Terdengar adzan berkumandang. Ia segera menunaikan shalat dan setelah selesai ia minta ijin kepada ibunya untuk pergi ke rumah sahabatnya Mirah. Ia mau minta Mirah untuk menemaninya bertemu Tulus.
***
Usai shalat dhuhur di langgar, Cak Japa berbicara kepada Tulus, "Nasehat Mbah Kucing yang terakhir kepadaku, yaitu 'Mulat sarira hangrasa wani', yang artinya bahwa kita harus berani mengkoreksi diri sendiri, mau menyadari segala kekurangan dan siap mendapat masukan dari siapapun!"
Setelah Mbah Kucing pergi, Tulus menganggap Cak Japa itu sebagai penggantinya, oleh karena itu selalu rindu mendengar wejangannya.
"Tulus, menurutmu apa yang menjadi penyebab utama segala kekacauan di dunia ini?"
"Keserakahan, Cak!" jawab Tulus setelah merenung beberapa saat, "Saya pikir semua bencana yang menimpah padepokan Benteng Naga berawal dari harta karun yang dibawa Ki Kelabang!" keluh Tulus seolah bicara kepada dirinya sendiri, sambil berkali-kali melihat jalan menanti kehadiran Ajeng. "Harta itu membuat banyak orang ingin merebutnya!"
"Nah itu yang mau aku katakan. Keserakahan akan harta, tahta, dan wanita, memang selalu menjadi sumber segala kekacauan di dunia!"
"Betul, Cak!"
Sudah berapa banyak nyawa melayang gara-gara harta karun itu. Ki Kelabang Karang, Mpu Naga Neraka, murid-murid padepokan Benteng Naga, Pendekar Golok Dewa, Pendekar Cambuk Dewa, para prajurit Tumenggung dan para pengawal Ki Demang, dan yang terakhir Pendekar Pertapa Sakti serta janin yang masih dalam kandungan Arum.
"Assalamualaikum..!" ucap Ajeng yang muncul di teras langgar. Ia diberi tahu pemilik warung bahwa Tulus menunggunya di langgar.
"Wa alaikum salam..!" jawab Tulus dan Cak Japa.