Oleh: Tri Handoyo
Tulus mengajak Arum jalan-jalan. "Sepertinya sudah lama kita tidak pergi jalan-jalan! Bagaimana kalau sekarang kita pergi?"
"Baik, aku akan menyiapkan bekal dulu, Kanda!" seru Arum dengan nada ceria. "Ke mana?"
Sebetulnya Tulus mau mengambil kitab pusaka pemberian Mbah Kucing yang ia simpan di suatu tempat di puncak Bukit Lintah. Namun tujuan yang terpenting adalah ingin menyenangkan hati istrinya. Senyum Arum adalah surga baginya. "Dinda ingin ke mana?"
"Aku sih terserah Kanda!"
Saat itu Mbok Semi muncul di depan kamar, memberitahu Tulus bahwa ada seorang murid yang minta ijin untuk bertemu. Tulus lalu keluar menuju ruang tamu.
"Mohon maaf, Guru. Saya menerima titipan surat untuk diberikan kepada Guru!" kata murid yang bernama Saidi, lalu dengan hati-hati mengulurkan surat dengan kedua tangannya.
"Surat dari siapa?"
"Maaf, saya tidak mengenalnya, tapi dia seorang perempuan!"
"Baik, terima kasih!" Setelah menerima surat, dengan penasaran Tulus langsung membukanya.
'Selamat pagi dan salam hangat, Cak Tulus.
Sebelumnya aku mohon maaf karena telah lancang menulis surat ini, tapi aku merasa wajib untuk menyampaikannya. Aku mengetahui rahasia bahwa yang membunuh ayahku dan Cak Woto adalah adikmu, Topo Surantanu.Â
Tolong jika ada waktu temui aku nanti setelah Dhuhur di warung ayam bakar depan Langgar, aku akan beberkan bukti-bukti semua kejahatan Topo, khususnya yang ia lakukan kepada keluargaku.
Terima kasih dan salam hangat.
Dari Roro Ajeng.'
Arum muncul di ruang tamu dengan menenteng dua kantung bekal pakaian dan makanan. Ia menangkap ada sesuatu yang janggal dari sikap suaminya. "Ada apa, Kanda?"
"Hm.., Dinda, bagaimana kalau kita pergi besok saja?"
Arum semakin yakin ada sesuatu dengan suaminya. "Kenapa?"
Tidak ada pilihan lain, Tulus selama ini memang selalu jujur dan terbuka kepada istrinya, orang yang paling dicintainya di dunia. Ia lalu menunjukan surat itu.
Setelah membaca, Arum malah memberi saran, "Kanda temui saja Mbak Ajeng! Kasihan dia! Aku tidak apa-apa kok!"
"Terima kasih, Dinda!" jawab Tulus sambil mencium dahi istrinya.
Sebelum shalat Dhuhur, Tulus lebih dulu pergi ke warung di seberang jalan untuk memesan tempat. Tapi pemilik warung mengatakan bahwa kebetulan siang itu semua tempat telah dipesan oleh Perguruan Macan Abang.
"Sudah dipesan semua?"
"Iya benar. Mohon maaf, Raden!" ucap pemilik warung.
"Ada acara apa mereka, Paman?" tanya Tulus merasa penasaran.
"Maaf saya kurang tahu pasti, Den. Mereka sudah pesan sejak dua hari yang lalu!"
"Baik.., tolong nanti kalau ada Roro Ajeng, saya tunggu di langgar. Terima kasih, Paman!" Tulus segera menuju langgar.
***
Roro Ajeng berulang kali membaca surat yang baru ia terima, yang dikirim oleh seorang berseragam murid Perguruan Benteng Naga. Seakan ia tidak percaya bahwa Tulus menulis surat untuknya,
'Salam hangat Dik Ajeng
Dik, kalau ada waktu nanti sehabis Dhuhur aku ingin ketemu. Ada hal penting dan mendesak yang ingin aku bicarakan, soal siapa pembunuh ayahmu. Aku tunggu di warung ayam bakar depan langgar.
Salam hangat! Tulus'
Terdengar adzan berkumandang. Ia segera menunaikan shalat dan setelah selesai ia minta ijin kepada ibunya untuk pergi ke rumah sahabatnya Mirah. Ia mau minta Mirah untuk menemaninya bertemu Tulus.
***
Usai shalat dhuhur di langgar, Cak Japa berbicara kepada Tulus, "Nasehat Mbah Kucing yang terakhir kepadaku, yaitu 'Mulat sarira hangrasa wani', yang artinya bahwa kita harus berani mengkoreksi diri sendiri, mau menyadari segala kekurangan dan siap mendapat masukan dari siapapun!"
Setelah Mbah Kucing pergi, Tulus menganggap Cak Japa itu sebagai penggantinya, oleh karena itu selalu rindu mendengar wejangannya.
"Tulus, menurutmu apa yang menjadi penyebab utama segala kekacauan di dunia ini?"
"Keserakahan, Cak!" jawab Tulus setelah merenung beberapa saat, "Saya pikir semua bencana yang menimpah padepokan Benteng Naga berawal dari harta karun yang dibawa Ki Kelabang!" keluh Tulus seolah bicara kepada dirinya sendiri, sambil berkali-kali melihat jalan menanti kehadiran Ajeng. "Harta itu membuat banyak orang ingin merebutnya!"
"Nah itu yang mau aku katakan. Keserakahan akan harta, tahta, dan wanita, memang selalu menjadi sumber segala kekacauan di dunia!"
"Betul, Cak!"
Sudah berapa banyak nyawa melayang gara-gara harta karun itu. Ki Kelabang Karang, Mpu Naga Neraka, murid-murid padepokan Benteng Naga, Pendekar Golok Dewa, Pendekar Cambuk Dewa, para prajurit Tumenggung dan para pengawal Ki Demang, dan yang terakhir Pendekar Pertapa Sakti serta janin yang masih dalam kandungan Arum.
"Assalamualaikum..!" ucap Ajeng yang muncul di teras langgar. Ia diberi tahu pemilik warung bahwa Tulus menunggunya di langgar.
"Wa alaikum salam..!" jawab Tulus dan Cak Japa.
"Silakan dilanjut saja, Cak!" kata Ajeng. "Saya mau main sama Alya dulu!" Ia melihat Tulus dan Cak Japa tampak sedang membicarakan sesuatu yang serius, sehingga ia kemudian menghampiri Alya yang sedang bermain sendiri di halaman. Ia heran melihat Alya yang tidak menghiraukan dirinya karena seolah-olah sedang menghitung sesuatu. "Menghitung apa, Lia?"
"Menghitung halimau, Mbak!" jawab gadis kecil yang sedang mengempit sebuah boneka itu.
Ajeng hanya menggeleng-gelengkan kepala dan menarik napas panjang mendengar jawaban gadis kecil itu. "Kok ada Harimau? Punya siapa?"
"Punya Mbah Kucing!"
"Hah?"
Tidak lama kemudian Cak Japa memanggil Alya, "Lia, ayo pulang! Mbak Ajeng mau bicara sama Paman Tulus!"
"Saya turut berkabung atas meninggalnya Ki Lurah!" kata Tulus menghampiri Ajeng.
"Terima kasih, Cak! Saya juga menghaturkan belasungkawa atas meninggal bayi dalam kandungan Dik Arum!"
"Terima kasih!"
Untuk beberapa saat mereka saling membisu. Tulus tertegun dan menundukkan mukanya yang menjadi merah. Terus terang saja, perasaan cintanya yang terpendam kepada Ajeng itu masih ada. Akan tetapi, setelah menikah dengan Arum, perasaan itu diusirnya jauh-jauh, dan tidak pernah dipikirkannya lagi. Sebagai seorang suami, ia merasa wajib mencintai istrinya seutuhnya.
Tiba-tiba mereka berdua dikagetkan dengan kedatangan orang-orang berseragam merah Perguruan Macan Abang yang memenuhi halaman warung. Keadaan warung langsung ramai dengan berbagai tawa dan canda. Jumlah mereka sekitar lima puluh orang, dan mereka tampaknya murid-murid pilihan. Tidak berselang lama kemudian muncul lima ekor kuda yang ditunggangi oleh Topo dan Kedua Pendekar Jeliteng, yakni Ki Paimo dan Ki Paidi, serta Ki Geni dan Ki Gong.
Yang memesan warung itu adalah Ki Demang Wiryo Kertosastro. Ia mengatakan kepada orang-orangnya akan mentraktir mereka sebagai ungkapan rasa syukur. Entah apa yang sedang disyukurinya. Ia dan Pendekar Celurit akan menyusul belakangan.
Ki Demang Wiryo adalah orang kaya raya yang bukan hasil dari bekerja keras, melainkan dari sikap culas dan suka memeras. Ia memiliki empat orang putra yang semuanya ia kirim untuk belajar ilmu pemerintahan di kotaraja. Ia menitipkan anak-anaknya kepada kenalannya, seorang bangsawan yang memiliki hubungan erat dengan Patih Wahan, patih yang setia mendampingi Bhre Girindrawardana. Tentu saja ia berharap kelak anak-anaknya bisa bekerja di lingkungan istana, syukur bila bisa sampai menjadi menteri.
Demi mewujudkan impiannya itu ia telah menghabiskan dana yang tidak kecil, dana untuk menyuap para pejabat melalui kenalannya. Saat itu tradisi suap-menyuap tentu sudah tidak asing lagi. Dana yang besar itu ia peroleh terutama dari bisnis terlarang yang dikenal dengan Pesanggrahan Seribu Kembang, yaitu bisnis perjudian dan pelacuran. Disamping ia juga korupsi pajak dan berbagai pungutan yang cukup menyengsarakan rakyat. Kemudian untuk mengamankan bisnis terlarang dan korupsinya, ia memelihara banyak tukang pukul dari kalangan dunia hitam.
Sayangnya, ada perguruan silat di wilayahnya yang sering menerima pengaduan dari masyarakat, yang kemudian atas keberpihakan perguruan itu menimbulkan keberanian masyarakat untuk menentang kebijakan-kebijakan kademangan. Perguruan silat itu adalah Benteng Naga dan Jari Suci, yang baginya adalah musuh yang harus disingkirkan.
Semula ia berencana mengadu-domba kedua perguruan itu, namun tidak berhasil. Untungnya ia melihat ada pintu masuk untuk menyerang perguruan Benteng Naga, yaitu melalui perkara harta karun. Bibit perkara inilah yang ia pelihara supaya bisa menjadi api pertengkaran yang terus berkobar-kobar.
Ki Demang, sebagai seorang pemuja perang dan penghasut ulung, telah melaporkan persoalan ini ke atasannya, Tumenggung Legowo, untuk meminta bantuan tenaga jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Tumenggung tua yang menjadi salah seorang pelanggan istimewa Pesanggrahan Seribu Kembang itu menyanggupi untuk memberikan bantuan kapan saja jika dibutuhkan.
Ki Demang juga menyebarkan informasi ke masyarakat bahwa Perguruan Benteng Naga telah menggelapkan harta karun yang menjadi hak negara, dengan demikian perguruan itu layak dianggap sebagai pengkhianat.
Nanti di saat Topo Surantanu bertarung menghadapi Tulus Pangestu, jika sesuai dengan rencana yang telah dirancangnya dengan matang, ia akan mengerahkan orang-orangnya untuk menyerbu Padepokan Benteng Naga. Ki Demang sudah tidak sabar menanti datangnya saat itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H