Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (65): Gadis Ajaib

13 September 2024   07:56 Diperbarui: 13 September 2024   12:59 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Tri Handoyo

Arum Naga benar-benar kagum. Jelas sekali bahwa Roro Ajeng memiliki ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam yang cukup tinggi. Melihat cara dia menyerang, ayunan dan sabetan pedangnya sangat gesit dan tidak boleh dipandang sebelah mata.

Setahun telah berlalu. Setelah menghilangnya Pendekar Kebokicak dan Pendekar Surantanu yang misterius, dan tak ada seorang pun yang tahu mengenai keberadaan mereka, maka posisi puncak dunia persilatan kini diduduki oleh dua orang wanita cantik, yakni Arum yang dijuluki Pendekar Jelita dan Ajeng yang dijuluki Pendekar Bidadari.

Guru Besar Pedepokan Benteng Naga itu memasang kuda-kuda dan siap melayani Ajeng dengan tongkat di tangan kanan. Pada saat tusukan deras tongkat Ajeng mengarah ke dada, Arum cepat-cepat meloncat dengan menggunakan tongkatnya yang berdiri tegak sebagai tumpuan, sementara kedua kakinya mengirim tendangan beruntun.

Ajeng berseru kaget, "Ah..!" Dengan kecepatan kilat ia menjatuhkan diri untuk menghindar.

Kini Arum memiliki kesempatan menusukan tongkat dari atas. Dalam posisi rebah di tanah, kedua tangan Ajeng lalu memutar tongkat, membentengi dada dan perutnya dari serangan.

Pada saat kaki Arum telah menginjak tanah lagi, bagian ujung tongkatnya menggebuk dengan gerakan saling susul. la betul-betul mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk mendesak gadis yang pernah dipuji-puji oleh Tulus itu.

Ajeng berusaha bagun sambil menggerakkan tongkat menangkis secara cepat sekali. Diam-diam ia harus mengakui bahwa wanita belia, putri tunggal Mpu Naga Neraka itu, memang luar biasa.

Kalau dibandingkan, kepandaian Arum itu jelas masih di atas kepandaian Kedua Pendekar Macan Kumbang atau Ki Geni. Bahkan masih lebih unggul sedikit dibandingkan dengan dirinya. Kiranya hanya Kebo Kicak, suaminya sendiri, seseorang yang akan sanggup mengalahkannya.

Kalau tadinya Ajeng melayani serangan sambil tersenyum-senyum, kini berkali-kali dia mengeluarkan seruan kagum. la benar-benar tidak mengerti bagaimana semua jurus andalannya yang biasanya berupa jurus ampuh yang tidak sembarangan dapat dihindari oleh lawan-lawannya, kini dengan mudah dapat dipatahkan oleh Arum Naga.

"Kau hebat sekali!" seru Ajeng memuji. Sekarang dia mengubah strateginya bertempur. Tongkat di tangannya itu kini bergerak secara luar biasa, datang menerjang bertubi-tubi dari depan, atas dan samping laksana hujan badai. Ajeng telah mengeluarkan ilmu silat paling hebat dari semua kepandaiannya, jurus-jurus yang bisa dimainkan dengan tangan kosong mau pun dengan senjata itu dilakukan dengan kecepatan yang amat luar biasa.

Arum Naga pun tercengang menghadapi serangan hebat itu. Ia benar-benar menemukan lawan yang sangat tangguh dan hebat. Terpaksa ia mengerahkan ilmu silat andalannya pula, dan dia tidak sekali-kali berani berlaku sembrono. Cepat-cepat ia mengerahkan tenaga dalamnya dan memainkan andalan ilmu toya Naga Memecah Awan.

Bukan main hebatnya pertempuran itu. Keduanya sama-sama lincah, cepat dan kuat. Makin kagum hati Ajeng, karena ia yakin bahwa Arum pasti sudah mendapat gemblengan dari suaminya. Ratusan jurus telah lewat dan masih saja belum ada yang kalah atau menang di antara mereka.

Roro Ajeng kini benar-benar kelelahan. Dia telah memainkan jurus ilmu silatnya yang dahsyat, namun tetap saja tidak mampu mengalahkan lawannya. Keringat bercucuran membasahi semua pakaiannya. Tiba-tiba ia menghentikan serangan dan melompat mundur, meletakan tongkat dan tersenyum getir. "Rupanya aku sudah kena kamu akali ya? Kamu tentu sudah bisa mengalahkan aku seandainya kamu mau!"

"Ah.., Mbak bisa saja!"

Tepuk tangan dan serangkaian pujian dari murid-murid kedua perguruan silat memenuhi aula. Hubungan antara Benteng Naga dan Jari Suci memang semakin erat sejak mereka menyadari bahwa ada musuh yang sama, yakni Ki Demang Wiryo, yang dulu ingin mengadu domba mereka.

Roro Ajeng tersenyum. "Adik Arum, sahabat baikku. Kau sudah beruntung sekali bisa menjadi suami Pendekar Kebokicak, dan pasti sudah belajar banyak darinya. Ilmu silatmu tadi benar-benar hebat, aku salut!"

Merah wajah Arum menerima pujian itu. "Terima kasih, ilmu silat Mbak Ajeng juga hebat!" Arum balas memuji karena dia pun merasa amat kagum kepada gadis itu.

***

Di sore hari yang cerah. Arum minta ijin kepada Cak Japa dan Asih untuk mengajak Alya. Kedua orang itu sangat prihatin melihat nasib Arum yang kehilangan suaminya, sehingga melihat Arum bisa terhibur ketika bermain bersama putri mereka membuat mereka ikut bahagia. Apalagi gadis kecil berusia empat tahun itu juga sangat menyukai Arum.

"Hati-hati ya..!" kata Cak Japa dan Mbakyu Asih. Mereka tidak merasa khawatir sedikitpun saat melepas Arum dan Alya berangkat, karena Arum merupakan seorang pendekar yang cukup hebat, sehingga ia pasti mampu menjaga putri kecil mereka dengan baik.

Di saat ada waktu senggang, Pendekar Jelita itu memang sering pergi ke desa-desa di mana ia pernah mendengar dari masyarakat bahwa suaminya, pendekar Kebokicak, pernah bertarung melawan Surantanu di tempat tersebut. Kadang ia pergi ke tempat-tempat yang pernah ia kunjungi saat masih bersama suaminya, seperti di Pertirtaan Sumber Beji dan di Sendang Made. Di dalam hatinya masih tertanam kuat harapan akan adanya mukjizat bahwa suaminya masih hidup dan mereka bisa dipertemukan kembali. Bagaimana pun keadaannya. Jika mengingat itu air matanya selalu mengalir.

Sore itu dokar Arum berjalan menembus hutan, menuju Dusun Ngrimbi, di mana terdapat bangunan Candi Arimbi, atau juga disebut Cungkup Pulo. Candi yang merupakan pintu gerbang bagian selatan kerajaan Majapahit itu berada di daerah Bareng, di kaki Gunung Anjasmoro.

Candi yang terbuat dari batu andesit itu merupakan representasi dari Prabu Tribuwana Tungga Dewi, Raja Majapahit yang memerintah pada tahun 1338-1350 Masehi. Prabu Tribuwana Tunggadewi itu terwujud dalam sebuah ukiran arca Purwati yang berada di pusat candi. Candi Arimbi sangat kental dengan nuansa agama Hindu, dengan adanya sejumlah arca yang berada di pelataran candi.

Terdengar suara nyanyian yang disenandungkan oleh seorang wanita dewasa dan diikuti oleh suara anak kecil yang memecah keheningan hutan sore itu. "Gundul-gundul pacul..cul.., gembelengan... nyunggi..nyunggi wakul..kul..gembelengan!"

"Mbak.., Mbak..!" seru Alya ketika ia melihat di kiri jalan yang banyak ditumbuhi bunga-bunga liar, yang sedang bermekaran indah. Sambil menunjuk matanya yang bening menghiasi wajahnya yang berseri-seri.

Arum menghentikan dokarnya dan bertanya, "Alya mau metik bunga?"

"Iya mau!" sahutnya girang.

Mereka kemudian turun dari dokar dan mulai memilih mana bunga yang mau dipetik, karena banyak beraneka ragam bunga yang indah, seolah-olah itu sebuah taman yang dirawat di pekarangan istana. Arum begitu kagum melihat bunga-bunga itu, sehingga asyik memetik sambil terus bernyanyi, dan tiba-tiba Alya menarik ujung baju sambil menempelkan jarinya ke mulut, seolah menyuruh Arum untuk diam.

"Kenapa?" tanya Arum heran.

"Stt.., ada Iblis Betina!"

"Apa? Memang iblis itu apa?" tanya Arum, dan sebelum habis rasa herannya melihat sikap gadis kecil itu tiba-tiba terdengar suara perempuan tertawa.

"Hii...hii...hii...!" Suara tawa itu terdengar nyaring dan panjang, berpindah-pindah dari satu pohon ke pohon lainnya.

Kini suara itu terdengar jelas di atas kepala Arum. Tapi ketika ia melihat ke atas pohon tidak ada seorang pun di sana, dan suara itu pindah di belakangnya. Ia cepat membalikkan badan, tapi tidak tampak ada seorang pun. Ia lalu meloncat cepat ke dokar untuk mengambil pedang, dan ketika kembali ke tempat tadi ia sudah tidak melihat Alya. Tempat yang tadinya berupa taman kini berubah menjadi hamparan semak.

"Alya...! Alya..!" Arum mulai ketakutan, bulu tengkuknya berdiri. Sekarang ia baru percaya bahwa yang dikatakan gadis kecil tadi memang benar. "Celaka...!" keluhnya sambil mencoba berlari ke sana ke mari. 'Kenapa ada iblis muncul di sore hari?' batinnya bertanya-tanya.

"Mbak Arum!" terdengar suara Alya.

"Alya..!" panggil Arum sambil berlari menuju asal suara itu.

Tidak lama kemudian selagi berlari-lari, kembali ia mendengar suara ketawa yang mengerikan itu tidak jauh di depannya.

"Hii..hii..hii..!" Tahu-tahu seorang nenek buruk rupa melayang turun dari pohon dengan memondong Alya, "Anak cantik!" Ia mengelus pipi Alya yang halus kemerahan. "Maukah anak cantik ikut nenek, jadi cucu nenek?"

"Lepaskan dia!" bentak Arum sambil menudingkan pedangnya mengancam. Wajahnya terlihat penuh kekhawatiran. Ia melihat seorang nenek tua dengan sepasang mata liar dan aneh, pakaiannya merah dan mengenakan kerudung merah, sementara tangan kirinya memegang tongkat yang berwarna keemasan.

Arum bertindak hati-hati, melirik ke arah Alya untuk melihat keadaannya. Setelah yakin bahwa anak kecil itu tidak terluka, ia lalu memberi hormat kepada perempuan itu. "Nenek, saya Arum Naga, kita tidak saling mengenal dan karenanya tidak ada permusuhan di antara kita, jadi kenapa nenek mau membawa adik saya?"

Arum bersikap hormat karena melihat dari cara nenek itu tadi turun dari pohon yang tinggi begitu ringan seperti daun kering melayang jatuh, itu sudah menunjukkan bahwa ia tengah berhadapan dengan seseorang yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang sungguh luar biasa.

Ia dulu pernah mendengar nenek siluman yang bernama Nini Jaelangnak yang memiliki ciri-ciri seperti sosok wanita yang dihadapainya itu. Akan tetapi kabarnya nenek jahat itu sudah lama meninggal di tangan Topo Surantanu.

Nenek itu tersenyum sinis dan memandang tak acuh. Ia kemudian kembali membujuk Alya. "Anak cantik mau ikut nenek?"

Arum merasa jengkel hatinya melihat nenek aneh itu yang sama sekali tidak mempedulikannya, dengan sikap yang jelas-jelas memandang remeh. Maka ia kembali berkata dengan hormat, "Nenek, saya Arum Naga dari Perguruan Benteng Naga tak pernah punya permusuhan dengan anda!" Arum sengaja menyebut nama Benteng Naga agar perempuan ini tidak lagi memandang rendah kepadanya dan mau bersikap sebagaimana layaknya orang yang tahu adat timur. "Mohon jangan ganggu kami!"

"Naga Neraka telah tewas, dan dia rupanya tidak becus mengajari anaknya!" Nenek itu bicara seperti kepada dirinya sendiri.

Akan tetapi itu cukup membuat Arum terbakar amarahnya. Mpu Naga Neraka adalah pendekar yang amat dihormati di kalangan dunia persilatan. Sementara nenek itu menyebut namanya begitu saja dan dengan nada menghina.

"Alya, mari sini!" Ia menyuruh gadis kecil itu mendekatinya supaya lebih mudah melindungi kalau sampai terjadi pertempuran.

"Hii.. hii.. hii.. Padepokan Benteng Naga itu ada apanya?" ejek perempuan tua itu sinis.

Arum sudah berusaha bersabar, tapi ketika orang tua dan nama perguruannya dihina seperti itu, pasti ia tak akan tinggal diam. Ia lalu berseru. "Orang tua renta congkak, bersiaplah kamu menghadapi pedangku!" Sebagai seorang pendekar yang gagah tentu saja ia masih menahan untuk tidak mendahului menyerang. Apalagi musuhnya seorang nenek.

Akan tetapi nenek itu menjawab sinis. "Pedangmu yang jelek dan ilmu silat Benteng Naga yang rendah tidak ada artinya buatku?"

"Baiklah nenek tua, kalau begitu terimalah ini!" Arum melompat dan memutar pedangnya dengan cepat sampai merupakan sinar yang berkilauan menyambar ke arah nenek itu.

"Hii..hii..hii..!" Si Iblis Betina itu dengan mudahnya menghindari gempuran pedang Arum.

Gerakan-gerakan Arum sangat mahir, cepat sekali dan sudah sempurna. Melihat bahwa serangan pertamanya tak berhasil, ia cepat sekali merubah gerakannya. Kini pedangnya meluncur cepat sekali menusuk ke arah ulu hati sang lawan. Akan tetapi sebelum ujung pedang itu menyentuh, tiba-tiba tongkat emas menyambar pedang.

Criiing! Semacam kekuatan ajaib menghantam pedang di tangan Arum. Tapi ia masih mempertahankan pedangnya, meskipun tangannya bergetar hebat. Tubuhnya terpental mundur dua jengkal. Ujung pedangnya ternyata patah.

Arum sadar bahwa ia sedang berhadapan dengan orang yang sakti luar biasa, tahu bahwa ia mungkin tak akan mampu melawan, maka ia menerima apa pun yang akan terjadi.

"Hii.. hii..! Sekarang terimalah seranganku!" Nenek itu meloncat maju dan hendak menyabetkan tongkatnya.

"Nenek, jangan sakiti Mbak Arum!" mendadak Alya berlari dan menarik lengan pakaian nenek itu.

Nenek yang dijuluki Iblis Betina itu lalu tersenyum, menampakan deretan gigi yang kemerahan.

"Jangan sakiti Mbak Arum, atau aku gak mau main sama kamu! Pergilah kamu sana!"

Ucapan mengancam itu agaknya cukup berpengaruh, terbukti nenek itu menurunkan tongkatnya. Sejenak ia tertegun. Apa yang keluar dari mulut gadis kecil itu adalah kata-kata baru baginya, kata-kata yang tidak biasa ia dengar. Biasanya setiap orang tidak ada yang berani bersikap kasar kepadanya. Tapi gadis kecil itu bahkan berani mengusirnya. Hal ini membuat hatinya kagum, dan ia tertawa lagi. "Hii..hii..! Sampai ketemu lagi anak manis!" Kemudian tubuh Iblis Betina itu lenyap dari tempatnya berdiri. Sepertinya ia memiliki ilmu menghilang.

Kini Arum terkesima. Ia memandang kagum kepada Alya. Gadis kecil itu seolah memiliki kekuatan ajaib yang membuat Si Iblis Betina yang sangat sakti itu bersedia mengikuti perintahnya. 'Siapakah kamu sesungguhnya wahai gadis ajaib?'

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun