteng Naga.

Sang Adipati tampaknya tidak begitu saja menanggapi laporan itu. Ia lebih percaya laporan tilik sandinya yang mengatakan tentang fakta yang sebaliknya. Faktanya adaah Ki Demang Wiryo itu seorang penguasa daerah yang cenderung memperkaya diri sendiri dan menindas rakyat. Sementara perguruan Benteng Naga yang dituduh sebagai pembela pemberontak justru adalah pembela rakyat kecil.

Sepeninggal Topo Surantanu, Perguruan Macan Abang yang didirikan oleh Ki Demang Wiryo ikut kehilangan ruh dan nyaris bubar. Aliran bela diri yang sebelumnya memang merupakan campuran dari beberapa cabang bela diri itu kini semakin tidak jelas bentuknya. Kedua Pendekar Macan Kumbang, Ki Paimo dan Ki Paidi, sudah tidak dihargai oleh Ki Demang dan oleh sebagaian besar murid Macan Abang.

"Kalian tahu ini apa?" tanya Ki Paimo kepada murid-murid Macan Abang. Ia dan Ki Paidi masih terus berusaha mengangkat reputasi mereka kembali, kendati harus dengan menipu diri sendiri. "Ada yang tahu?" ulangnya bertanya.

"Pisau dapur!" celetuk seorang murid yang sangat berani, dan langsung disambut tawa berderai oleh yang lain.

"Pisau dapur gundulmu!" bentak Ki Paimo garang, "Ini pisau Pancanaka yang sangat terkenal, yang sudah mengantar banyak nyawa pendekar ke kuburan!"

Murid-murid padepokan yang sebagaian besar tahu kekalahan beruntun yang selalu dialami oleh kedua Pendekar Jeliteng itu cekikikan menyembunyikan tawa. Mereka sudah bosan mendengar segala bualan pendekar tua renta itu.

Ki Paimo tak dapat menahan kesabarannya lagi dan ia berpaling ke Ki Paidi, lau dua sosok bayangan hitam berkelebat didahului sinar pisau Pancanaka yang amat menyilaukan mata. Pekik kesakitan segera terdengar susul-menyusul, dan beberapa orang murid roboh oleh pisau yang ampuh, yang mengamuk seperti seekor Macan Kumbang.

Beberapa murid menerima goresan luka di paha yang tidak begitu membahayakan nyawa mereka. Akan tetapi cukup mengeluarkan darah, dan membuat mereka merasa ngeri menyaksikan serangan cepat tadi.

"Siapa lagi yang ingin merasakan keganasan pisau Pancanaka?" sembur kedua Pendekar Jeliteng nyaris berbarengan.

***

Arum Naga menggigit bibirnya dan mengepalkan tinju manakala mengenang peristiwa saat berhadapan dengan Si Iblis Betina. Ia sadar bahwa di luar sana banyak orang-orang yang mungkin tidak terkenal tapi berilmu tinggi. Ia juga penasaran kenapa nenek itu sepertinya tidak senang dengan Mpu Naga dan Perguruan Benteng Naga.

'Mungkinkah ada kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan oleh ayah yang tidak aku ketahui?' batinnya gunda.

Ia memandang ke arah langit-langit kamar, berbaring tanpa bergerak seperti patung. Setidaknya peristiwa itu telah mengajarkan kepada dirinya untuk tidak merasa sudah hebat, melainkan harus terus berlatih demi meningkatkan ilmu silatnya. Tentu saja juga untuk tidak menganggap remeh orang lain, karena ia merasa bisa selamat justru karena pertolongan seorang gadis kecil, gadis ajaib.

Ia belum menceritakan peristiwa memalukan itu kepada orang lain, dan sejak itu ia juga mulai jarang berpergian jauh ke pelosok desa. Tiba-tiba ia mendengar suara keributan di luar, dan tidak lama kemudian ia mendengar Mbok Semi memanggilnya dari luar pintu.

"Guru putri..!"

"Iya, ada apa, Mbok!"

Dengan suara terbata-bata nenek itu menjawab, "Ra.. raden Tu.. Tulus, Guru Putri! Raden Tulus pu..pu..pulang!"

Seandainya ada halilintar menyambar di siang hari, kiranya Arum tak akan sekaget ketika mendengar perkataan pembantunya itu. Ia segera meloncat dari ranjang dan berlari keluar. Benarkah suaminya yang sudah lama menghilang pulang?

Di teras rumah para murid perguruan berkerumun, berebut menyalami orang yang baru muncul itu. "Hidup Pendekar Kebokicak..! Hidup Guru Kebokicak..!"

Arum menatap lelaki yang wajahnya tampak kebingungan itu. Hati kecilnya menyangsikan bahwa itu suaminya, meskipun wajahnya sangat mirip, tapi postur tubuhnya lebih gemuk. Ia masih termenung dan detak jantungnya tidak karu-karuan.

"Maaf Guru Putri Naga," lapor Mahesa, "Sepertinya Guru Tulus agak.., maaf.., beliau seperti mengalami hilang ingatan!"

"Hilang ingatan?"

"Benar. Beliau tidak ingat sama kita. Bahkan beliau sepertinya lupa dengan tempat ini!" jawab Mahesa sambil menuntun gurunya yang baru pulang itu masuk ke dalam rumah.

'Hmm..., kamu bisa menipu semua orang,' batin Arum, 'Tapi jangan harap kamu bisa menipu aku!'

Ketika semua orang akhirnya meninggalkan Arum dan lelaki hilang ingatan itu di ruang tamu, Arum meraih pedang dan meletakkan ujungnya ke leher lelaki itu, "Siapa kamu sebenarnya? Ayo ngaku?"

Lelaki itu hanya menatap Arum dengan pandangan kosong. Wajahnya tidak tampak ada rasa takut sedikit pun, bahkan sikapnya terlampau tenang.

"Kamu pikir kamu bisa membohongi aku!" geram Arum sambil menekan ujung pedangnya.

Lelaki itu hanya menjauhkan lehernya dari ujung pedang yang sangat tajam. Ada luka sedikit tapi itu sudah cukup untuk meneteskan darah.

"Apa kamu bisu?" bentak Arum jengkel.

Lelaki itu menundukan kepala sambil menjawab lirih, "Maaf, aku tidak ingat apa-apa!"

Arum mengayunkan pedangnya ke arah leher, namun lelaki itu tidak berusaha mengelak atau menangkis, hingga pedang itu kemudian diubah arahnya hingga menyerempet tipis di atas kepala, dan membuat beberapa helai rambut melayang putus kena tebas.

Lelaki itu hanya berpaling menatap Arum dengan tatapan mata teduh.

Hal yang anehnya justru membuat Arum semakin ingin marah sekaligus sangat sedih. Sikap dan pandangan mata yang benar-benar mengingatkannya kepada sang suami yang sangat dicintainya. "Apa kamu hantu?"

"Saya bukan hantu!"

"Diam saja kamu di situ!" perintah Arum dan pergi menuju kamar tidurnya. Ia berpikir keras apa yang harus dilakukan dengan lelaki yang mirip suaminya itu.

Ketika sore hari Arum bangun dari tidur dan keluar dari kamar, ia melihat lelaki yang mirip suaminya itu masih duduk di tempatnya dengan sikap tenang. Ia akhirnya merasa kasihan, sehingga kemudian menyuruh Mbok Semi untuk menyajikan makanan untuknya.

Diam-diam Arum terus memperhatikan lelaki itu dari jarak agak jauh. Seandainya suaminya disandingkan dengan lelaki itu pasti orang-orang akan mengira mereka saudara kembar. Gaya bicara dan suaranya pun nyaris sama, hanya lelaki itu tampak lebih gemuk dan lebih mudah, barangkali selisih lima tahun di bawah Tulus.

Di petang harinya, beberapa sahabat datang ke rumah untuk mengunjungi lelaki yang dianggap Kebokicak itu. Mereka senang mendengar kabar kembalinya Kebokicak, meskipun mereka merasa kecewa karena tidak bisa mendengar cerita perjalanannya karena ia mengalami hilang ingatan.

"Alhamdulillah, setidaknya dia masih bisa selamat!" kata Cak Japa, "Semoga bisa secepatnya pulih kembali!"

"Amin!" sahut Arum hampir meyakini bahwa lelaki itu memang suaminya yang hilang. Berulang kali ia mendengar doa dan harapan seperti itu dari orang-orang yang menjenguk.

"Wah Cak Tulus sekarang tampak lebih mudah!"

"Dan jelas lebih gemuk! Jangan sampai nanti malah mendapat julukan Pendekar Gembul!"

Semua orang tertawa mendengar lelucon itu, termasuk lelaki asing yang sedang mereka bicarakan. Ia tampak sangat bahagia.

Tidak demikian dengan Arum. Ia merasa aneh. Setahun lebih suami yang sangat dicintainya menghilang, kini ada orang yang muncul mirip suaminya. Ia tidak tahu harus bersyukur atau bersedih. Tapi ia menyadari bahwa lelaki asing itu sebenarnya tidak bersalah, orang-orang yang menganggap dia adalah Kebo Kicak itulah yang salah. Lelaki asing itu sendiri tidak pernah mengaku bahwa dirinya adalah Kebo Kicak.

Malam harinya Arum tidur dengan pedang di sebelahnya. Lelaki asing itu tidur di ruang tamu, di atas selembar tikar. Ketika tengah malam Arum hendak ke kamar mandi, dengan menjinjing pedang ia mendekati tamu asing itu. Lelaki itu tampak begitu tenang, bahkan tidurnya tampak seperti orang meditasi, napasnya teratur dan sangat lembut, seperti tidurnya bayi.

'Hei pendekar gembul!' panggil Arum dalam hati. Beberapa detik ia mengamati wajah yang memancarkan sebuah ketulusan itu. 'Kenapa kamu tidak mendengkur?'

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun