Kebokicak sampai di Desa Karang Kejambon, yang merupakan kampung halamannya. Ia kemudian singgah di rumah nenek tirinya, Mbah Pranggan, yang dulu menampung ibunya saat sedang hamil. Melalui nenek itu ia berpesan agar atap rumah warga dipasangi 'Welit' atau daduk tebu.
***
Berita tentang pertarungan Kebokicak melawan Surantanu membuat geger masyarakat. Apalagi tersiar pula kabar bahwa Ki Demang sedang mempersiapkan pasukan untuk menyerang Padepokan Benteng Naga. Murid-murid Benteng Naga tentu tidak tinggal diam. Mereka pun mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk mengantisipasi serangan itu.
"Macan Abang akan menyerbu Benteng Ijo!" Begitu rumor yang beredar luas di tengah Masyarakat.
"Pasukan ijo akan perang melawan pasukan abang!" seru yang lain memberitakan, yang membuat banyak orang memilih untuk tidak keluar rumah pada hari itu.
"Kebajikan akan perang menghadapi kemungkaran!" cetus yang lain sambil memanjatkan doa untuk kemenangan pihak yang benar. "Becik ketitik, ala ketara. Yang baik dan yang buruk tampak jelas!"
Sekitar seratus lebih murid-murid Benteng Naga berkumpul di pelataran padepokan. Meskipun separuhnya adalah anak-anak yang masih usia remaja, tapi semangat mereka luar biasa. Putri Arum Naga dengan gagah berdiri di depan mereka semua, memberikan motivasi yang barangkali itu untuk yang terkahir kalinya.
Tiba-tiba di pintu gerbang tampak belasan orang memasuki pelataran. Mereka adalah Roro Ajeng dan beberapa orang murid terbaiknya, menyatakan akan berdiri di pihak Benteng Naga. Ajeng menganggap Ki Demang dan orang-orangnya adalah musuh yang harus diberantas.
Tidak berselang lama, muncul pula sekitar dua puluh orang berkuda. Mereka rata-rata berusia sekitar lima puluh tahun lebih, tapi masih tampak gagah perkasa, dan di punggung mereka tersembul pedang.
"Hidup Benteng Naga!" teriak Ki Unggul Weling yang memimpin rombongan Laskar Rimba. Dari atas kudanya dia memberi hormat kepada Arum dan diikuti semua anak buahnya.
Arum Naga kemudian menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada rombongan Roro Ajeng dan rombongan Ki Unggul Weling. Ia kemudian membacakan tulisan Ki Kelabang Karang,