Oleh: Tri Handoyo
Dari seberang warung, Japa mengamati sosok kakek tua yang sangat mirip dengan orang yang selama ini ia cari. "Maaf, Ning!" Ia bertanya kepada pelayan yang sedang mengantar pesanannya, "Siapa nama kakek di pelataran langgar itu?"
"Oh itu, orang-orang biasa memanggilnya Mbah Kucing, Tuan!"
"Apakah dia orang asli sini?"
"Saya tidak begitu tahu pasti, tapi dia sudah cukup lama di sini!"
"Apakah dia sering berpergian?"
"Saya tidak tahu. Memang jarang ada yang mempedulikannya, sehingga tidak ada yang tahu pasti apa kesibukannya selain mengurusi langgar! Apa Tuan mengenalnya?"
"Iya, sepertinya saya sangat mengenalnya!"
Di pelataran langgar, Mbah Kucing menggunakan ranting kering panjang untuk memunguti daun-daun mangga yang berguguran di halaman. Satu per satu daun-daun itu ditusuk dengan ranting hingga terkumpul, dan pelataran yang baru diguyur hujan itu kembali tampak bersih.
"Kasihan orang tua itu!" kata seorang yang berpakaian ulama kepada kedua muridnya. Ia dari tadi mengamati Mbah Kucing dari jendela warung di seberang langgar.
"Kasihan kenapa Syekh?" tanya salah seorang muridnya.
Dari seberang jalan, Mbah Kucing mengerahkan ilmu 'Pendengaran Gaib' sehingga telinganya dapat menangkap dengan ketajaman luar biasa ke arah tiga orang yang berada di warung.
"Setua itu masih harus bekerja menjadi marbot langgar," jawab orang bergamis dan bersurban putih itu. "Itulah kalau orang yang tidak berilmu, dia harus mengandalkan otot untuk mencari nafkah sampai di hari tuanya! Kasihan sekali!"
Pesanan makanan dan minuman mereka datang. Seorang gadis bertubuh tinggi semampai menyajikan hidangan di atas meja. "Silakan menikmati, Tuan-tuan!" katanya sebelum pergi.
Si ulama segera menyantap hidangan yang tampak masih mengepulkan asap itu. Aroma ayam bakar yang sedap dan sambal yang membangkitkan selerah. Ketika ia menggigit daging itu tiba-tiba ia tersedak dan kemudian terbatuk-batuk. Ia sangat kaget melihat daging ayam itu berubah menjadi bangkai yang menebarkan bau busuk. Ia segera melompat dari tempat duduknya. Tertegun menatap beberapa ulat merayap keluar dari paha ayam bakar.
"Ada apa Syekh?" tanya murid-muridnya keheranan.
Japa yang duduk tidak jauh dari meja mereka pun ikut keheranan.
"Astaghfirullah..!" ucap Si Ulama, "Astaghfirullah..!" Ia duduk kembali sambil menenangkan diri setelah melihat piringnya kembali berisi ayam bakar. "Saya telah berdosa! Kalian tunggu di sini!" Ia kemudian menghampiri langgar untuk mencari si kakek yang tadi ia gunjingkan.
Ketika sampai di pelataran ia sadar telah berdiri di tanah berpasir yang basah, sehingga sandalnya meninggalkan jejak yang cukup dalam. Tapi anehnya dia tidak melihat ada jejak kaki lainnya, padahal jelas kakek tadi mondar-mandir di tempat itu. Berdasarkan ilmu dan pengalamannya, ia yakin kakek itu pasti memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat. Hanya bekas tusukan ranting saja yang masih ada. Rupanya ia menggunakan ranting itu sebagai tongkat yang menopang berat tubuhnya, di samping digunakan untuk memunguti daun-daun. Ketika ranting yang ditusukan itu kebetulan mengenai kerikil yang ada di situ, kerikil itu kalau tidak berlubang ya pecah. Perpaduan antara meringankan tubuh dan tenaga dalam yang sangat hebat.
'Masyaallah..! Benar-benar luar biasa..!' batinnya penuh kekaguman.
"Ada apa, Tuan, apa kehilangan sesuatu?" tanya Japa mengagetkan Si Ulama. Ia mengira ada sesuatu yang sedang dicari oleh orang asing yang mengamati tanah itu.
"Hmm.. iya, saya mencari kakek yang tadi bersih-bersih di pelataran ini, Nak!"
"Oh.., itu Mbah Kucing, mari saya antar, Tuan. Kebetulan saya juga mau menemui beliau!" Japa berpura-pura sudah mengenal Mbah Kucing. "Mbah Kucing tinggal di gubuk itu!" Ia menunjuk sebuah gubuk sederhana di sebelah utara langgar. Mereka berdua melewati jalan setapak sekitar sepuluh meter menuju tempat itu.
Ketika sampai di depan pintu, mereka langsung mengucapkan salam.
"Wa alaikum salam...!" jawab Mbah Kucing membuka pintu dan menyambut tamunya dengan ramah, "Ah, Tuan Syekh, saya ini tidak berotot, jadi tidak mungkin mengandalkan otot, Tuan!"
Si Ulama itu langsung membungkukan badan dan berniat memeluk kaki Mbah Kucing. "Maafkan kelancangan saya, Mbah Wali!"
"Hei.., jangan seperti ini Tuan Syekh! Ayo bangunlah! Saya bukan wali!" Mbah kucing menarik tamunya itu untuk berdiri. "Tolong nanti sampaikan salam saya kepada Kanjeng Sunan Kalijaga. Anda dalam perjalanan akan menemui beliau bukan?"
"Insyaallah pasti akan saya sampaikan Mbah Wali!" janji orang bersurban itu dengan memendam perasaan semakin kagum.
"Ha..ha.., sekali lagi jangan sebut saya wali, Tuan Syekh! Orang-orang biasa memanggil saya Mbah Kucing!" ucap Mbah Kucing sambil memberi jalan, mempersilakan kedua tamunya untuk masuk, "Oh iya Raden Japa, senang sekali akhirnya kita berumpa lagi!"
"Iya Eyang..," Japa tidak melanjutkan ucapannya karena menangkap pesan dari Mbah Kucing melalui sorot pandangan mata, "Saya juga sangat senang bisa bertemu lagi dengan Mbah Kucing!" imbuhnya kemudian. Ia maklum akan kepribadian gurunya yang unik itu. Selama ini ia selalu mencari ke gunung-gunung, sebagaimana yang ia ketahui gunung adalah tempat favorit kakek sakti itu. Namun tidak disangka-sangka mereka bisa bertemu secara kebetulan di tengah perkampungan. Pertemuan yang diidamkan. 'Anda punya hutang penjelasan kenapa meninggalkan saya begitu saya?' batin Japa.
***
Masyarakat ramai-ramai menutup jalan menuju ke pemakaman. Mereka menolak mayat Ki Blandotan Kobra dikuburkan di dusun mereka. Ki Setiaji selaku petinggi wilayah tidak mampu mengatasi itu, sehingga ia meminta tolong seorang tokoh masyarakat, Japa Mada, agar memberikan pencerahan.
"Saudara-saudaraku yang dimuliakan Gusti Allah," tutur pria yang sangat disegani karena selain dikena sebagai seorang pendekar yang rendah hati, ia juga dikenal sangat dermawan di wilayah itu. "Para leluhur kita mengajarkan bahwa kebencian akan memancing timbulnya kebencian, dan kekerasan akan menumbuhkan kekerasan baru. Kebencian dan kekerasan adalah lahan subur berseminya berbagai bibit kebiadaban dimuka bumi ini!"
Orang-orang yang sedang berunjuk rasa itu menyimak dengan seksama. Mereka yang sebagian besar adalah petani sebetulnya memiliki hati yang polos dan pikiran sederhana, sehingga mudah disadarkan akan kekeliruannya.
"Mari kita petik hikmah dari peristiwa Ki Blandotan Kobra ini!" sambung Japa yang belakangan juga menjadi imam shalat di Langgar Al Akbar. "Pepatah Jawa mengatakan, 'Sapa dumeh bakal keweleh', barangsiapa bertindak sewenang-wenang, mentang-mentang, pada akhirnya pasti akan runtuh. Runtuh derajatnya, runtuh kekuatannya, runtuh kehormatannya, dan segala macam yang dibangga-banggakannya. 'Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti', sungguh kejahatan yang paling menyeramkan sekalipun akan hancur lebur dengan kekuatan cinta kasih dan ketulusan hati! Tidak ada yang tahu kapan ajal akan menjemput, nah.., kebetulan Ki Blandotan Kobra meninggal di kampung kita, jadi mari kita tunaikan kewajiban kita untuk menguburkannya. Kita jauhkan jarak kuburannya dari makam saudara-saudara kita! Bagaimana?" tanya Japa.
Orang-orang diam membisu. Tampaknya sudah tidak ada lagi rasa penolakan. Beberapa gelintir orang yang memang sengaja ditugaskan untuk menghasut warga menunggu abah-abah dari juragannya, Raden Kusno. Akan tetapi, kepala kedukuhan yang bertubuh tambun, yang berdiri di samping Ki Setiaji dan Japa itu, hanya diam mematung.
***
Ada daya tarik tersendiri dari Langgar Al Akbar yang misterius. Sebagian besar orang tidak mengerti, kecuali dikaitkan dengan adanya peristiwa penjahat besar yang mati di lokasi itu. Jamaah shalat terus bertambah dan karena tidak muat, mereka pun rela menggelar tikar di pelataran langgar. Banyak pengunjung berdatangan dari jauh, kendatipun mereka tidak ikut sembayang dan bahkan bukan seorang muslim. Langgar itu semakin menjadi buah bibir.
Setelah shalat isya' pada malam Jumat petang itu, Sang Imam yang dipanggil Cak Japa menyampaikan ceramah di depan belasan orang. Mbah Kucing yang berada di pojok ruangan di barisan depan tiba-tiba terbatuk-batuk. Itu semacam kode. Japa melirik sekilas dan menangkap sinyal dari gurunya itu, bahwa baru saja ada orang yang ikut mendengarkan dari atas genting. Menganalisa dari ilmu meringankan tubuhnya menunjukan bahwa orang itu sangat sakti. Pijakan kakinya saat mendarat lebih halus daripada pijakan kaki seekor burung merpati.
Memang belakangan tersiar rumor bahwa akan ada tuntutan balas dendam atas kematian Ki Blandotan. Cak Japa merubah topik ceramahnya, "Saya bukannya tidak mendengar rumor itu, tapi siapa yang akan dituntut?" Ia kemudian sedikit menaikkan volume suaranya, "Ada hal positif dari Ki Blandotan Kobra, dia sesungguhnya adalah orang yang mencintai ilmu. Dia curahkan seluruh hidupnya untuk memperdalam ilmu dan menciptakan ilmu-ilmu bela diri baru. Semangat dan obsesinya terhadap ilmu itulah yang layak kita tiru. Akan tetapi, semua ilmu kesaktian, kekayaan, nama besar yang kita banggakan, jangan sampai menjadi tidak bermanfaat dalam menghadapi kehidupan kita setelah kematian kelak! Hidup di akhirat. Sebab itulah kehidupan yang sesungguhnya. Kehidupan abadi!"
Sosok misterius di atas genting langgar sepertinya sangat benci mendengar tentang kehidupan setelah kematian. Ia dengan cepat menyingkir secepat kelelawar terbang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H