"Ayo kita tamasya ke pertirtaan para raja!" ajak Tulus, "Kamu sudah tahu tempat itu?"
Arum menggelengkan kepala.
"Ayo kita berangkat sekarang juga!"
Dokar mereka tampak menyusuri jalan menuju ke selatan yang lumayan mulus. Di sepanjang jalan lalu lalang kendaraan cukup ramai. Suara ringkik kuda-kuda penarik dokar, lenguh sapi-sapi penarik pedati, ditimpah suara teriakan kusir dan cambuk serta roda-roda yang beradu dengan batu jalanan lumayan berisik.
Setengah jam kemudian mereka sampai di kawasan Blimbing. Dokar belok ke kanan masuk jalan agak kecil, dan melewati tapal batas bertuliskan Desa Gajah. Pelan-pelan dokar menyusuri jalan kampung yang membelah hamparan persawahan. Akhirnya berhenti di ujung dan mereka ketemu seorang petani. Tulus turun dan menanyakan letak sumber air pertitaan.
"Ki sanak lurus saja. Terus nanti belok kiri, setelah itu ada tempat yang dikelilingi banyak pohon besarnya, di situlah tempat sumber air pertitaan!"
Mereka lewat jalan di antara kebun yang sepi. Benar, begitu ditelusuri sesuai petunjuk, akhirnya mereka tiba di tempat yang teduh di tengah persawahan yang hijau. Sebuah petirtaan yang merupakan tempat pemandian para bangsawan istana itu berada di Dusun Sumber Beji, Desa Kesamben, Kecamatan Ngoro.
Dibalik kekeramatan sendang itu, warga meyakini bahwa air dari sumber petirtaan itu memiliki khasiat sebagai obat penyembuhan segala penyakit. Tidak sedikit orang dari luar kota dan bahkan juga luar pulau yang mengambil air di situ.
Pertirtaan yang berbentuk persegi empat itu terbuat dari susunan batu bata merah. Delapan Jaladwara atau pancuran berhiaskan motif ukir berbentuk Makara. Makara itu terdiri dari ukiran kepala naga, belalai gajah, dan ukiran dewi, hingga yang terakhir adalah arca yang menempel pada dinding kolam berbentuk Garudeya. Lambang dalam bentuk Garudeya berdiri menginjak ular naga, dengan sebelah tangannya memegang kendi yang mengeluarkan air kehidupan, dan sayapnya mengembang lebar di kedua sisi.
Pertirtaan yang diduga peninggalan era Prabu Airlangga itu menggambarkan bahwa di masa pemerintahannya beliau berhasil membawa kejayaan dan kemakmuran. Airlangga digambarkan sebagai titisan Dewa Wisnu, sementara Garudeya merupakan tunggangan setia Dewa Wisnu.
Dari segi konsep, lebih menonjolkan tema dan juga sifat patriotisme sosok Garudeya yang menyelamatkan ibunya dari perbudakan, dan juga mengorbankan dirinya sebagai tunggangan Wisnu. Garudeya biasanya dipahatkan sebagi relief seperti yang dijumpai di Candi Kidal dan Candi Sukuh. Tapi di pertirtaan Sumber Beji, kisah mitos Jawa Kuno itu diwujudkan dalam sebuah patung dan sekaligus Jaladwara.