Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (33): Piagam Damai

30 Juli 2024   06:36 Diperbarui: 30 Juli 2024   06:55 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

Guk Tanjung Bendol dan Guk Parto Gempil sedang membual di pos ronda, di depan enam orang  penjaga. Mereka berbincang-bincang sambil menikmati minuman arak dari hasil fermentasi ketan hitam. Minuman beralkohol yang merupakan residu dari proses pembuatan tape ketan hitam itu rasanya manis dan cukup membantu menghangatkan badan.

Saat itu Guk Parto membicarakan Ki Blandotan Kobra yang bangkit dari kubur. "Aku memang termasuk orang yang ikut mengepungnya saat ia di dalam langgar! Mungkin gara-gara itu ia menghantui aku! Mungkin lho..! Sewaktu aku mencabut golok dan mau membabat lehernya, hantu itu menghilang! Sekalipun raja setan, jangan dipikir Parto Gempil akan takut!" sumbarnya dengan nada bangga, "Awas kalau dia berani muncul lagi!"

Mendengar antusiasme Guk Parto, orang-orang hanya menggelengkan kepala kagum.  Seseorang mengisi cangkir terbuat dari batok kelapa dan menyodorkan kepada jagoan kampung itu. "Giliran mu, Guk!"

Guk Parto meraih cangkir sambil mencabut rokok klobot dari mulutnya. Ketika hendak menenggak minuman itu, tiba-tiba ada hempasan angin yang sangat cepat dan kuat menampar sampai cangkir itu pecah di mulutnya. Belum hilang rasa kagetnya, tahu-tahu ada sosok yang menebarkan bau bangkai berdiri di depan pos ronda. Ki Blandotan yang matanya melotot dan mulutnya ternganga, terbatuk-batuk dan memuntahkan belatung bercampur gumpalan darah di atas tikar.

"Setaaan...!" Secara reflek orang-orang panik itu berhamburan ke segala penjuru arah. Lari tunggang langgang sampai terjatuh-jatuh. "Tolooong..! Ada setaaan...!" Suara teriakan itu memecah keheningan malam dan membuat beberapa warga berhamburan keluar rumah.

Orang-orang yang lari ketakutan itu kemudian berpapasan dengan warga. Setelah terkumpul cukup banyak, mereka pun memberanikan diri untuk mendatangi pos ronda. Setibanya di sana, mereka melihat Guk Parto dan Guk Tanjung tergeletak tak bernyawa. Berita hantu Ki Blandotan yang menghabisi nyawa dua orang warga itu segera membuat geger masyarakat.

***

"Kaget yang sangat kuat dapat menghambat peredaran darah dan menyebabkan pasokan oksigen berkurang pada organ-organ vital!" urai Ki Dewo tabib kademangan kepada masyarakat, "Apalagi mereka berdua habis menenggak banyak minuman beralkohol!"

"Tapi kenapa yang lain tidak, Ki? Kami juga sama-sama minum!" sanggah seorang warga, "Saya benar-benar menyaksikan hantu Ki Blandotan dengan mata kepala saya sendiri! Saya berani bersumpah, mereka berdua dibunuh oleh hantu!"

"Menurut saya hantu itu memang benar-benar mau menuntut balas," timpal yang lain, "Sebab Guk Parto dan Guk Tanjung dulu ikut mengeroyoknya! Hantu itu kini balas dendam!"

Raden Kusno yang mendengar itu bergidik ngeri. Ia berniat untuk segera melaporkan kejadian itu ke Ki Demang Wiryo, dan memohon agar dikirim beberapa orang keamanan untuk membantu mengamankan kampungnya.

***

Daerah yang dulu selalu damai itu mendadak gaduh. Kejadian buruk susul-menyusul memperkeruh suasana. Teror mayat hidup belum teratasi, konflik antara Padepokan Benteng Naga dan Perguruan Silat Jari Suci terus meruncing. Belakangan bahkan mulai melibatkan tingkat petinggi-petinggi perguruan.

Raden Tulus mendapat amanah dari Guru Mpu Naga Neraka untuk berkunjung ke padepokan Jari Suci, guna menyampaikan salam perdamaian. Untungnya kedua guru besar perguruan itu adalah orang-orang baik yang cinta damai, sehingga mereka masih bisa berpikir jernih dan tidak memperturutkan emosi.

Raden Tulus hanya ditemani oleh dua orang, dan mereka sengaja tidak memakai seragam perguruan. Kedatangan mereka disambut dengan baik oleh beberapa orang di pintu gerbang. Setelah mendapat beberapa penjelasan, mereka diijinkan masuk tapi sementara waktu terpaksa hanya berdiri di halaman.

Padepokan yang besar tetapi sederhana itu sedang mengadakan perayaan untuk memperingati hari ulang tahun perguruan yang ke sembilan belas. Sebenarnya bukan hanya khusus merayakan itu saja, akan tetapi juga sedang ada kompetisi untuk mencari calon wakil ketua perguruan. Hanya ada lima orang calon dan satu di antaranya adalah seorang gadis, Roro Ajeng, yang kebetulan juga adalah anak Ki Lurah Setiaji Brojomusti.

Aturan kompetisi itu sangat sederhana, siapa yang terakhir berada di atas arena maka dialah pemenangnya. Dialah kelak yang akan berpeluang untuk mewarisi perguruan dan menggantikan Guru Besar Kang Wahid. Saat itu sedang berlangsung pertarungan terakhir antara Roro Ajeng melawan Cak Topo Surantanu yang berbadan tegap dan kekar.

Raden Tulus berdiri di antara penonton yang memenuhi halaman. Ia mengagumi kecantikan dan kepandaian silat Roro Ajeng. Gadis muda itu mengenakan pakaian seragam perguruan dengan sabuk merah yang salah satu ujungnya terdapat tanda garis, sebagai tanda tingkatan. Tubuhnya ramping, kulitnya kuning langsat dan wajahnya cantik sekali. Rambutnya yang panjang dan hitam diikat kebelakang dengan pita merah. Kedua lengan tangannya yang telanjang karena lengan bajunya hanya sampai di siku, memakai gelang giok putih.

Setelah berlangsung cukup lama dan sengit, Roro Ajeng akhirnya berhasil merobohkan Cak Topo. Sebagian besar orang sudah menduga itu. Mereka yakin Topo yang menaruh hati kepada Ajeng pasti tidak akan tega melukai gadis itu. Tapi mereka tetap dibuat terkagum-kagum oleh kehebatan Ajeng. Tepuk tangan meriah dan teriakan sebagai dukungan bersahutan dengan gegap gempita.

Setelah Kang Wahid Pendekar Jari Sakti memberikan ucapan selamat dan sabuk penghargaan, ia menyampaikan bahwa mereka kedatangan tamu dari Padepokan Benteng Naga. Setelah itu ia mengundang Raden Tulus untuk naik ke pangung untuk mengutarakan sendiri maksud kedatangannya. Suasana mendadak menjadi hening.

"Atas nama perguruan dan guru besar kami Mpu Naga, kami mengucapkan salam hormat dan salam damai!" ucap Tulus dengan sikap gagah namun sangat bersahabat. "Saya Tulus Pangestu dan kedua rekan saya mendapat perintah dari guru kami untuk yang pertama bersilaturahmi, dan yang kedua, yang paling penting untuk menyampaikan hasil penyelidikan kami mengenai masalah yang belakangan terjadi di antara perguruan kita. Kami menduga ada orang-orang yang sengaja mau mengadu domba. Orang-orang yang menyerang dan melukai murid di sini bukan anggota perguruan kami. 

Tadi disampaikan bahwa perguruan Jari Suci berdiri di sini sudah berumur sembilan belas tahun. Perguruan kami Benteng Naga sudah berdiri selama tiga puluh tujuh tahun. Tapi selama ini tidak ada sedikitpun perselisian di antara kita. Selama ini hubungan kedua guru besar kita juga baik! Ini yang membuat kita harus waspada terhadap adanya pihak-pihak yang mungkin menginginkan terjadinya konflik di antara kita!"

"Betul!" seru seseorang menimpali.

"Setuju!" sahut yang lainnya.

"Kami juga sudah menduga itu!" timpal Kang Wahid, "Sebagai tamu kehormatan kami! Sudi kiranya anda mengajarkan kepada kami tentang beberapa jurus perguruan anda. Kami mohon anda bersedia melawan murid terbaik kami, Roro Ajeng!"

Raden Tulus sama sekali tidak menduga itu, dan ia tetap berprasangka baik kepada Kang Wahid. Karena penonton pun menyambut dengan sorak-sorai, dan Roro Ajeng pun sudah memberikan penghormatan untuk siap bertarung, maka tidak ada pilihan lain bagi Tulus.

Ajeng segera melangkah maju dan mengayun tangan kanan memukul ke arah dada sambil menyarangkan pukulan tangan kiri ke perut secara sengit dan bergantian serta bertubi-tubi. Semua serangan mengenai tempat kosong. "Anda tidak perlu sungkan!" kata Ajeng karena sadar lawannya tidak berniat menyerang balik.

"Baiklah!" jawab Tulus sambil tersenyum simpul. 'Tapi siapa orangnya yang tega menyakiti gadis secantik kamu?' batinnya.

Kini Ajeng melancarkan tendangan dengan gerak tipuan dan disusul pukulan ke arah muka. Gerakan yang lincah dan indah, tapi tetap mengandung ancaman bahaya. Semua orang dibuat terkesima oleh serangan beruntun itu. Sayangnya, semua serangan dapat dihindari oleh lawan dengan mudah dan bahkan terkesan santai. Semua jurus serangan tipuan yang dilancarkan seolah sudah diketahui oleh lawannya.

Mengetahui itu akhirnya Kang Wahid menengahi, "Baiklah, sepertinya anda sungkan bertarung melawan seorang gadis. Kalau begitu saya mohon ijin untuk menggantikan Ajeng. Mari silakan!" Selesai mengatakan itu pendekar yang berasal dari Demak itu langsung mengirim pukulan dengan tangan terbuka yang dilancarkan ke arah kepala, dengan tenaga dalam mengeluarkan angin. Itu adalah jurus 'Guntur Melebur'. Batu besar saja bisa pecah oleh pukulan itu, apalagi kepala manusia. Kang Wahid jelas bermaksud merobohkan Tulus dengan sekali pukul.

Tulus, sekali lagi, cukup menggeser tubuhnya sedikit untuk menghindari serangan itu. Tampaknya Kang Wahid merasa cara pemuda itu menghindar adalah sebuah ejekan. Guru Besar Jari Suci itu semakin gencar menyerang dan tidak sedikitpun memberi kesempatan. Pukulan beruntun dengan gerak tipu 'Kilat Menjilat' yang terkenal ampuh dan hebat itu pun hanya mengenai tempat kosong.

Setelah pertarungan berlangsung sekitar lima belas jurus, tiba-tiba Tulus menjentikan jarinya ke arah siku, disusul sentilan cepat ke siku lainnya, yang membuat kedua tangan Kang Wahid terasa ngilu dan kesemutan. Pria setengah baya itu sadar bahwa Tulus tidak ingin mempermalukan Guru Besar itu dihadapan murid-muridnya.

Perguruan Jari Suci mempunyai seratus sembilan jurus dan setiap jurus mempunyai sedikitnya tiga variasi pecahan. Ilmu ini bukanlah ilmu silat yang dapat dilakukan oleh sembarang orang. Untuk mempelajari satu jurus dengan sempurna saja memakan waktu latihan keras berhari-hari. Akan tetapi jurus-jurus maut itu tampaknya tidak berarti di hadapan Tulus.

Kang Wahid lalu mengangkat tangan dan berkata dengan nada lapang dada, "Terima kasih, anak muda! Ternyata anda lebih hebat dari saya! Terima kasih atas pelajarannya!"

Acara berikutnya, kedua perguruan itu sepakat untuk terus meningkatkan silaturahmi. Kemudian disusul membacakan surat kesepakatan, yang mereka namakan 'Piagam Damai'.

Kehadiran Raden Tulus Pangestu di Padepokan Jari Suci memberi banyak pelajaran berharga. Kang Wahid yang merasa selama ini telah menghabiskan banyak waktu di dalam hidupnya untuk mendalami silat, ternyata tidak berdaya menghadapi orang yang jauh lebih muda darinya. Ia sadar akan pepatah 'Ada langit di atas langit', namun menerima kenyataan bahwa perjuangan kerasnya selama ini seolah sia-sia, membuat semangatnya perlahan mengendur.

Roro Ajeng adalah orang yang paling bahagia, bukan hanya karena dia jatuh cinta kepada Tulus, akan tetapi pemuda itu telah membakar semangatnya untuk lebih tekun dan lebih keras lagi dalam berlatih silat. Ia masih sangat belia, tapi ia satu-satunya orang di perguruan yang paling banyak mawas diri dan berpikir keras untuk mengembangkan teknik-teknik bela diri agar lebih ampuh lagi.

Lain lagi dengan Topo, pemuda yang berbadan kekar itu merasa sudah cukup belajar silatnya. Selama ini ia sudah memfokuskan pikirannya hanya untuk silat, tidak ada yang lain, tapi ia merasa kurang berbakat, sehingga ambisinya untuk menjadi murid terbaik di perguruan gagal. Yang lebih menyedihkannya lagi, ia dikalahkan oleh Ajeng, gadis yang diam-diam dicintainya. Ia malu, sakit hati, sekaligus putus asa.

Topo tiba-tiba teringat cerita orang-orang yang mencari ilmu di bukit Kedung Lintah. Ia memutuskan untuk pergi ke sana. Demi ilmu yang instan tapi hebat, nyawa pun siap ia pertaruhkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun