"Atas nama perguruan dan guru besar kami Mpu Naga, kami mengucapkan salam hormat dan salam damai!" ucap Tulus dengan sikap gagah namun sangat bersahabat. "Saya Tulus Pangestu dan kedua rekan saya mendapat perintah dari guru kami untuk yang pertama bersilaturahmi, dan yang kedua, yang paling penting untuk menyampaikan hasil penyelidikan kami mengenai masalah yang belakangan terjadi di antara perguruan kita. Kami menduga ada orang-orang yang sengaja mau mengadu domba. Orang-orang yang menyerang dan melukai murid di sini bukan anggota perguruan kami.Â
Tadi disampaikan bahwa perguruan Jari Suci berdiri di sini sudah berumur sembilan belas tahun. Perguruan kami Benteng Naga sudah berdiri selama tiga puluh tujuh tahun. Tapi selama ini tidak ada sedikitpun perselisian di antara kita. Selama ini hubungan kedua guru besar kita juga baik! Ini yang membuat kita harus waspada terhadap adanya pihak-pihak yang mungkin menginginkan terjadinya konflik di antara kita!"
"Betul!" seru seseorang menimpali.
"Setuju!" sahut yang lainnya.
"Kami juga sudah menduga itu!" timpal Kang Wahid, "Sebagai tamu kehormatan kami! Sudi kiranya anda mengajarkan kepada kami tentang beberapa jurus perguruan anda. Kami mohon anda bersedia melawan murid terbaik kami, Roro Ajeng!"
Raden Tulus sama sekali tidak menduga itu, dan ia tetap berprasangka baik kepada Kang Wahid. Karena penonton pun menyambut dengan sorak-sorai, dan Roro Ajeng pun sudah memberikan penghormatan untuk siap bertarung, maka tidak ada pilihan lain bagi Tulus.
Ajeng segera melangkah maju dan mengayun tangan kanan memukul ke arah dada sambil menyarangkan pukulan tangan kiri ke perut secara sengit dan bergantian serta bertubi-tubi. Semua serangan mengenai tempat kosong. "Anda tidak perlu sungkan!" kata Ajeng karena sadar lawannya tidak berniat menyerang balik.
"Baiklah!" jawab Tulus sambil tersenyum simpul. 'Tapi siapa orangnya yang tega menyakiti gadis secantik kamu?' batinnya.
Kini Ajeng melancarkan tendangan dengan gerak tipuan dan disusul pukulan ke arah muka. Gerakan yang lincah dan indah, tapi tetap mengandung ancaman bahaya. Semua orang dibuat terkesima oleh serangan beruntun itu. Sayangnya, semua serangan dapat dihindari oleh lawan dengan mudah dan bahkan terkesan santai. Semua jurus serangan tipuan yang dilancarkan seolah sudah diketahui oleh lawannya.
Mengetahui itu akhirnya Kang Wahid menengahi, "Baiklah, sepertinya anda sungkan bertarung melawan seorang gadis. Kalau begitu saya mohon ijin untuk menggantikan Ajeng. Mari silakan!" Selesai mengatakan itu pendekar yang berasal dari Demak itu langsung mengirim pukulan dengan tangan terbuka yang dilancarkan ke arah kepala, dengan tenaga dalam mengeluarkan angin. Itu adalah jurus 'Guntur Melebur'. Batu besar saja bisa pecah oleh pukulan itu, apalagi kepala manusia. Kang Wahid jelas bermaksud merobohkan Tulus dengan sekali pukul.
Tulus, sekali lagi, cukup menggeser tubuhnya sedikit untuk menghindari serangan itu. Tampaknya Kang Wahid merasa cara pemuda itu menghindar adalah sebuah ejekan. Guru Besar Jari Suci itu semakin gencar menyerang dan tidak sedikitpun memberi kesempatan. Pukulan beruntun dengan gerak tipu 'Kilat Menjilat' yang terkenal ampuh dan hebat itu pun hanya mengenai tempat kosong.