"Silakan dilanjut saja, Cak!" kata Ajeng. "Saya mau main sama Alya dulu!" Ia melihat Tulus dan Cak Japa tampak sedang membicarakan sesuatu yang serius, sehingga ia kemudian menghampiri Alya yang sedang bermain sendiri di halaman. Ia heran melihat Alya yang tidak menghiraukan dirinya karena seolah-olah sedang menghitung sesuatu. "Menghitung apa, Lia?"
"Menghitung halimau, Mbak!" jawab gadis kecil yang sedang mengempit sebuah boneka itu.
Ajeng hanya menggeleng-gelengkan kepala dan menarik napas panjang mendengar jawaban gadis kecil itu. "Kok ada Harimau? Punya siapa?"
"Punya Mbah Kucing!"
"Hah?"
Tidak lama kemudian Cak Japa memanggil Alya, "Lia, ayo pulang! Mbak Ajeng mau bicara sama Paman Tulus!"
"Saya turut berkabung atas meninggalnya Ki Lurah!" kata Tulus menghampiri Ajeng.
"Terima kasih, Cak! Saya juga menghaturkan belasungkawa atas meninggal bayi dalam kandungan Dik Arum!"
"Terima kasih!"
Untuk beberapa saat mereka saling membisu. Tulus tertegun dan menundukkan mukanya yang menjadi merah. Terus terang saja, perasaan cintanya yang terpendam kepada Ajeng itu masih ada. Akan tetapi, setelah menikah dengan Arum, perasaan itu diusirnya jauh-jauh, dan tidak pernah dipikirkannya lagi. Sebagai seorang suami, ia merasa wajib mencintai istrinya seutuhnya.
Tiba-tiba mereka berdua dikagetkan dengan kedatangan orang-orang berseragam merah Perguruan Macan Abang yang memenuhi halaman warung. Keadaan warung langsung ramai dengan berbagai tawa dan canda. Jumlah mereka sekitar lima puluh orang, dan mereka tampaknya murid-murid pilihan. Tidak berselang lama kemudian muncul lima ekor kuda yang ditunggangi oleh Topo dan Kedua Pendekar Jeliteng, yakni Ki Paimo dan Ki Paidi, serta Ki Geni dan Ki Gong.