Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (54): Merawat Dendam Kesumat

1 September 2024   11:19 Diperbarui: 2 September 2024   04:52 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Tri Handoyo

"Ajeng, kamu gak makan dulu?" panggil Jenar dari ruang makan.

"Gak, Buk, aku belum lapar." jawab Ajeng dari teras samping rumah.

Sore itu cahaya bulan purnama terang sekali. Akan tetapi bagi gadis itu, bulan yang bundar itu menimbulkan rasa sunyi yang hampir tak tertahankan. Kalau saja dia tidak mempunyai hati yang tegar, tentu dia telah menangis pilu.

Ketika memandang ke arah bulan, terbayang-bayang wajah Tulus yang keningrat-ningratan tapi rendah hati, yang penuh kharisma tapi ramah, dan berilmu tinggi tapi menentramkan.

'Hm, tidak pantas melamunkan lelaki yang sudah menjadi suami orang,' batinnya mengingatkan. Ia mengetuk-ngetukkan jari di bibirnya dengan perasaan sunyi. Tidak ada seorangpun tahu bahwa ia sedang berusaha keras menahan agar air matanya tidak menitik. Menahan sekuat tenaga.

***

Sudah tiga hari Topo Surantanu tidak bertemu dengan Ajeng, tapi rasanya sudah sangat lama sekali. Ia sedang menghibur hatinya yang kesepian di 'Pesangrahan Seribu Kembang'. Beberapa hari yang lalu ia meminta tolong Mirah, sahabat Ajeng di Perguruan Jari Suci, untuk mengorek isi hati gadis pujaannya itu.

"Ajeng, boleh tanya sesuatu?" tanya Mirah.

"Tanya apa?" Ajeng balik bertanya sambil menikmati segarnya air kelapa muda.

Mereka berdua sedang jajan di warung makan depan padepokan. Di meja pojok, berjarak sekitar delapan meter dari tempat duduk Topo. Begawan Kegelapan itu menggunakan tutup kepala dari jerami duduk membelakangi kedua gadis itu. Dengan kekuatan pendengaran gaib ajian 'sapta pangrungu', ia menyimak obrolan mereka.

"Hm, bagaimana menurut mu mengenai Cak Topo?" tanya Mirah hati-hati.

"Biasa saja. Memang kenapa?"

"Dia sekarang sudah jadi orang hebat dan mapan!"

"Terus?" tanya Ajeng merasa ada sesuatu yang sedang disembunyikan sahabatnya di balik kalimat itu.

"Terus.., gak ada terusannya!" jawab Mirah datar. Ia kenal betul kharakter Ajeng, dan sudah bisa mengambil kesimpulan bahwa sahabatnya itu tidak punya perasaan cinta kepada Topo. "Cuma menurutku, ini menurutku lho ya, banyak gadis yang berandai-andai bisa menjadi istri pendekar sakti itu!"

Ajeng balik bertanya, "Kamu pingin daftar jadi calon istrinya?"

"Jangan-jangan kamu yang pingin daftar?" balas Mirah cepat.

"Ha..ha..ha...!"

"Kok ketawa. Kamu benar gak kepingin?"

"Gak!" jawab Ajeng singkat, "Gak sama sekali!"

"Apa kamu sudah punya pacar?"

"Belum! Mir, sampai saat ini aku tidak ingin memikirkan soal cinta. Aku rasa saat ini aku merasa nyaman tanpa pacar. Aku masih ingin sendiri!"

"Apa kamu masih memikirkan Tulus?"

"Jujur, kadang iya!"

Kalimat tetarkhir dari Ajeng itu masih terngiang dan membuat Topo merasa tidak nyaman sampai detik itu. Kalimat itu mirip duri-duri kecil yang meyeruak menusuk hati. Cukup mendatangkan sakit. 'Apa ini perasaan cemburu, atau perasaan ditolak?'

Memang tidak semua manusia mendapatkan cinta sejati dengan begitu sederhana. Kadang harus ada perjuangan keras untuk mendapatkannya, dengan luka dan derita. Ia sebetulnya telah lama mencintai gadis itu, mencintai dalam kebisuan yang terpendam.

Topo baru tahu kalau Ajeng pernah mencintai Tulus, yang tak lain adalah kakak tirinya. Entah kenapa, ada perasaan tidak rela ada orang lain yang dicintai oleh gadis pujaannya itu. Ia merasa sangat marah, dan ingin rasanya merebut hati gadis itu dari cengkraman Tulus. Apalagi Tulus sudah menjadi suami orang.

Topo beberapa kali mencoba berhubungan dengan wanita lain. Banyak wanita cantik di Pesanggrahan Seribu Kembang, tapi hanya sekedar untuk pelarian saja. Ternyata cintanya kepada Ajeng tak bisa tergantikan.

Ia sempat berpikir untuk kembali minta tolong kepada Mbah Myang Mimbe. Kadang ia berpikir harus belajar untuk tidak mengharapkan gadis itu lagi, menyerah, mencoba untuk bisa bernafas bebas tanpanya, dan belajar membuka hati untuk yang lain.

Ketika malam semakin larut, ia akhirnya memutuskan untuk pergi menemui Mbah Myang Mimbe, untuk meminta bantuan memelet Ajeng untuk kedua kalinya.

Ia sampai di sebuah dusun kecil yang terpencil, tetapi mempunyai tanah yang sangat subur. Kehidupan penduduk di situ hanya bercocok tanam. Rumah Mbah Myang Mimbe cukup terkenal, karena selain rumah itu paling besar di antara semua rumah warga dan memiliki pekarangan luas, juga siapakah yang tidak mengenal Si Raja Pelet itu.

"Saya Topo, Mbah. Dulu saya sudah pernah ke sini!" kata Topo hati-hati. "Saya datang lagi karena pelet Mbah sepertinya sudah tidak manjur lagi, karena sekarang gadis itu menolak saya!"

Lelaki tua yang memiliki wajah mengerikan dengan sorot mata merah itu membiarkan rambut dan jenggotnya memanjang hingga menyentuh lantai. Ia memakai baju dan ikat kepala berwarna hitam, sangat kontras dengan rambut dan jenggotnya yang telah memutih.

Untuk beberapa saat suasana begitu hening. Mbah Myang duduk bersila sambil memejamkan mata, dan beberapa kali hanya meludah. Ia memang suka meludah dan kentut sembarangan. "Rupanya gadis itu pernah dipelet lebih dulu oleh lelaki lain!" kata orang tua itu dengan suara parau memecah keheningan.

Topo cukup kaget mendengarnya, meskipun ia tidak begitu saja mempercayainya. "Apakah lelaki itu bernama Tulus?"

"Saya tidak bisa melacak namanya. Tapi ada beberapa orang yang sudah pernah mencoba memeletnya!"

'Jika Tulus memelet Ajeng, kenapa dia menikah dengan Arum?'

"Dan rupanya belakangan ini ada kyai yang merusak pengaruh sihirku!" sambung dukun tua itu, "Ini yang membuat gadis itu menolakmu!"

"Siapa nama kyai itu, Mbah?"

"Saya tidak bisa melacak nama dan tempatnya!"

"Apakah saya masih punya peluang untuk mendapatkan gadis itu, Mbah?"

"Tentu saja! Asal Ki sanak bisa mendapatkan rambut dan barang pribadinya? Karena syarat itu akan mempermudah proses pelet ini!"

"Kalau tidak bisa, Mbah?"

"Ki sanak tahu, Ajeng itu punya benteng yang kuat! Jadi biayanya akan sangat mahal!"

Topo rasanya ingin sekali menghajar dukun tua renta kurang ajar itu, tapi ia masih sangat membutuhkan tenaganya. "Berapapun biayanya, pasti akan saya bayar Mbah! Asalkan saya bisa mendapatkan gadis itu!" Ia kemudian mengeluarkan kantong, menumpahkan beberapa keping koin emas di depan Mbah Myang Mimbe.

Dukun itu tersenyum sambil berkata, "Pasti bisa, jangan kuatir!" sesumbarnya diiringi kentut yang terdengar gembret.

***

Ki Demang Wiryo menceritakan kepada Topo tentang harta karun yang dibawa lari oleh Ki Kelabang Karang. Ia kemudian meminta Topo agar mencari tahu hal itu kepada Tulus.

"Coba kamu tanyakan kepada kakak tirimu itu," kata Ki Demang mencoba menghasut Topo, "Sebetulnya harta itu milik negara dan harus dikembalikan kepada negara, tapi paling tidak bujuklah Tulus agar dia mau bekerja sama dengan cara membagi harta itu dengan kita!"

Setelah itu Ki Demang Wiryo dan Topo menemui Tulus di Padepokan Benteng Naga.

"Uang dari mana kok anda bisa membeli banyak sawah?" tanya Ki Demang, "Kemudian membentuk Tim Tujuh yang menyalurkan dana kepada masyarakat?"

Tulus akhirnya memilih untuk berterus terang. "Saya mendapat amanah dari almarhum Mpu Naga, yang mendapat wasiat dari almarhum Ki Kelabang Karang, agar menggunakan harta karun itu untuk membantu masyarakat! Semua hasil dari sawah itu juga dimanfaatkan untuk membantu masyarakat, bukan untuk saya atau untuk padepokan!"

"Ha..ha..ha..! enak saja bicara mu, Cak!" sela Topo memotong penjelasan Tulus, "Setelah berhasil memperoleh harta karun, mau dikuasai sendiri! Siapa yang bisa percaya bahwa semua itu untuk membantu masyarakat, dan kamu tidak tertarik sedikitpun untuk mengambilnya?"

"Kamu bisa bergabung dengan Tim Tujuh agar tahu. Tim itulah yang mengelola semuanya!"

"Begini saja, kami tentu akan menerima uluran persahabatan jika anda buktikan dengan membagi separuh harta itu kepada kami!" timpal Ki Demang, "Dan kami akan menutup mulut dan mata soal harta karun itu untuk selamanya! Saya jamin semua akan baik-baik saja!"

"Maaf, saya berkewajiban untuk menjalankan amanah para almarhum orang tua kami!" pungkas Tulus, "Harta ini bukan milik saya, dan saya hanya dititipi saja jadi tidak berhak membagi-bagikan kepada siapa pun kecuali kepada masyarakat miskin yang membutuhkannya."

"Omong kosong," potong Topo.

"Saya mengajak Ki Demang dan kamu atau siapa saja untuk ikut mengawasi agar dana ini benar-benar disalurkan kepada yang berhak menerimanya!"

Ki Demang dan Topo kehabisan akal dan tidak bisa bicara lagi. Jika dengan cara baik-baik tidak berhasil, maka mereka akan menggunakan cara kekerasan. Dendam kesumat itu pasti akan mereka lakukan. Suatu saat nanti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun