"Hmm.. iya, saya mencari kakek yang tadi bersih-bersih di pelataran ini, Nak!"
"Oh.., itu Mbah Kucing, mari saya antar, Tuan. Kebetulan saya juga mau menemui beliau!" Japa berpura-pura sudah mengenal Mbah Kucing. "Mbah Kucing tinggal di gubuk itu!" Ia menunjuk sebuah gubuk sederhana di sebelah utara langgar. Mereka berdua melewati jalan setapak sekitar sepuluh meter menuju tempat itu.
Ketika sampai di depan pintu, mereka langsung mengucapkan salam.
"Wa alaikum salam...!" jawab Mbah Kucing membuka pintu dan menyambut tamunya dengan ramah, "Ah, Tuan Syekh, saya ini tidak berotot, jadi tidak mungkin mengandalkan otot, Tuan!"
Si Ulama itu langsung membungkukan badan dan berniat memeluk kaki Mbah Kucing. "Maafkan kelancangan saya, Mbah Wali!"
"Hei.., jangan seperti ini Tuan Syekh! Ayo bangunlah! Saya bukan wali!" Mbah kucing menarik tamunya itu untuk berdiri. "Tolong nanti sampaikan salam saya kepada Kanjeng Sunan Kalijaga. Anda dalam perjalanan akan menemui beliau bukan?"
"Insyaallah pasti akan saya sampaikan Mbah Wali!" janji orang bersurban itu dengan memendam perasaan semakin kagum.
"Ha..ha.., sekali lagi jangan sebut saya wali, Tuan Syekh! Orang-orang biasa memanggil saya Mbah Kucing!" ucap Mbah Kucing sambil memberi jalan, mempersilakan kedua tamunya untuk masuk, "Oh iya Raden Japa, senang sekali akhirnya kita berumpa lagi!"
"Iya Eyang..," Japa tidak melanjutkan ucapannya karena menangkap pesan dari Mbah Kucing melalui sorot pandangan mata, "Saya juga sangat senang bisa bertemu lagi dengan Mbah Kucing!" imbuhnya kemudian. Ia maklum akan kepribadian gurunya yang unik itu. Selama ini ia selalu mencari ke gunung-gunung, sebagaimana yang ia ketahui gunung adalah tempat favorit kakek sakti itu. Namun tidak disangka-sangka mereka bisa bertemu secara kebetulan di tengah perkampungan. Pertemuan yang diidamkan. 'Anda punya hutang penjelasan kenapa meninggalkan saya begitu saya?' batin Japa.
***
Masyarakat ramai-ramai menutup jalan menuju ke pemakaman. Mereka menolak mayat Ki Blandotan Kobra dikuburkan di dusun mereka. Ki Setiaji selaku petinggi wilayah tidak mampu mengatasi itu, sehingga ia meminta tolong seorang tokoh masyarakat, Japa Mada, agar memberikan pencerahan.