Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (33): Piagam Damai

30 Juli 2024   06:36 Diperbarui: 30 Juli 2024   06:55 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

"Menurut saya hantu itu memang benar-benar mau menuntut balas," timpal yang lain, "Sebab Guk Parto dan Guk Tanjung dulu ikut mengeroyoknya! Hantu itu kini balas dendam!"

Raden Kusno yang mendengar itu bergidik ngeri. Ia berniat untuk segera melaporkan kejadian itu ke Ki Demang Wiryo, dan memohon agar dikirim beberapa orang keamanan untuk membantu mengamankan kampungnya.

***

Daerah yang dulu selalu damai itu mendadak gaduh. Kejadian buruk susul-menyusul memperkeruh suasana. Teror mayat hidup belum teratasi, konflik antara Padepokan Benteng Naga dan Perguruan Silat Jari Suci terus meruncing. Belakangan bahkan mulai melibatkan tingkat petinggi-petinggi perguruan.

Raden Tulus mendapat amanah dari Guru Mpu Naga Neraka untuk berkunjung ke padepokan Jari Suci, guna menyampaikan salam perdamaian. Untungnya kedua guru besar perguruan itu adalah orang-orang baik yang cinta damai, sehingga mereka masih bisa berpikir jernih dan tidak memperturutkan emosi.

Raden Tulus hanya ditemani oleh dua orang, dan mereka sengaja tidak memakai seragam perguruan. Kedatangan mereka disambut dengan baik oleh beberapa orang di pintu gerbang. Setelah mendapat beberapa penjelasan, mereka diijinkan masuk tapi sementara waktu terpaksa hanya berdiri di halaman.

Padepokan yang besar tetapi sederhana itu sedang mengadakan perayaan untuk memperingati hari ulang tahun perguruan yang ke sembilan belas. Sebenarnya bukan hanya khusus merayakan itu saja, akan tetapi juga sedang ada kompetisi untuk mencari calon wakil ketua perguruan. Hanya ada lima orang calon dan satu di antaranya adalah seorang gadis, Roro Ajeng, yang kebetulan juga adalah anak Ki Lurah Setiaji Brojomusti.

Aturan kompetisi itu sangat sederhana, siapa yang terakhir berada di atas arena maka dialah pemenangnya. Dialah kelak yang akan berpeluang untuk mewarisi perguruan dan menggantikan Guru Besar Kang Wahid. Saat itu sedang berlangsung pertarungan terakhir antara Roro Ajeng melawan Cak Topo Surantanu yang berbadan tegap dan kekar.

Raden Tulus berdiri di antara penonton yang memenuhi halaman. Ia mengagumi kecantikan dan kepandaian silat Roro Ajeng. Gadis muda itu mengenakan pakaian seragam perguruan dengan sabuk merah yang salah satu ujungnya terdapat tanda garis, sebagai tanda tingkatan. Tubuhnya ramping, kulitnya kuning langsat dan wajahnya cantik sekali. Rambutnya yang panjang dan hitam diikat kebelakang dengan pita merah. Kedua lengan tangannya yang telanjang karena lengan bajunya hanya sampai di siku, memakai gelang giok putih.

Setelah berlangsung cukup lama dan sengit, Roro Ajeng akhirnya berhasil merobohkan Cak Topo. Sebagian besar orang sudah menduga itu. Mereka yakin Topo yang menaruh hati kepada Ajeng pasti tidak akan tega melukai gadis itu. Tapi mereka tetap dibuat terkagum-kagum oleh kehebatan Ajeng. Tepuk tangan meriah dan teriakan sebagai dukungan bersahutan dengan gegap gempita.

Setelah Kang Wahid Pendekar Jari Sakti memberikan ucapan selamat dan sabuk penghargaan, ia menyampaikan bahwa mereka kedatangan tamu dari Padepokan Benteng Naga. Setelah itu ia mengundang Raden Tulus untuk naik ke pangung untuk mengutarakan sendiri maksud kedatangannya. Suasana mendadak menjadi hening.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun