Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (64): Kalah Jadi Abu, Menang Jadi Arang

12 September 2024   07:19 Diperbarui: 12 September 2024   07:21 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

Ketika barisan pasukan Ki Demang sampai di ujung jalan, mereka merasa terkejut karena di depan Padepokan Benteng Naga telah berjajar banyak orang. Jumlah mereka sekitar seratus lima puluh orang. Mereka yang tidak memakai seragam Benteng Naga mengikatkan kain hijau di kepala, dan mereka semua memegang berbagai macam senjata.

Ki Demang dan barisannya yang didominasi warna merah berhenti sekitar lima belas meter di depan pasukan hijau. Tampak Ki Demang didampingi pendekar-pendekar kawakan seperti Pendekar Celurit Setan, Kedua Pendekar Jeliteng, dan Ki Geni serta Ki Gong. Jumlah mereka sekitar dua ratus orang termasuk empat  puluh orang prajurit bantuan Tumenggung Legowo.

"Silakan maju!" tantang Arum Naga. Ia berdiri di depan barisan, didampingi Roro Ajeng dan Ki Unggul Weling. Nyonya muda itu memegang pedang pusaka yang selama ini belum pernah terpakai. Pedang istimewa salah satu pusaka kesayangan Mpu Naga itu terbuat dari baja hitam yang bentuknya seperti keris berukiran Naga dan gagangnya terbuat dari kayu Setigi hitam.

Seorang laki-laki berbadan besar dan kekar melompat maju dari barisan Ki Demang. Ia adalah Ki Gong, ketua murid Macan Abang. Lelaki sok jagoan itu mendemonstrasikan kehebatannya, dengan membacokkan goloknya di perut dan lengan sendiri, rupanya ingin memamerkan bahwa ia juga memiliki ilmu kebal.

Melihat sikap Ki Gong, Arum dan Ajeng saling berpandangan dan merasa geli. Mereka anggap itu adalah sikap kekanak-kanakan, akan tetapi melihat gerakan melompatnya beberapa kali, tampaknya dia memang memiliki kepandaian yang lumayan.

"Biar saya yang melawannya!" kata Ajeng dan langsung maju dengan menudingkan pedang ke muka Ki Gong. "Sebelum mampus, aku ingin kau mencabut hinaan dan fitnah kejimu itu!"

Ki Gong hanya tertawa terkekeh-kekeh, dan sebelum dia sempat menutup mulut, tiba-tiba Ajeng menerjang secepat kilat dan menusukan pedangnya ke mulut lelaki itu hingga tembus ke tengkuk. Ia kemudian meloncat sambil memutar tubuhnya di udara dan turun dalam keadaan berdiri di belakang tubuh Ki Gong. Setelah ia mencabut pedangnya, tubuh yang besar itu roboh ke tanah dengan menimbulkan suara keras. Melihat Ki Gong masih bergulat dengan maut dengan mulut robek, gadis itu tidak tega dan kemudian menancapkan pedangnya tepat di jantung, untuk mempercepat jalan kematiannya.

Semua yang menyaksikan kejadian itu terkejut bukan main. Wajah Ki Demang tampak pucat dan orang-orang di belakangnya terbelalak tak percaya. Ki Gong yang bagi mereka adalah murid terbaik Macan Abang tewas dengan begitu mudah.

Sementara itu di barisan hijau terdengar sorak penuh semangat menyambut kemenangan Ajeng. Mereka kagum sekali melihat sikap gadis yang amat tenang itu.

Tiba-tiba suara keras yang mengandung energi tinggi terdengar menggema memenuhi lokasi itu. "Aku datang!" Ketika semua terheran-heran dan mencari-cari siapa orang yang mengatakan itu, tiba-tiba berkelebat sosok lelaki seolah-olah baru turun dari langit dan berdiri di samping Arum. Ternyata dia adalah Cak Japa.

"Maaf, saya datang terlambat!" ucap Cak Japa dengan suara yang sengaja dikeraskan.

"Terima kasih atas kehadirannya, Cak Japa!" sahut Arum sambil membungkukkan punggung memberi hormat.

Kedua Pendekar Jeliteng Macan Kumbang merasa gentar melihat munculnya Cak Japa. Apalagi Ki Geni. Mereka sudah pernah merasakan kehebatan pendekar sederhana itu. Sehingga akhirnya Pendekar Celurit Setan yang bersedia maju.

"Mohon ijin untuk menghadapi setan itu!" kata Arum kepada para seniornya.

"Baik silakan Guru Arum!" jawab mereka orang serentak.

Dengan tenang Arum melangkah maju. Mukanya berkulit putih halus, berbentuk oval dengan sepasang alis hitam melengkung panjang, menghiasi sepasang mata yang bening namun tajam berapi-api. Biar pun kedua matanya membayangkan keberanian dan pengaruh besar, namun wajahnya yang anggun tetap menggambarkan kelembutan hati.

Si Celurit Setan tidak mau membuang banyak waktu. Ketika dia melihat Arum Naga maju, dia cepat menggerakkan kaki, melompat sambil memutar tubuh disertai menyabetkan celurit. Itu adalah cara mengoptimalkan seluruh kekuatan sabetannya ke arah leher lawan. Terdengar suara keras ketika celurit itu tertangkis pedang, dan yang membuat Pendekar Celurit Setan tercengang, celurit pusakanya bergetar hebat.

Arum memasang kuda-kuda dan siap menanti serangan musuh dengan pedang menyilang di depan dada. Kali ini Celurit Setan meloncat tinggi dan salto di udara beberapa kali sebelum membacokkan celurit ke arah kepala. Melihat bacokan yang deras, Arum cepat-cepat menggerakkan pedang menangkis dari bawah ke atas, dan kakinya melayang ke depan mengirim tendangan.

Celurit Setan menangkis tendangan itu dengan tangan kirinya sambil melengu kaget, "Ah..!" Karena ia merasa betapa telapak tangannya terasa sakit. Kini serangan berikutnya datang dengan tusukan pedang dan disusul tendangan pula. Dengan kecepatan kilat Celurit Setan berkelit dari tusukan pedang sambil membentengi kepalanya dari tendangan kaki Arum.

Dalam waktu singkat, sambil melayang di udara Celurit Setan menyabetkan senjatanya mengarah ke kepala lawan. la betul-betul mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk mendesak wanita yang kecantikannya pernah dipuji-puji oleh masyarakat luas itu. Arum tidak mau kalah. Pada saat itu kedua kakinya telah meninggalkan tanah dan dengan gerakan berputar pedangnya menangkis serangan.

Malang bagi Celurit Setan, senjatanya patah. Ia harus mengakui bahwa wanita belia putri tunggal Mpu Naga Neraka itu benar-benar luar biasa. Kini ia harus mencoba untuk menghindar ketika pedang Arum menyambar dengan cepat, namun terlambat. Dengan berteriak kencang gadis itu berhasil membabatkan pedangnya ke arah leher, tapi matanya sengaja dipejamkan. Pedang itu meleset di atas leher setelah tertangkis separuh celurit yang bagian ujungnya patahitu. Robohlah Pendekar Celurit Setan dengan sebagian kepala terpisah dari tubuhnya.

Suara gegap gempita kembali terdengar dari kubu Benteng Naga. Suasana yang tadi begitu mencekam sekarang berubah menjadi riuh seperti pasar. "Hidup Guru Arum Naga! Hidup Guru Arum Naga!"

Ki Unggul Weling menghela napas panjang. "Kita harus mengakui dengan jujur bahwa kita sudah tua dan sangat ketinggalan jaman!" ujarnya ditujukan kepada para anak buahnya, "Selama hidup aku belum pernah melihat gadis-gadis yang demikian luar biasa!"

"Wah, ini baru Mbak Ajeng dan Mbak Arum yang maju!" seru Cak Japa seakan-akan ditujukan ke barisan Ki Demang.

"Iya, giliran kami kapan?" seloroh Ki Unggul. Ia dan teman-temannya adalah patriot-patriot sejati yang gagah, yang selama ini siap mengorbankan nyawa untuk membela tanah air. Patriotisme adalah sesuatu yang sangat mereka junjung tinggi.

Cak Japa berbicara lantang, "Dalam setiap pertempuran, kalah jadi abu, menang jadi arang. Pikirkanlah sebelum ini diteruskan!"

Ki Demang dan pasukannya diam membisu. Nyali mereka telah runtuh di titik terendah. Apabila mereka memaksakan diri untuk terus maju itu sama halnya dengan bunuh diri, dan mereka memang orang-orang pengecut, yang akhirnya memilih mundur teratur. Apalagi mereka juga mendengar bahwa Surantanu, pendekar andalan mereka, sekarang dalam pelarian dikejar-kejar Pendekar Kebokicak.

***

Surantanu melihat ada arak-arakan pengantin. Orang-orang kampung sedang merayakan pesta perkawinan 'Ngundu Mantu' antara seorang pemuda bernama Joko Tamping dan seorang gadis bernama Siti Wulanjar. Surantanu lalu menyusup ke dalam rombongan pengantin perempuan.

Kebokicak datang dan juga menyelinap di belakang rombongan. Ia diam-diam memberitahu sekitarnya bahwa di dalam rombongan itu ada penjahat bernama Surontanu. Karena curiga keberadaannya sudah diketahui, Surantanu kemudian nekad menyandera Joko Tamping. Suasana menjadi ricuh. Joko Tamping yang memang memiliki kepandaian bela diri berusaha melawan. Akan tetapi pemuda itu bukan lawan yang berarti bagi Surantanu, dengan sekali hentakan keras tubuh Joko Tamping dibenturkan ke pohon Maja, dan lantas tergeletak tak bernyawa. Siti Wulanjar menjerit-jerit sambil bersimpuh di depan jasad calon suaminya. Semua orang menjadi panik.

Kebokicak tertegun dan sesaat tak kuasa bertindak. Ia membiarkan Surontanu yang kabur ke arah selatan. Lokasi itu kelak dinamakan Desa Tamping Mojo.

Kebokicak ikut membantu proses pemakaman pemuda malang itu. Ia kemudian juga mengantar rombongan pengantin perempuan, Siti Wulanjar, ke kampung halamannya. Kampung si pengantin perempuan itu di kemudian hari disebut Desa Ngrawan.

Hari telah beranjak petang. Kebokicak mencari tempat untuk menunaikan shalat. Pikirannya masih diliputi keprihatinan atas kejadian sepasang pengantin yang gagal menikah secara tragis. Lama ia berdiam diri di tempat itu dalam keadaan melamun. Pandangan matanya menatap kosong jalanan yang sepi. Kelak lokasi itu dinamakan Desa Nglungu, yang berarti melamun.

Keesokan harinya Kebokicak kembali melakukan pengejaran. Ia akan menuju Rawa Perning di mana Surantanu bersembunyi. Sementara itu Surontanu sedang berkelahi dengan siluman Celeng Kecek yang mencoba merebut Naga Tracak Kencana. Surontanu berhasil menaklukan dan kemudian membunuh Celeng Kecek.

Kebokicak datang dan mencoba menolong Celeng Kecek yang dianggap berada di pihaknya. Surontanu secepatnya berlari meninggalkan tempat itu. Celeng Kecek menghembuskan nafas terakhir, dan jenazahnya kemudian dipanggul Kebokicak, dibawa ke pinggir Kali Brantas untuk dikuburkan. Wilayah itu di kemudian hari dinamakan Tenggulukan, yang berasal dari kata 'Ditengguluk' yang artinya 'Dipanggul'.

Ketika Surantanu menginjakan kaki di ladang ilalang, Kebokicak dengan cepat menyusul dan berhasil menghadang. Kini mereka sama-sama menggunakan tangan kosong, berkelahi mengadu kesaktian dengan hebat. Bersamaan saat itu angin topan sedang melanda.

Mereka sempat memandang ke arah langit, mendung hitam bergumpal-gumpal seperti gelombang laut yang marah. Angin bertiup makin kencang dan menumbangkan serta menerbangkan pepohonan hingga membumbung ke angkasa. Kedua pendekar itu memasang kuda-kuda demikian kokohnya, sehingga mampu bertahan dari hempasan badai topan. Suasana menjadi gelap karena udara dipenuhi debu pasir. Bumi bergetar seperti ada gempa, seolah-olah dunia akan kiamat. Tempat itu kelak dinamakan Desa Petengan.

Ketika badai itu akhirnya berlalu, Kebokicak baru menyadari bahwa lawannya sudah menghilang. Ia pun melanjutkan pengejaran. Ketika lewat di sebuah jalan yang dilalui Surantanu, Kebokicak dihadang oleh seorang lelaki besar bersenjata kapak raksasa.

"Aku Banteng Bungur!" seru lelaki itu dengan suara berat. "Aku dimintai tolong oleh temanku Surontanu untuk menghadangmu!"

"Saya Kebokicak! Berapa kamu dibayar olehnya?"

Lelaki bersenjata kapak besar itu tampak kaget dan wajahnya berubah pucat. Ia kemudian minggir dan mempersilakan Kebokicak lewat. "Mohon maafkan saya Raden Kebokicak! Saya yang buta tak melihat gunung di depan mata!"

Nama Kebokicak memang telah menjadi buah bibir di mana-mana. Baru namanya saja sudah cukup hebat untuk membuat penjahat-penjahat segera mengambil langkah seribu, dan jangan sampai berurusan dengan pendekar yang sangat sakti mandraguna itu.

Surantanu yang kehabisan akal akhirnya berlaku nekat, dia berlari masuk ke dalam hutan yang penuh dengan rawa-rawa berbahaya. Mendadak, ketika melintasi sebuah batang dahan yang tertutup lumut, Kebokicak mendadak muncul menghadang di depan. Pertatungan di atas sebatang dahan tak terelakkan.

Ketika akhirnya Surantanu terpeleset dan jatuh ke lumpur, ia memekik keras. Tubuhnya amblas sampai ke pinggang. Ternyata dia berada di rawa berlumpur yang menghisap tubuhnya dengan sangat kuat. Dia meronta-ronta, namun gerakannya itu justru membuat tubuhnya tenggelam makin dalam, sampai sebatas leher.

Betapa pun kejam dan ganasnya Surantanu, saat menghadapi maut yang mencengkeramnya perlahan-lahan itu, timbullah perasaan takutnya. "Tolong..!" jeritnya mengibah.

Kebokicak datang mendekat tak ubahnya seekor capung yang begitu ringan, melayang di atas kepala lawannya. Apabila tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, pasti sulit untuk mempercayai kejadian itu.

"Topo, insyaflah dan berjanjilah untuk berubah menjadi manusia baik-baik sesuai dengan darah keluargamu!" kata Tulus. Akan tetapi, hal ini benar-benar merupakan pengobatan yang sudah amat terlambat bagi penyakit hati yang kronis.

"Tolong.., Cak Tulus..!" suara Topo memelas. "Tidak ingatkah kamu ketika masih ada ibu? Ketika kita berkelahi ibu lalu bilang tidak akan mengakui kita sebagai anak-anaknya!" Air matanya mengalir membasahi pipi. Tubuhnya telah tenggelam seluruhnya tinggal kepala. "Ibu, maafkan anakmu ini!"

Tidak terasa dua titik air bening jatuh dari kedua mata Tulus. Ia lalu meraih tangan Topo, dan berusaha mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk mengangkat. Tapi karena tidak ada pijakan maka ia tidak bisa memaksimalkan tenaganya yang memang sudah banyak terkuras. Sudah beberapa hari ia tidak makan. Upayanya tampaknya akan sia-sia. Topo kemudian menjulurkan kedua tangannya untuk berpegangan pada leher Tulus. Tiba-tiba kedua tangan itu menarik sekuat tenaga. Serangan yang sama sekali tak terduga itu membuat Tulus ikut terperosok ke dalam lumpur dan Topo menariknya semakin dalam. Ia ingin menjadikan tubuh Tulus sebagai pijakan untuk mengangkat tubuhnya sendiri keluar dari perangkap lumpur penghisap, tapi kubangan itu sangat dalam sehingga kedua tubuh pendekar itu akhirnya semakin tenggelam.

Tamatlah riwayat pertarungan dasyat Raden Tulus Pangestu Si Pendekar Kebokicak dan Topo Surantanu Si Begawan Dunia Kegelapan. Kalah jadi abu, menang jadi arang. Salah satu peninggalan bersejarah dari kisah itu dan menjadi ikon Jombang adalah Ringin Contong, sebagai salah satu tempat persinggahan Kebokicak dalam masa pengejarannya terhadap Surontanu.

Sampai sekarang nama Jombang tidak terlepas dari kisah itu, dan Pendekar Kebokicak, adaah tokoh utama pembela kebenaran yang senantiasa diabadikan dalam catatan emas memori masyarakat Jombang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun