Oleh: Tri Handoyo
Di sebuah puri mungil tapi bersih dan wangi. Tulus sedang menerima wejangan khusus dari Mbah Kucing. "Kitab ini aku titipkan kepadamu, karena hanya kamulah orang yang paling tepat untuk mempelajarinya! Tapi pesanku, jaga kitab ini baik-baik! Akan sangat berbahaya jika kitab ini berada di tangan orang yang jahat!""
"Terima kasih, Mbah!" Tulus menerima kitab itu sambil menundukan kepala. "Terima kasih atas kepercayaan yang telah diberikan kepada saya!"
Kitab bersampul kulit rusa itu berjudul 'Serat Sekti Mandraguna', menggunakan huruf dan bahasa Jawa kuno. Tulus tidak sabar untuk membalik sampulnya. Lalu melihat isinya sekilas. Ternyata isinya adalah kumpulan ajian kanuragan tingkat tinggi beserta petunjuk pengamalannya, ditulis rapi di atas lembaran-lembaran kain sutra.
Bagi Tulus, banyak ajian yang sudah tidak asing lagi, misalnya ajian Lebur Saketi, Saepi Angin, Rawerontek, Inti Paku Bumi, Pancasona, Waringin Sungsang, dan ajian Serat Jiwa. Namun ada beberapa yang sama sekali asing di telinganya, seperti ajian Tiwikrama, yang bisa membuat pengamalnya bisa berubah wujud menjadi tinggi besar seperti raksasa. Ada ajian Inti Banurasmi, yang bisa membuat pemiliknya berubah menjadi cahaya, kemudian ajian Kendit Buntel Mayit.
Sementara ilmu umum seperti ajian Senggrok Macan, Lembu Sekilan, Gembolo Geni, Panglimunan, Sapta Pangrungu, Brojomusti, Gelap Ngampar, di kitab tersebut dimasukan dalam ajian kelas bawah.
"Tidak ada di kitab manapun ajian yang asli seperti dalam kitab ini!" tutur Mbah Kucing, "Setiap ajian dijabarkan makna filosofisnya dengan sangat mendalam, karena ini disusun langsung oleh pengarang ilmu itu sendiri. Ini asli karya budaya bangsa yang wajib dirawat dan dilestarikan!"
"Siapa penulisnya, Mbah?" Tulus mencari-cari nama di sampul depan, tapi tidak tercantum nama penulisnya.
"Ajian-ajian ini awalnya dihimpun oleh Mahapati Gajah Mada di lontar secara terpisah.
Namun di kemudian hari, mahapatih itu meminta Mpu Prapanca untuk mengabadikannya di dalam sebuah kitab yang terbuat dari kain sutra. Mpu Prapanca adalah sastrawan besar yang termasyur di seantero negeri sebagai seorang yang paling berpandangan tajam dan berpikiran jernih. Dia juga mengenal Gajah Mada dengan baik. Maka ia menerima tugas dari sahabatnya itu dengan senang hati. Untaian aksara yang terangkai indah ini adalah sebuah warisan yang tak ternilai harganya bagi rakyat Nusantara.
Nama asli Mpu Prapanca adalah Dhang Acarya Nadendra, sebagaimana yang tercantum sebagai Dharmadyaksa Ring Kasogatan dalam Prasasti Canggu 1358 Masehi. Prapanca adalah nama samaran yang digunakan sewaktu beliau menulis Kakawin Nagaraketagama, kitab yang ditulis di desa yang bernama Desa Kamalasana.
Mpu Prapanca hidup pada jaman keemasan Majapahit, sebagai hasil perluasan wilayah keluar Jawa mengikuti haluan politik ekspansif Kertanegara yang dilancarkan oleh Mahapatih Gajah Mada. Ia menguraikan kebesaran Majapahit, kemakmurannya, hubungan antara pusat dan daerah, dan hubungan dengan kerajaan di luar negeri.
Setelah terjadinya tragedi Bubat, yang kemudian membuat Mahapati Gajah Mada melepaskan semua jabatannya dan mengasingkan diri, dan kemudian Dang Acarya Nadendra sendiri juga kehilangan kedudukannya, maka ia menggunakan nama Prapanca yang berarti kesedihan. Pada waktu menyusun kitab Nagarakrtagama, hidupnya sedang diliputi kesedihan dan penderitaan yang luar biasa.
Prapanca sebagai sindiran akan sosok yang kurang ajar, terlalu bodoh, tidak menganut ajaran yang luhur, dan tak pantas dijadikan contoh. Pantasnya hanya dipukul berulang kali. Seolah dia merasa tidak pantas menyandang nama Nadendra, pantasnya bernama Winada, yang artinya orang yang tercela dan cacat.
Mpu Prapanca juga menggubah Kakawin Niratha Prakretha yang memberikan pengetahuan yang sangat bermanfaat dalam persoalan kearifan hidup. Menurut kitab tersebut, dengan kepandaian manusia akan bisa mengatasi segala marabahaya dan dengan kesabaran manusia akan memperoleh bimbingan dari Tuhan. Kemudian, manusia dianggap mulia dan kaya jika senantiasa berderma kepada sesama. Selanjutnya, manusia harus menggunakan kearifan supaya tidak terjerumus ke dalam jurang kesengsaraan. Dengan kearifan itu manusia bisa membedakan mana yang hak dan mana yang batil.
Mpu Prapanca menyelesaikan naskah kakawin Negarakretagama di usia sangat tua. Kitab tersebut menguraikan keadaan keraton Majapahit dalam masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk, raja agung di Nusantara, ditulis dalam bentuk syair Jawa Kuna. Karya sastra yang menyanjung dan mengagung-agungkan Raja Majapahit Hayam Wuruk itu murni atas kehendak sang pujangga yang ingin menghaturkan bhakti kepada Sang Prabu, serta kepada bangsa dan negara.
Mpu Prapanca juga menulis beberapa karya seperti Kitab Parwasagara, Bhismasaranantya, Sugataparwa, dan dua kitab lagi yang belum selesai, yaitu Saba Abda dan Lambang. Namun semua itu sampai sekarang belum ditemukan dan tidak diketahui masih ada atau barangkali sudah hancur.
Pandangan mata Mbah Kucing menerawang jauh ke masa silam. Keningnya yang keriputan itu menjadi makin nyata garis-garis keriputnya. "Tulus, jangan pernah sekali-kali melupakan sejarah!" pesannya lirih, "Tanpa jasa Mpu Prapanca lewat karya-karyanya, generasi yang akan datang tidak akan pernah tahu kehebatan dan kebesaran para leluhur kita!"
"Apa kitab 'Serat Sekti Mandraguna' ini hanya satu-satunya, Mbah?"
"Ini kitab yang asli. Memang ada beberapa salinannya, tapi sudah mengalami banyak perubahan, karena ada upaya dari wali-wali agar ilmu-ilmu ini sesuai dengan ajaran agama Islam! Tapi upaya itu justru menghasilkan ilmu baru dengan tingkatan yang lebih tinggi! Sayangnya hanya sedikit orang yang mampu menguasainya!"
***
Sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada Ki Wonokerto, Raja Jayanegara awalnya bermaksud membuat prasasti. Sebetulnya warga Bedander tidak mengharapkan penghargaan semacam itu, karena bagi mereka apa yang dilakukan itu sudah merupakan kewajiban. Mereka memberikan bantuan semata-mata atas pertimbangan kemanusiaan. Ini tentu saja 'Makanan Ruhani' yang tidak mudah dikonsumsi orang biasa.
Ki Wonokerto adalah orang yang sudah lama meninggalkan segala kenikmatan dunia, sehingga prasasti dikawatirkan bisa mencemari sebuah keikhlasan. Di samping itu ia juga tidak ingin kedamaian di wilayah Bedander nantinya terkotori urusan politik dan pertarungan perebutan kekuasaan. Bahkan para pemuda yang ditawari untuk menjadi prajurit Majapahit pun hanya beberapa gelintir saja yang bersedia. Padahal Bedander dihuni oleh orang-orang yang tidak mengenal kata takut dan rata-rata berilmu tinggi.
Saat peristiwa itu terjadi Mbah Kucing yang bernama asli Jirnodhara terlibat langsung. Ia adalah salah satu pemuda Bedander yang direkrut sebagai prajurit Majapahit, yang di masa mudanya adalah pembantu pribadi Ki Wonokerto.
Atas sarannya, akhirnya untuk mengenang peristiwa pelarian prabu di Bedander, maka dibangunlah sebuah pesanggrahan berupa Pager Banon. Pesanggrahan itu kelak dikenal dengan nama "Pesanggrahan Buyut Bedander". Sebuah sumur juga dibangun di atas sumber mata air yang sangat jernih yang dikenal dengan Sumur Gemuling.
Tatkala Jirnodhara akhirnya memutuskan mundur dari segala hiruk-pikuk dunia, ia berniat pulang kampung dan mengabdikan diri kepada gurunya. Setelah gurunya meninggal dunia, baru ia memutuskan mengembara ke seluruh pelosok Nusantara. Ia belum akan mati sebelum tugasnya mewariskan semua ilmu dan menemukan sosok pewaris kitab pusaka selesai. Kitab pusaka yang menjadi incaran para pendekar besar di seluruh Nusantara.
"Sebelumnya aku pernah mewariskan kitab ini kepada Japa!" kata kakek sakti itu dengan serius, "Akan tetapi ia mengembalikan kepadaku, karena ia lebih tertarik untuk mendalami agama. Aku pikir sekarang kamulah yang bisa menjaga dan merawat ini!"
"Insyaallah saya akan menjaga dan merawat amanat keramat Mbah Kucing dengan sebaik-baiknya!" janji Tulus sepenuh hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H