Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar sang Pendekar (49), Pertirtaan Para Raja

18 Agustus 2024   21:48 Diperbarui: 18 Agustus 2024   22:42 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

Suatu hari Roro Ajeng mengatakan kepada ibunya bahwa ia ingin menghadiri undangan seorang teman, Topo Surantanu. Undangan itu adalah pesta yang diselenggarakan Ki Demang dalam acara penobatan Topo sebagai pimpinan baru padepokannya. Dengan enggan, Jenar memberi izin. Tetapi Jenar tidak melepaskan putrinya begitu saja. Karena kekhawatiran yang berlebihan, ia akhirnya menyuruh suaminya, Ki Setiaji Brojomusti, untuk menguntit putri mereka.

Sayangnya Ki Lurah Setiaji terlalu ceroboh. Keberadaannya diketahui oleh teman Ajeng yang kemudian menceritakan itu kepada Ajeng. Sekalipun Ki Setiaji berulang kali meminta maaf karena telah mempermalukan Ajeng di depan teman-temannya, masih saja itu belum sepenuhnya memupus rasa jengkel di dalam batin Ajeng.

"Sungguh menyebalkan sekali! Apa Ayah dan ibu tidak mempercayaiku?" gerutu Ajeng setibanya di rumah.

"Ayah percaya sama kamu, tapi pacarmu itu orangnya Ki Demang! Siapa yang tidak kenal si demang bajingan pemeras dan penindas rakyat itu!"

"Apa itu salahnya Cak Topo?"

"Orang yang menjadi pengikut seorang bajingan pasti juga bajingan!"

"Ayah selalu berprasangka buruk sama orang!"

"Itu namanya waspada, Nduk!"

Baru saja situasi mau reda, Jenar malah naik pitam mendengar tuduhan putrinya itu, dengan suara tinggi dia berkata, "Oh..dasar anak keras kepala. Kamu kok susah sekali diatur! Gak seperti kakak-kakakmu. Tidak tahu diuntung!"

Ajeng menanggapi dengan sikap acuh tak acuh dan segera menyeret kakinya melenggang menuju kamarnya.

"Begitu caramu membalas budi ke orang tua? Menyingkir begitu saja saat orang tua masih memberi nasehat!"

"Aku tidak butuh nasehat!"

"Baiklah, minta maaf sekarang juga sebelum ibu menyeretmu keluar dari rumah!"

"Huss!" Ki Setiaji berusaha menenangkan hati istrinya. "Sudah.., sudah..!"

"Baik! Aku memang tidak betah di sini. Aku lebih suka tinggal sama eyang!"

Sejak menjalin hubungan dengan Topo, hubungan Ajeng dan kedua orang tuanya, khususnya ibunya, semakin memburuk. Mereka dulu memang sering berselisih, tapi selalu ada upaya untuk membangun sikap saling pengertian. Namun kali itu mereka saling meneriaki dan membenci tindakan satu sama lain.

Ajeng memiliki seribu alasan kenapa ia memberontak. Di samping sikap orang tuanya yang dianggap tidak adil, tidak konsisten, satu lagi hal yang paling menjengkelkan, ialah keterlibatan mereka yang terlalu jauh masuk ke dalam kehidupannya. Perlakuan seperti itu akan membuat ia dijauhi teman-temannya.

Tidak jarang Jenar mengorek informasi pribadi Ajeng dari teman-temannya. Jenar adalah tipe seorang ibu yang menganggap bahwa putrinya tidak mampu bertanggung jawab atas pilihan dan keputusannya, sehingga harus terus dipantau dan didikte. Ajeng merasa bahwa segala pencapaiannya selama ini seperti tidak ada artinya di mata orang tuanya. Kalau saudara-saudaranya yang lain punya prestasi, pasti akan diceritakan ke Ajeng, sambil mengatakan, "Kok kamu nggak bisa kayak kakak-kakakmu?"

Dari waktu ke waktu, catatan Ajeng tentang sikap ibu yang kurang suportif, bahkan cenderung melemahkan mental, terus bertambah. Saat dewasa ia menyadari, gara-gara itu semua ia mengalami gangguan psikis yang kerap menghambat kemajuan dalam hidupnya.

Perilaku penyimpang seorang anak perempuan kelak di kemudian hari lebih sering dikaitkan dengan kekerasan yang diterimanya dari ibu dibanding dari ayah. Soal kekerasan fisik ini, Ajeng sering menerima hukuman cubit saat ia masih kanak-kanak. Setelah agak besar, ibunya mulai menggunakan tamparan untuk menghukum.

Setelah menguasai ilmu bela diri yang cukup mumpuni, sewaktu kalap Ajeng pernah melawan balik ibunya dengan menangkis dan bahkan berani menendang balik. Jenar merasa sangat sedih. Sejak itu, Jenar mendiamkan putrinya sampai seminggu, dan akhirnya mengurangi kekerasan fisik, tapi masih suka teriak-teriak ketika marah.

Ketika masih akrab dengan Tulus, Ajeng mulai menyadari bahwa ia tetap butuh sosok ibu buat tempat mengadu. Jenar pun semakin mau membuka diri dan mendengarkan keluhan putrinya dengan sabar. Ajeng berinisiatif memulai percakapan lebih intim dengan ibunya karena ia tidak punya teman yang membuat ia merasa nyaman untuk menceritakan semua masalahnya. Kadang ibunya memang masih suka menghakimi, tetapi ia memiliki Tulus yang selalu mampu mendamaikan hatinya.

Pertambahan usia kerap disamakan dengan pertumbuhan kedewasaan seseorang. Ini pula yang mungkin perlahan-lahan mengikis kecenderungan sikap mengontrol dan kekerasan yang dilakukan Jenar. Namun sejak Ajeng menjalin hubungan dengan Topo Surantanu, ia kembali suka membangkang dan berbuat seperti hanya menuruti kehendaknya sendiri.

Luka kekecewaan masih membarah di batin Ajeng karena ia merasa tidak dipercaya oleh orang tua. Oleh karenanya, ia memilih sepakat untuk tidak sepakat dengan orang tuanya. Sewaktu-waktu ia bisa memutuskan keluar dari rumah dan pergi bersama kekasihnya, Topo Surantanu. Keputusannya sudah bulat mengenai itu.

***

Tulus dan Arum membentuk Tim Tujuh yang bertugas mengelola dan menyalurkan dana harta karun kepada masyarakat yang membutuhkan. Tim yang bermarkas di Pedepokan Benteng Naga ini memiliki anggota tujuh orang di setiap tingkatan mulai dari kademangan hingga kabuyutan, di seluruh pelosok desa. Tim ini diisi oleh orang-orang yang siap berjuang secara ikhlas semata-mata demi mencari ridha Allah.

Tulus juga membeli beberapa bidang tanah persawahan di beberapa lokasi. Sawah ini dikelolah oleh Tim Tujuh, dan hasil panennya sebagian digunakan untuk menggaji anggota dan sebagian besar disumbangkan kepada masyarakat miskin. Tim ini tugasnya khusus memastikan bahwa tidak ada orang di wilayah kademangan yang sampai kelaparan.

"Harta karun ini mungkin dulunya hasil dari memeras rakyat," kata Tulus kepada Arum, "Nah, sekarang saatnya kita mengembalikannya kepada rakyat!"

"Iya, Kanda!" jawab Arum singkat. Dalam hati ia benar-benar bersyukur kepada Tuhan karena telah diberi seorang suami yang tulus ikhlas membantu sesama, seperti ayahnya.

Tulus memperhatikan bahwa sepeninggal Mpu Naga, ia belum pernah melihat istrinya tersenyum ceria. Ia rindu melihat saat-saat istrinya dengan wajah gembira berlarian dan berlompatan di atas rumput sambil bernyanyi. Belakangan mereka memang disibukan soal penyaluran bantuan. Gadis yang dahulu berwatak periang, yang wajahnya selalu berseri-seri itu kini menjadi pendiam dan ada bayangan muram di sana.

"Tuan Putri!" Tulus kadang suka memanggil istrinya dengan sebutan itu, tapi jika tidak ada orang lain di antara mereka.

"Iya Kanda..?"

"Ayo kita tamasya ke pertirtaan para raja!" ajak Tulus, "Kamu sudah tahu tempat itu?"

Arum menggelengkan kepala.

"Ayo kita berangkat sekarang juga!"

Dokar mereka tampak menyusuri jalan menuju ke selatan yang lumayan mulus. Di sepanjang jalan lalu lalang kendaraan cukup ramai. Suara ringkik kuda-kuda penarik dokar, lenguh sapi-sapi penarik pedati, ditimpah suara teriakan kusir dan cambuk serta roda-roda yang beradu dengan batu jalanan lumayan berisik.

Setengah jam kemudian mereka sampai di kawasan Blimbing. Dokar belok ke kanan masuk jalan agak kecil, dan melewati tapal batas bertuliskan Desa Gajah. Pelan-pelan dokar menyusuri jalan kampung yang membelah hamparan persawahan. Akhirnya berhenti di ujung dan mereka ketemu seorang petani. Tulus turun dan menanyakan letak sumber air pertitaan.

"Ki sanak lurus saja. Terus nanti belok kiri, setelah itu ada tempat yang dikelilingi banyak pohon besarnya, di situlah tempat sumber air pertitaan!"

Mereka lewat jalan di antara kebun yang sepi. Benar, begitu ditelusuri sesuai petunjuk, akhirnya mereka tiba di tempat yang teduh di tengah persawahan yang hijau. Sebuah petirtaan yang merupakan tempat pemandian para bangsawan istana itu berada di Dusun Sumber Beji, Desa Kesamben, Kecamatan Ngoro.

Dibalik kekeramatan sendang itu, warga meyakini bahwa air dari sumber petirtaan itu memiliki khasiat sebagai obat penyembuhan segala penyakit. Tidak sedikit orang dari luar kota dan bahkan juga luar pulau yang mengambil air di situ.

Pertirtaan yang berbentuk persegi empat itu terbuat dari susunan batu bata merah. Delapan Jaladwara atau pancuran berhiaskan motif ukir berbentuk Makara. Makara itu terdiri dari ukiran kepala naga, belalai gajah, dan ukiran dewi, hingga yang terakhir adalah arca yang menempel pada dinding kolam berbentuk Garudeya. Lambang dalam bentuk Garudeya berdiri menginjak ular naga, dengan sebelah tangannya memegang kendi yang mengeluarkan air kehidupan, dan sayapnya mengembang lebar di kedua sisi.

Pertirtaan yang diduga peninggalan era Prabu Airlangga itu menggambarkan bahwa di masa pemerintahannya beliau berhasil membawa kejayaan dan kemakmuran. Airlangga digambarkan sebagai titisan Dewa Wisnu, sementara Garudeya merupakan tunggangan setia Dewa Wisnu.

Dari segi konsep, lebih menonjolkan tema dan juga sifat patriotisme sosok Garudeya yang menyelamatkan ibunya dari perbudakan, dan juga mengorbankan dirinya sebagai tunggangan Wisnu. Garudeya biasanya dipahatkan sebagi relief seperti yang dijumpai di Candi Kidal dan Candi Sukuh. Tapi di pertirtaan Sumber Beji, kisah mitos Jawa Kuno itu diwujudkan dalam sebuah patung dan sekaligus Jaladwara.

Sejarah kerajaan Kahuripan memang masih belum jelas keberadaanya. Akan tetapi, telah disebutkan dalam Kitab Pustaka Raja, yang dalam bahasa Sanskerta disebut Serat Pararaton, yaitu sebuah naskah yang menceritakan sejarah raja-raja Singhasari dan Majapahit.

Kitab tersebut menceritakan mengenai adanya pembagian wilayah oleh Airlangga diakhir masa pemerintahannya antara Kadiri atau Daha dan Kahuripan. Hal itu dilakukannya saat terjadi perebutan tahta di antara kedua putranya. Di situ dijelaskan Kahuripan berada di timur sungai yang dikuasai oleh Mpu Baradha. Bilamana sungai yang dimaksud dalam serat Pararaton itu adalah sungai Brantas, maka Jombang dipastikan adalah wilayah Kahuripan.

Tulus dan Arum berkeliling di sepanjang tepian pertirtaan yang berbentuk persegi empat itu. Kedalaman dasar kolam tidak kurang dari tiga meter dari permukaan tanah. Nampak belasan pengunjung yang sedang sibuk dengan aktifitas masing-masing.

Struktur bangunan saluran air ini nampak kuat. Di bagian-bagian pinggir kolam terdapat saluran-saluran air yang dibangun dengan artistik. Di bagian tengah kolam terdapat bangunan.

"Kanda, saya boleh masuk kolam?" tanya Arum ragu-ragu.

"Silakan Tuan Putri!"

Ia langsung melepas alas kakinya dan menuruni tangga. Sebuah senyum lebar tampak mengembang dari mulut yang cantik itu. Kedua tangannya menadahi air sumber yang mengalir melewati Jaladwara, lalu menumpahkan air yang dianggap suci itu ke atas bagian depan kepalanya.

"Aahh..!" tiba-tiba ada yang mendorong tubuh Arum sehingga ia tercebur ke dalam kolam. Byuurrr! "Kanda nakal!"

"Ha..ha..ha..!" tawa Tulus sengaja menggoda istrinya.

"Kanda, awas ya kamu!"

Tulus kemudian menceburkan diri ke pertitaan keramat itu, menemani istrinya berenang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun