Kebokicak tiba di tempat itu dan melihat semak belukar yang dikelilingi pohon Maja. Suasana saat itu cukup remang-remang. Dari kejauhan pohon Maja yang berjumlah sembilan itu tampak hitam. Surantanu mengatur nafas dan memberi kesempatan tulang-tulangnya untuk kembali menyatu. Ia mendengar langkah kaki, lalu mengintip dari cela-cela ranting dan melihat Kebokicak yang sedang berjalan ke arah tempat persembunyiannya.
"Surantanu, menyerahlah!" teriak Kebokicak. Ia meyakini bahwa adik tirinya itu pasti sudah cukup menderita. Dengan mengendap-endap ia mencoba membongkar tumpukan ranting-ranting.
Tiba-tiba berkelebat sosok menerobos keluar sambil mengirim tusukan yang sangat cepat. Kebokicak meloncat ke atas dan menukik ke bawah dengan tusukan balasan. Surantanu yang kini memegang batang kayu memutar menangkis. Pertarungan sengitpun kembali berlangsung.
Kebokicak menjadi sangat terkejut ketika melihat Surantanu kini tampak pulih dari luka-lukanya dan bahkan mampu kembali menyerang dengan dasyat. Di dalam situasi yang gelap itu, pertarungan kedua pendekar itu lebih banyak mengandalkan pendengaran.
Setelah luka-lukanya kembali sembuh, dan di dalam keadaan gelap, tampaknya Surantanu mampu mengimbangi Kebokicak. Serangan-serangannya jauh lebih berbahaya daripada saat mereka bertempur di waktu siang tadi. Akan tetapi, Kebokicak bukanlah pendekar besar kalau gentar menghadapi bahaya semacam itu. Dengan gerakan gesit, mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi, ia menghindar dari serangan-serangan itu dan membalas dengan tak kalah hebatnya.
Setelah puluhan jurus berlangsung, akhirnya Kebokicak mampu menembus pertahanan Surantanu. Pukulan tongkat sapu itu mematahkan tongkat Surantanu dan terus meluncur mengenai kepala. Terdengar suara keras seperti sesuatu benda yang pecah. Kemudian disusul tendangan Kebokicak yang mendarat di dada sehingga membuat tubuh Surantanu terlempar ke belakang sejauh sepuluh meter lebih.
Jika tendangan itu mengenai orang biasa tentu ia tidak akan bisa bangun lagi untuk selamanya. Namun Surantanu tampak masih bisa merangkak, mencoba bangkit, dan kemudian berlari cepat meninggalkan tempat itu. Lokasi itu di kemudian hari dikenal dengan nama Mojosongo, pohon Maja yang berjumlah sembilan.
Kebokicak tidak membiarkan lawannya bebas begitu saja, maka ia pun mengejar dengan cepat. Mereka kemudian sampai di Gunung Tunggorono, dan pertarungan kembali pecah. Sudah menjadi kewajaran apabila ahli-ahli silat menjadikan puncak-puncak gunung atau hutan-hutan yang sunyi sebagai tempat favorit mereka. Ilmu silat yang tinggi memang tidak terpisahkan dari ilmu kebatinan, oleh karena itulah, hanya para pertapa dan orang-orang suci yang biasanya sanggup menguasai ilmu kesaktian yang luar biasa.
Seperti juga gunung-gunung lainnya, di Gunung Tunggorono juga menjadi tempat keramat para pertapa. Di puncaknya ada beberapa orang yang mempunyai kepandaian tinggi bersemayam. Mereka kini mengintip dua pendekar yang sedang bertempur mati-matian itu, dan mereka benar-benar dibuat kagum.
"Menyerahlah Surantanu!" teriak Kebokicak sambil mengirim pukulan tongkat.
"Hei Kebokicak, Surantanu lebih baik mati daripada menyerah!" jawab Surantanu lantang. Ia sibuk menangkis dengan tongkat batang kayu yang patah jadi dua.