Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar sang Pendekar (49), Pertirtaan Para Raja

18 Agustus 2024   21:48 Diperbarui: 18 Agustus 2024   22:42 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Begitu caramu membalas budi ke orang tua? Menyingkir begitu saja saat orang tua masih memberi nasehat!"

"Aku tidak butuh nasehat!"

"Baiklah, minta maaf sekarang juga sebelum ibu menyeretmu keluar dari rumah!"

"Huss!" Ki Setiaji berusaha menenangkan hati istrinya. "Sudah.., sudah..!"

"Baik! Aku memang tidak betah di sini. Aku lebih suka tinggal sama eyang!"

Sejak menjalin hubungan dengan Topo, hubungan Ajeng dan kedua orang tuanya, khususnya ibunya, semakin memburuk. Mereka dulu memang sering berselisih, tapi selalu ada upaya untuk membangun sikap saling pengertian. Namun kali itu mereka saling meneriaki dan membenci tindakan satu sama lain.

Ajeng memiliki seribu alasan kenapa ia memberontak. Di samping sikap orang tuanya yang dianggap tidak adil, tidak konsisten, satu lagi hal yang paling menjengkelkan, ialah keterlibatan mereka yang terlalu jauh masuk ke dalam kehidupannya. Perlakuan seperti itu akan membuat ia dijauhi teman-temannya.

Tidak jarang Jenar mengorek informasi pribadi Ajeng dari teman-temannya. Jenar adalah tipe seorang ibu yang menganggap bahwa putrinya tidak mampu bertanggung jawab atas pilihan dan keputusannya, sehingga harus terus dipantau dan didikte. Ajeng merasa bahwa segala pencapaiannya selama ini seperti tidak ada artinya di mata orang tuanya. Kalau saudara-saudaranya yang lain punya prestasi, pasti akan diceritakan ke Ajeng, sambil mengatakan, "Kok kamu nggak bisa kayak kakak-kakakmu?"

Dari waktu ke waktu, catatan Ajeng tentang sikap ibu yang kurang suportif, bahkan cenderung melemahkan mental, terus bertambah. Saat dewasa ia menyadari, gara-gara itu semua ia mengalami gangguan psikis yang kerap menghambat kemajuan dalam hidupnya.

Perilaku penyimpang seorang anak perempuan kelak di kemudian hari lebih sering dikaitkan dengan kekerasan yang diterimanya dari ibu dibanding dari ayah. Soal kekerasan fisik ini, Ajeng sering menerima hukuman cubit saat ia masih kanak-kanak. Setelah agak besar, ibunya mulai menggunakan tamparan untuk menghukum.

Setelah menguasai ilmu bela diri yang cukup mumpuni, sewaktu kalap Ajeng pernah melawan balik ibunya dengan menangkis dan bahkan berani menendang balik. Jenar merasa sangat sedih. Sejak itu, Jenar mendiamkan putrinya sampai seminggu, dan akhirnya mengurangi kekerasan fisik, tapi masih suka teriak-teriak ketika marah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun