Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar sang Pendekar (58), Pendekar Juwaima yang Jumawa

5 September 2024   08:01 Diperbarui: 5 September 2024   08:10 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wirasaba tersebut adalah daerah luar yang berbatasan dengan benteng Majapahit. Pembukaan hutan yang terus berlangsung menjadikan kawasan tersebut gundul dan lambat laun muncul perkampungan yang dinamakan Karang Bulak. Hal itu diabadikan dalam prasasti yang dibangun di dekat sungai yang juga bernama Sungai Karang Bulak, yang mengalir di sepanjang Desa Miagan.

Setelah berkembangnya Kasultanan Demak dan pengaruh syiar para Walisongo yang salah satunya dengan media kesenian gamelan, maka banyak masyarakat di Karang Bulak yang mendalami seni tersebut. Semenjak itulah oleh pemerintahan Bhre Dyah Ranawijaya Girindrawardhana desa itu dijuluki Desa Wiyagan yang artinya desa tempat bermukimnya para tukang penabuh gamelan. Pengucapan Wiyagan ini mengalami pergeseran hingga akhirnya diucapkan menjadi Miyagan atau Miagan.

Miagan menjadi salah satu daerah perdikan. Dalam menentukan daerah perdikan, raja memiliki pertimbangan khusus, di antaranya karena ada warga desa yang berjasa bagi kerajaan, atau bisa juga karena ada kebaktian luar biasa bagi kepentingan Masyarakat luas, baik secara moral maupun spiritual.

Ciri-ciri daerah perdikan adalah memiliki sistem sosial yang teratur dan kemampuan ekonomi yang baik. Masyarakat Desa Miagan bukan termasuk kaum bangsawan, mereka masyarakat biasa, hanya saja desa yang mereka tinggali adalah desa istimewa karena kemandiriannya. Secara keseluruhan, daerah yang bersangkutan makmur, maju, serta berprestasi dalam sekian bidang kehidupan masyarakat.

Tidak jauh dari Desa Miagan, ada rumah terpencil yang dihuni oleh seorang pendekar bernama Juwaima Subandar, yang juga dijuluki Pendekar Pertapa Sakti. Ia seorang pendekar yang menguasai wilayah timur. Ketika muda ia pernah belajar ilmu gaib dari lontar tua yang beberapa bagiannya rusak dan tidak utuh lagi. Ia meminta bantuan orang untuk membacakan isi lontar tersebut karena ia sendiri sebetulnya buta huruf.

"Apa gunanya belajar membaca dan menulis di dusun ini? Lebih baik belajar silat atau belajar mencangkul tanah!" alasannya sebagai pembenaran kenapa dia tidak bisa membaca.

Sejak muda ia memang sangat terobsesi untuk menjadi pendekar nomor satu di kolong langit. Setelah mempejari ilmu gaib dari lontar itu ia menjadi sakti, akan tetapi jiwanya mulai terganggu. Bisa jadi karena isi lontar itu tidak lengkap, atau orang yang menerjemahkannya salah. Ketika penyakitnya kambuh, dia menantang siapapun lelaki yang ditemui untuk bertarung sampai mati, dan jika bertemu perempuan dia akan memperkosanya. Tidak ada satupun orang yang bisa mengalahkannya, dan itu yang membuat orang-orang akhirnya mengungsi meninggalkan kampung, hingga kampung itu nyaris menjadi kampung mati.

Juwaima memiliki seorang istri dan lima orang anak yang semuanya mati di tangannya sendiri, di kala penyakitnya kumat. Dengan diliputi penyesalan yang sangat mendalam, ia kemudian sering bertapa demi untuk mengobati penyakitnya.

Ia tinggal di gubuk yang seperti kandang di tengah hutan jauh dari pemukiman. Setelah belasan tahun, ia memang belum sembuh total, tetapi ia mulai bisa mengendalikan penyakitnya. Hanya saat amarahnya timbul ia akan berubah menjadi sosok yang mengerikan dan memiliki kekuatan seribu kerbau dibanding ketika ia dalam kondisi normal.

Tubuhnya besar dan berotot, tulang-tulang pipinya menonjol, dan sepasang matanya nyalang. Kumisnya dan jenggotnya tumbuh jarang-jarang, menggantung di kanan kiri mulut dan dagu, dan runcing seperti jarum. Kepalanya besar tertutup oleh sebuah blangkon butut. Kini Pendekar Pertapa Sakti itu muncul di warung ayam bakar di depan Langgar Al Akbar.

Panji Segoro yang sekarang menduduki jabatan lurah menggantikan Ki Setiaji menerima laporan mengenai itu. Kemunculan Pendekar Pertapa Sakti yang langka itu jelas mengundang tanda tanya besar. Ia pun segera melaporkan ke Ki Demang Wiryo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun