Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (33): Piagam Damai

30 Juli 2024   06:36 Diperbarui: 30 Juli 2024   06:55 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Setelah pertarungan berlangsung sekitar lima belas jurus, tiba-tiba Tulus menjentikan jarinya ke arah siku, disusul sentilan cepat ke siku lainnya, yang membuat kedua tangan Kang Wahid terasa ngilu dan kesemutan. Pria setengah baya itu sadar bahwa Tulus tidak ingin mempermalukan Guru Besar itu dihadapan murid-muridnya.

Perguruan Jari Suci mempunyai seratus sembilan jurus dan setiap jurus mempunyai sedikitnya tiga variasi pecahan. Ilmu ini bukanlah ilmu silat yang dapat dilakukan oleh sembarang orang. Untuk mempelajari satu jurus dengan sempurna saja memakan waktu latihan keras berhari-hari. Akan tetapi jurus-jurus maut itu tampaknya tidak berarti di hadapan Tulus.

Kang Wahid lalu mengangkat tangan dan berkata dengan nada lapang dada, "Terima kasih, anak muda! Ternyata anda lebih hebat dari saya! Terima kasih atas pelajarannya!"

Acara berikutnya, kedua perguruan itu sepakat untuk terus meningkatkan silaturahmi. Kemudian disusul membacakan surat kesepakatan, yang mereka namakan 'Piagam Damai'.

Kehadiran Raden Tulus Pangestu di Padepokan Jari Suci memberi banyak pelajaran berharga. Kang Wahid yang merasa selama ini telah menghabiskan banyak waktu di dalam hidupnya untuk mendalami silat, ternyata tidak berdaya menghadapi orang yang jauh lebih muda darinya. Ia sadar akan pepatah 'Ada langit di atas langit', namun menerima kenyataan bahwa perjuangan kerasnya selama ini seolah sia-sia, membuat semangatnya perlahan mengendur.

Roro Ajeng adalah orang yang paling bahagia, bukan hanya karena dia jatuh cinta kepada Tulus, akan tetapi pemuda itu telah membakar semangatnya untuk lebih tekun dan lebih keras lagi dalam berlatih silat. Ia masih sangat belia, tapi ia satu-satunya orang di perguruan yang paling banyak mawas diri dan berpikir keras untuk mengembangkan teknik-teknik bela diri agar lebih ampuh lagi.

Lain lagi dengan Topo, pemuda yang berbadan kekar itu merasa sudah cukup belajar silatnya. Selama ini ia sudah memfokuskan pikirannya hanya untuk silat, tidak ada yang lain, tapi ia merasa kurang berbakat, sehingga ambisinya untuk menjadi murid terbaik di perguruan gagal. Yang lebih menyedihkannya lagi, ia dikalahkan oleh Ajeng, gadis yang diam-diam dicintainya. Ia malu, sakit hati, sekaligus putus asa.

Topo tiba-tiba teringat cerita orang-orang yang mencari ilmu di bukit Kedung Lintah. Ia memutuskan untuk pergi ke sana. Demi ilmu yang instan tapi hebat, nyawa pun siap ia pertaruhkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun