Para pramusaji menyampaikan keberadaan Topo kepada para petugas keamanan, dan mereka pun telah siaga di beberapa tempat. Pemuda itu memang sosok yang mudah untuk dicurigai. Ia membiarkan rambutnya tergerai melewati pundak, mengenakan kalung tengkorak bayi sebagai bandulnya. Tengkorak sebesar kepalan tangan orang dewasa itu pasti menimbulkan kengerian bagi siapapun yang melihatnya.
Dari menyimak pembicaraan orang-orang, dia baru tahu bahwa Majapahit telah direbut oleh Dyah Ranawijaya. Prabu Bre Kertabhumi telah wafat dan Dyah Ranawijaya adalah raja mereka yang baru. Ia juga mendengar bahwa Padepokan Benteng Naga diserang oleh pasukan gabungan Tumenggung dan Ki Demang Wiryo. Di antara percakapan orang-orang itu terdengar pujian-pujian yang ditujukan kepada Ki Demang, sebagai orang terkaya dan terkuat yang berpotensi menjadi pemimpin masa depan.
Topo ingat perintah gurunya, Nini Jailangnak, untuk balas dendam atas kematian Ki Blandotan Kobra. Saat itu juga ia menyelinap keluar dan langsung menuju kediaman Ki Demang Wiryo.
***
Seorang petugas keamanan tiba-tiba lari melaporkan kepada Pendekar Jeliteng bahwa ia melihat tiga orang di pos jaga tergeletak di tanah. Mereka kemudian ramai-ramai mendatangi pos jaga. Ki Paimo segera memeriksa ketiga orang penjaga yang ternyata sudah dalam keadaan tak bernyawa. Tewas tanpa ada bekas luka. Mereka kemudian dikagetkan oleh kegaduan di kandang kuda, suara meringkik yang seolah tercekik.
Mereka berlari menuju ke kandang kuda, dan menemukan sebelas kuda sudah terkapar di tanah, dan seekor kuda yang kepalanya terjungkal tapi masih tersengal-sengal nafasnya. Enam ekor lagi tampak ketakutan di pojok.
"Laporkan ke Ki Demang ada penyusup masuk!" perintah Ki Paimo Jeliteng, "Panggil semua orang dan perintahkan untuk menyalahkan semua obor!"
"Keparat...!" maki Ki Demang dan ia meminta Pendekar Celurit Siluman dan Pendekar Jeliteng tetap di dekatnya. Sementara Ki Geni dan Ki Gong diperintahkan menemani para penjaga untuk menyusuri sekeliling pendopo.
Di sebelah timur terdengar suara orang berkelahi dan kemudian disusul suara jerit kesakitan. Ki Demang berempat berlari menuju ke sana. Empat orang penjaga telah tersungkur di tanah dalam keadaan tidak bernyawa. Belum sempat mayat-mayat itu diperiksa, terdengar suara orang-orang menjerit di sebelah barat, setelah itu kembali sunyi. Mereka bisa menduga bahwa para penjaga itu pasti juga sudah tewas.
Ki Demang seakan-akan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia berteriak memanggil semua orang untuk berkumpul di halaman depan. Ternyata tinggal sebelas orang yang muncul dengan obor di tangan kiri dan pedang di tangan kanan.
"Ada berapa orang penyerang?" tanya Ki Demang panik.