Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar sang Pendekar (58), Pendekar Juwaima yang Jumawa

5 September 2024   08:01 Diperbarui: 5 September 2024   08:10 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Tri Handoyo

"Mengapa Sinuhun menganggap pelajaran mengenai moral sebagai pelajaran omong kosong?" tanya seorang murid memberanikan diri.

Topo Suratanu dipanggil sinuhun oleh para muridnya. Sinuhun bisa berarti 'sesembahan'. Ia tersenyum sinis mendengar pertanyaan itu. "Pelajaran mengenai moral memang pelajaran omong kosong, dan hanya bualan orang-orang yang sejatinya lemah, yang sembunyi di balik jubah moral dan mengaku diri mereka suci. Kalian perhatikan, apa dengan adanya pelajaran mengenai moral lantas dunia ini menjadi lebih baik? Lihat saja, di manakah terjadinya kejahatan-kejahatan besar? 

Bukan di dusun-dusun yang dihuni oleh orang-orang yang pikirannya masih amat sederhana, yang tidak dididik oleh kalangan yang ahli tentang pelajaran moral! Akan tetapi, kejahatan-kejahatan besar justru banyak terjadi di kota-kota besar, yang orang-orangnya kenyang dengan pelajaran moral dan segala tetek bengeknya!"

Setelah mengamati wajah-wajah muridnya yang tertegun sementara mulut mereka terkunci, Topo kemudian melanjutkan, "Pelajaran soal moral terbukti tak dapat memperbaiki sifat manusia! Kalian pasti sering melihat orang-orang yang menggunakan segala keindahan ujaran-ujaran moral untuk membual, untuk membodohi dan mengelabui orang lain demi menutupi kebejadan moralnya? Banyak contohnya bukan! Itulah kenapa saya menganggap semua itu pelajaran omong kosong! Benar apa tidak?"

"Benar!" jawab sebagian murid.

"Benar apa tidak?"

"Benar!"

Begitu selesai mengatakan itu Sinuhun Begawan Kegelapan Topo Suratanu menutup dengan meludah ke samping. Tanpa disadarinya ia mulai suka meludah sembarangan, seperti kebiasaan Mbah Myang Mimbe, si dukun pelet yang tewas mengenaskan.

***

Dari penuturan para sesepuh secara turun temurun menyebutkan bahwa Desa Miagan, Mojoagung, dulunya berupa hutan belantara. Hutan yang merupakan wilayah Wirasaba, sebutan pada jaman Majapahit, yang kemudian dibuka sebagai tempat berlatih pasukan kerajaan lengkap dengan pesanggrahan para pengawal tamu-tamu keraton.

Wirasaba tersebut adalah daerah luar yang berbatasan dengan benteng Majapahit. Pembukaan hutan yang terus berlangsung menjadikan kawasan tersebut gundul dan lambat laun muncul perkampungan yang dinamakan Karang Bulak. Hal itu diabadikan dalam prasasti yang dibangun di dekat sungai yang juga bernama Sungai Karang Bulak, yang mengalir di sepanjang Desa Miagan.

Setelah berkembangnya Kasultanan Demak dan pengaruh syiar para Walisongo yang salah satunya dengan media kesenian gamelan, maka banyak masyarakat di Karang Bulak yang mendalami seni tersebut. Semenjak itulah oleh pemerintahan Bhre Dyah Ranawijaya Girindrawardhana desa itu dijuluki Desa Wiyagan yang artinya desa tempat bermukimnya para tukang penabuh gamelan. Pengucapan Wiyagan ini mengalami pergeseran hingga akhirnya diucapkan menjadi Miyagan atau Miagan.

Miagan menjadi salah satu daerah perdikan. Dalam menentukan daerah perdikan, raja memiliki pertimbangan khusus, di antaranya karena ada warga desa yang berjasa bagi kerajaan, atau bisa juga karena ada kebaktian luar biasa bagi kepentingan Masyarakat luas, baik secara moral maupun spiritual.

Ciri-ciri daerah perdikan adalah memiliki sistem sosial yang teratur dan kemampuan ekonomi yang baik. Masyarakat Desa Miagan bukan termasuk kaum bangsawan, mereka masyarakat biasa, hanya saja desa yang mereka tinggali adalah desa istimewa karena kemandiriannya. Secara keseluruhan, daerah yang bersangkutan makmur, maju, serta berprestasi dalam sekian bidang kehidupan masyarakat.

Tidak jauh dari Desa Miagan, ada rumah terpencil yang dihuni oleh seorang pendekar bernama Juwaima Subandar, yang juga dijuluki Pendekar Pertapa Sakti. Ia seorang pendekar yang menguasai wilayah timur. Ketika muda ia pernah belajar ilmu gaib dari lontar tua yang beberapa bagiannya rusak dan tidak utuh lagi. Ia meminta bantuan orang untuk membacakan isi lontar tersebut karena ia sendiri sebetulnya buta huruf.

"Apa gunanya belajar membaca dan menulis di dusun ini? Lebih baik belajar silat atau belajar mencangkul tanah!" alasannya sebagai pembenaran kenapa dia tidak bisa membaca.

Sejak muda ia memang sangat terobsesi untuk menjadi pendekar nomor satu di kolong langit. Setelah mempejari ilmu gaib dari lontar itu ia menjadi sakti, akan tetapi jiwanya mulai terganggu. Bisa jadi karena isi lontar itu tidak lengkap, atau orang yang menerjemahkannya salah. Ketika penyakitnya kambuh, dia menantang siapapun lelaki yang ditemui untuk bertarung sampai mati, dan jika bertemu perempuan dia akan memperkosanya. Tidak ada satupun orang yang bisa mengalahkannya, dan itu yang membuat orang-orang akhirnya mengungsi meninggalkan kampung, hingga kampung itu nyaris menjadi kampung mati.

Juwaima memiliki seorang istri dan lima orang anak yang semuanya mati di tangannya sendiri, di kala penyakitnya kumat. Dengan diliputi penyesalan yang sangat mendalam, ia kemudian sering bertapa demi untuk mengobati penyakitnya.

Ia tinggal di gubuk yang seperti kandang di tengah hutan jauh dari pemukiman. Setelah belasan tahun, ia memang belum sembuh total, tetapi ia mulai bisa mengendalikan penyakitnya. Hanya saat amarahnya timbul ia akan berubah menjadi sosok yang mengerikan dan memiliki kekuatan seribu kerbau dibanding ketika ia dalam kondisi normal.

Tubuhnya besar dan berotot, tulang-tulang pipinya menonjol, dan sepasang matanya nyalang. Kumisnya dan jenggotnya tumbuh jarang-jarang, menggantung di kanan kiri mulut dan dagu, dan runcing seperti jarum. Kepalanya besar tertutup oleh sebuah blangkon butut. Kini Pendekar Pertapa Sakti itu muncul di warung ayam bakar di depan Langgar Al Akbar.

Panji Segoro yang sekarang menduduki jabatan lurah menggantikan Ki Setiaji menerima laporan mengenai itu. Kemunculan Pendekar Pertapa Sakti yang langka itu jelas mengundang tanda tanya besar. Ia pun segera melaporkan ke Ki Demang Wiryo.

"Sampaikan padanya!" kata Ki Demang begitu menerima laporan, "Bahwa saya mengundangnya untuk datang ke pendopo kademangan!"

Panji Segoro pun menemui Jumawa Subandar di Warung ayam bakar. "Permisi tuan pendekar, kalau saya tidak salah, bukankah Panjenengan adalah Ki Juwaima Pendekar Pertapa Sakti?"

"Tidak salah!"

"Syukurlah! Perkenalkan, saya Panji Segoro selaku kepala desa di sini. Saya menghaturkan selamat datang!" kata Panji dengan sangat santun.

"Terima kasih atas sambutannya Ki Lurah!"

"Ini merupakan suatu kehormatan bagi kami, Tuan Pendekar. Begini, saya menyampaikan bahwa pimpinan kami, Ki Demang Wiryo Kertosastro, mengundang anda untuk datang ke pendopo kademangan!"

Tanpa menemui kendala yang berarti, Ki Juwaima menerima undangan dengan senang hati. Mereka berdua segera berangkat menuju kademangan.

Mereka disambut Ki Demang dan beberapa pengawalnya di depan pendopo, dan langsung dipersilakan masuk menuju ruang yang cukup besar. Berbagai macam hidangan sudah tersedia di atas meja, seperti layaknya penyambutan seorang tamu agung.

Setelah basa-basi beberapa saat, akhirnya Ki Demang bertanya, "Mohon maaf Ki Juwai, apabila ada hal penting yang membuat anda berkunjung ke wilayah kami, perkenankan kami untuk membantu sebisa kami?"

"Terima kasih atas kemurahan hati Ki Demang. Begini, saya mendengar kabar adanya kitab 'Serat Sekti Mandraguna'," ujar Subandar, "Saya ingin mendapatkan kitab itu untuk mengobati penyakit saya!"

Ki Demang menengok ke arah Cak Topo, "Ah.., belakangan kitab itu memang ramai dibicarakan orang, Ki! Ada juga seorang pendekar dari Demak yang datang ke sini dua hari yang lalu, juga hendak mencari kitab itu! Sayangnya kami sendiri belum pernah melihat wujud kitab yang menghebohkan itu. Tapi setelah kami melakukan penyelidikan, kami berkeyakinan mengenai siapa orang yang menyimpan kitab itu!"

"Wah, berarti tidak rugi saya datang ke sini!"

"Tentu tidak, anda datang ke tempat yang tepat!"

"Siapa orang yang memiliki kitab itu?"

"Dia orang yang cukup berilmu tinggi, yang kebetulan juga menjadi musuh kademangan!"

"Saya ingin sekali adu kesaktian dengan orang itu, dan saya yakin pasti bisa menghancurkannya!"

Tidak berselang lama, Ki Juwaima Subandar berdiri di depan pintu gerbang Padepokan Benteng Naga, dan memaksa untuk bertemu dengan pimpinan padepokan.

Ia diantar oleh seorang murid menuju kantor Tim Tujuh.

"Maaf, Guru kami sedang bepergian. Apa yang bisa saya bantu, Tuan Pendekar?" tanya Mahesa, ketua Tim.

"Untuk kalian ketahui, aku adalah Juwaima Subandar Pendekar Pertapa Sakti. Pertama, aku minta kitab 'Sekti Mandraguna'. Ke dua, aku minta pembagian harta karun! Itu saja! Kalau kedua permintaan itu tidak kalian penuhi, jangan salahkan bila padepokan ini akan aku obrak-abrik. Kalau perlu aku ratakan dengan tanah!"

Tim Tujuh itu bukan orang sembarangan, tapi mereka juga tidak mau gegabah. Mendengar pernyataan yang sangat sombong dan merendahkan itu mereka tetap berusaha keras untuk menahan diri.

"Mohon maaf, Ki Juwai, mengenai harta karun kami tentu tidak bisa memutuskan tanpa persetujuan dari Guru Tulus pimpinan kami! Kalau mengenai kitab itu, terus terang kami tidak tahu!"

"Kapan gurumu pulang?"

"Maaf, kami tidak bisa memastikan!"

"Hm.., dengan sangat menyesal berarti aku harus hancurkan tempat ini!" Selesai mengatakan itu dia langsung mengamuk mengobrak-abrik perabotan di tempat itu. Dia memang tidak bersenjata, tapi benda apapun yang dipegangnya bisa menjadi senjata yang sangat mematikan.

Mahesa dan keenam temannya langsung melayani serangan membabi buta Pendekar Pertapa Sakti itu. Mereka meraih berbagai senjata yang dipajang di ruangan dan segera memberikan gempuran perlawanan. Mereka menghujamkan serangan bertubi-tubi yang amat berbahaya. Akan tetapi betapa kagetnya mereka karena senjata-senjata itu tidak mampu melukai tubuh lawannya.

Mereka maklum bahwa orang yang memiliki tenaga dalam amat kuat dapat menjadi kebal, akan tetapi selama hidup mereka belum pernah menyaksikan kekebalan seperti yang dihadapi sekarang. Kekebalan yang agaknya tanpa disertai pengerahan tenaga, tetapi seperti gundukan baja yang sangat keras, sehingga senjata-senjata mereka yang menimpa tubuh lawan itu mengeluarkan percikan api dan menjadi tumpul dan kadang sampai patah.

Sabetan pedang Mahesa yang sangat deras berani ditangkap oleh Pertapa Sakti dengan telapak tangannya, kemudian diremas hingga besi baja pedang itu membentuk cetakan genggaman jari. Semua senjata sepertinya tidak ada gunanya lagi.

"Ada penjahat masuk!" terdengar teriakan salah seorang.

"Ada orang jahat ngamuk!" sahut yang lain.

Puluhan murid yang saat itu sedang berlatih di halaman menjadi terkejut, mereka kemudian berhamburan mengambil berbagai senjata dan ikut mengepung Pendekar Juwama yang jumawa.

Saat itu Ki Kazan, Pendekar tua yang sangat dihormati orang Demak, sedang mengamati pertempuran itu dari ketinggian sebuah pohon. Ia sangat dihormati oleh karena selain memiliki ilmu kanuragan dan pengobatan tingkat tinggi, juga terkenal sebagai seorang pakar ilmu kebatinan. Kedatangannya ke padepokan itu rupanya didahului oleh Pendekar Pertapa Sakti.

"Ah, alangkah banyak orang Majapahit yang berilmu tinggi dan hebat sekali!" gumamnya kagum, "Untungnya mereka ini tidak peduli tentang kedudukan dan jabatan di pemerintahan. Kalau dulu Raja Majapahit tidak demikian bodoh dan bisa menghargai orang-orang seperti ini, kerajaan manakah di dunia ini yang sanggup menandingi Majapahit?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun