Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (28): Pertemuan Yang Diidamkan

19 Juli 2024   05:49 Diperbarui: 23 Agustus 2024   09:11 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Saudara-saudaraku yang dimuliakan Gusti Allah," tutur pria yang sangat disegani karena selain dikena sebagai seorang pendekar yang rendah hati, ia juga dikenal sangat dermawan di wilayah itu. "Para leluhur kita mengajarkan bahwa kebencian akan memancing timbulnya kebencian, dan kekerasan akan menumbuhkan kekerasan baru. Kebencian dan kekerasan adalah lahan subur berseminya berbagai bibit kebiadaban dimuka bumi ini!"

Orang-orang yang sedang berunjuk rasa itu menyimak dengan seksama. Mereka yang sebagian besar adalah petani sebetulnya memiliki hati yang polos dan pikiran sederhana, sehingga mudah disadarkan akan kekeliruannya.

"Mari kita petik hikmah dari peristiwa Ki Blandotan Kobra ini!" sambung Japa yang belakangan juga menjadi imam shalat di Langgar Al Akbar. "Pepatah Jawa mengatakan, 'Sapa dumeh bakal keweleh', barangsiapa bertindak sewenang-wenang, mentang-mentang, pada akhirnya pasti akan runtuh. Runtuh derajatnya, runtuh kekuatannya, runtuh kehormatannya, dan segala macam yang dibangga-banggakannya. 'Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti', sungguh kejahatan yang paling menyeramkan sekalipun akan hancur lebur dengan kekuatan cinta kasih dan ketulusan hati! Tidak ada yang tahu kapan ajal akan menjemput, nah.., kebetulan Ki Blandotan Kobra meninggal di kampung kita, jadi mari kita tunaikan kewajiban kita untuk menguburkannya. Kita jauhkan jarak kuburannya dari makam saudara-saudara kita! Bagaimana?" tanya Japa.

Orang-orang diam membisu. Tampaknya sudah tidak ada lagi rasa penolakan. Beberapa gelintir orang yang memang sengaja ditugaskan untuk menghasut warga menunggu abah-abah dari juragannya, Raden Kusno. Akan tetapi, kepala kedukuhan yang bertubuh tambun, yang berdiri di samping Ki Setiaji dan Japa itu, hanya diam mematung.

***

Ada daya tarik tersendiri dari Langgar Al Akbar yang misterius. Sebagian besar orang tidak mengerti, kecuali dikaitkan dengan adanya peristiwa penjahat besar yang mati di lokasi itu. Jamaah shalat terus bertambah dan karena tidak muat, mereka pun rela menggelar tikar di pelataran langgar. Banyak pengunjung berdatangan dari jauh, kendatipun mereka tidak ikut sembayang dan bahkan bukan seorang muslim. Langgar itu semakin menjadi buah bibir.

Setelah shalat isya' pada malam Jumat petang itu, Sang Imam yang dipanggil Cak Japa menyampaikan ceramah di depan belasan orang. Mbah Kucing yang berada di pojok ruangan di barisan depan tiba-tiba terbatuk-batuk. Itu semacam kode. Japa melirik sekilas dan menangkap sinyal dari gurunya itu, bahwa baru saja ada orang yang ikut mendengarkan dari atas genting. Menganalisa dari ilmu meringankan tubuhnya menunjukan bahwa orang itu sangat sakti. Pijakan kakinya saat mendarat lebih halus daripada pijakan kaki seekor burung merpati.

Memang belakangan tersiar rumor bahwa akan ada tuntutan balas dendam atas kematian Ki Blandotan. Cak Japa merubah topik ceramahnya, "Saya bukannya tidak mendengar rumor itu, tapi siapa yang akan dituntut?" Ia kemudian sedikit menaikkan volume suaranya, "Ada hal positif dari Ki Blandotan Kobra, dia sesungguhnya adalah orang yang mencintai ilmu. Dia curahkan seluruh hidupnya untuk memperdalam ilmu dan menciptakan ilmu-ilmu bela diri baru. Semangat dan obsesinya terhadap ilmu itulah yang layak kita tiru. Akan tetapi, semua ilmu kesaktian, kekayaan, nama besar yang kita banggakan, jangan sampai menjadi tidak bermanfaat dalam menghadapi kehidupan kita setelah kematian kelak! Hidup di akhirat. Sebab itulah kehidupan yang sesungguhnya. Kehidupan abadi!"

Sosok misterius di atas genting langgar sepertinya sangat benci mendengar tentang kehidupan setelah kematian. Ia dengan cepat menyingkir secepat kelelawar terbang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun