Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (63): Jiwa-Jiwa Petarung

11 September 2024   04:57 Diperbarui: 11 September 2024   05:00 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Kebokicak dan Surantanu tahu bahwa ada orang-orang yang sedang mengintai dan menonton pertempuran mereka, akan tetapi oleh karena kedua orang yang bertempur ini menghadapi lawan yang berat, mereka tidak berani memecah perhatian, yang itu berarti akan memperlemah pertahanan mereka sendiri. Mereka hanya tahu bahwa ada orang-orang sakti yang tengah menyaksikan.

Tidak terasa saat itu sudah mendekati tengah malam. Tenaga yang terkuras hebat membuat pertarungan mereka mulai melambat. Ada tiga orang muncul untuk melerai pertempuran itu.

"Wahai Tuan Kebokicak dan Tuan Surantanu!" seru salah seorang dari mereka, "Berhentilah berkelahi, tolong hormati Dewi Bulan!"

Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Surantanu untuk kembali kabur. Ia berlari menuju sebuah perkampungan. Untuk sementara Kebokicak membiarkannya, karena khawatir jika musuhnya itu akan merusak rumah-rumah warga, dan apabila sampai terjadi pertarungan pasti akan berbahaya bagi keselamatan warga.

Suasana kampung itu sangat hening. Tampak rerimbunan bambu mengelilingi rumah-rumah, dan ada sebuah mata air yang airnya mengalir deras dan menimbulkan suara seperti alat Peking. Kelak tempat itu dikenal dengan nama Sumber Peking.

Surontanu rupanya bermalam di sebuah rumah warga yang ternyata seorang janda. Ia mengikat dan menyumpal mulut perempuan itu dengan kain. Setelah menghabiskan makanan, ia istirahat sambil mengamati Mustika Naga Kencana yang sangat indah.

Kebokicak memilih untuk istirahat tidak jauh dari kampung itu. Kini perutnya mulai terasa sangat lapar. Ia kemudian bermeditasi di sebuah gubuk di pinggir persawahan hingga ketiduran.

Ketika terbangun keesokan harinya, Kebokicak melihat sinar mentari sudah menyembul di ufuk timur. Ia mendatangi sebuah rumah untuk menumpang shalat Subuh. Ia tahu Surontanu telah pergi meninggalkan kampung itu di kala fajar menyingsing.

Surontanu lari ke arah utara. Ia berniat sembunyi di sebuah gubuk beratap jerami, dan tidak jauh dari situ ada kolam tempat berkubangnya kerbau. Pagi itu belum ada seoran pun penggembala. Kebokicak muncul dan menggempur tempat persembunyian Surantanu, maka kembali terjadi pertarungan sengit. Surantanu bertanya-tanya heran dalam hati, bagaimana Kebokicak selalu bisa mengetahui tempat persembunyiannya.

Kedua pendekar itu berkelahi dengan hebat hingga tercebur di kolam, dengan mengerahkan segala kesaktian mereka hingga air kolam menjadi seperti gelombang lautan. Tempat sekitarnya menjadi acak-acakan. Dari pertemuan energi itu tiba-tiba ada cahaya hijau dan merah muncul dari kolam, melesat ke langit dan menebarkan cahaya yang terang benderang. Saat itu datang para penggembala menggiring kerbau-kerbau menuju ke arah mereka. Surantanu meloncat keluar kolam dan menyerang beberapa kerbau sebelum akhirnya berlari ke arah timur. Lokasi itu di kemudian hari dikenal dengan Desa Jombang, berasal dari cahaya ijo dan abang yang melesat ke udara yang disaksikan oleh masyarakat.

Dengan mengikuti Naga Tracak Kencana, Kebokicak memasuki sebuah kampung. Ia melihat seorang perempuan tua yang sedang menyapu halaman rumah. Kebokicak menghampirinya dan menanyakan adakah seorang lelaki berbaju merah lewat tempat itu. Perempuan tua itu lalu menunjuk arah ke mana lelaki itu berlari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun